Bastards' Last Argument

Zangi al'Fayoum
Chapter #23

Mata Juling


Awal dari kejatuhan Muhtaqdai berakar dari invasi Baatar Mata Juling ke Perpustakaan Putih. Dia terlalu sibuk mengarahkan pandangan ke selatan sampai-sampai tak tahu apa yang terjadi di utara. Diam-diam, seorang khaqai bernama Surenqei Tangan Merah membentuk aliansi suku-suku gembala dan menusuknya dari belakang. Baatar menyerah sebelum kalah telak dan berakhir diasingkan dari Padang Sunyi.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar

 

“YEKE UDAH KETEMU,” lapor Itelchü. Tubuh berlepot darah hitam yang mengerak, juga dengan debu dan tanah dan lumpur dan tahi kuda. Bau badannya sudah tak bisa ditolelir, jadi Baatar melarangnya mendekat lebih dari lima langkah.

“Mampus?” tanya Torjit. Bersama Baatar dan beberapa lusin anak Muhtaqdai, mereka menyisir medan pertempuran yang penuh mayat dan becek oleh darah serta air kencing.

“Hampir mampus.” Itelchü melempar pandangan pada sepotong tubuh yang jeroannya terburai, menampakkan usus dan lambung. “Kalian mesti antar dia pergi.”

“Ah, siap, siap,” timpal Baatar, agak tak peduli. Mata julingnya fokus pada tubuh-tubuh tak bernyawa sementara kakinya mencari pijakan di antara potongan-potongan otak yang berserak. “Siapa, sih, yang kerjaannya acak-acakan 'gini? Susah buat jalan, anjir!”

Torjit mendecak. Kakinya membalik sesosok mayat Abdi dengan anak panah di mulut. “Kaasar, tentu aja. Siapa lagi? Itu bocah sinting gak bakal puas sebelom musuhnya jadi perkedel.”

“Kotor udah sepatu baruku.”

“Kalian dengerin aku ngebacot?” Itelchü pasang ekspresi jengkel, tapi tak terlalu—dia sudah biasa dengan lagak pimpinannya. “Itu khaqai 'ni suku bentar lagi koit.”

“Denger, kok, denger. Iya, iya, iya ... Yeke mau mampus. Aku mesti nonton dia waktu sakratulmaut.” Baatar bicara tanpa menatap Itelchü. Dia melompati Abdi dengan punggung terlipat ke arah belakang, patah; kemudian—dengan teramat gesit—tangannya menyambar rambut seorang mayat. Baatar menjerit, “Mmh! Kena, bangsat!”

“Mayat” itu dipenuhi darah hitam. Tubuhnya setengah terbenam di tanah becek, kepalanya terlilit usus, sementara punggung ditimpa sepotong badan tanpa pinggang. Ada anak panah yang menancap di punggungnya, tapi ketika Baatar mencabutnya, panah itu rupanya sudah patah dan tertanam dangkal di daging.

“'Sat!” si mayat memaki, coba bangkit berdiri. Sayangnya Baatar sudah duduk di punggungnya; tangan mendorong kepala si mayat supaya tenggelam di lumpur darah. “Bang ... bangsat!”

“Kita bisa tanyain dulu yang atu 'ni.” Baatar menarik sebentang usus dan melilitkannya ke mulut si Abdi Malam, mencegah pria itu menggigit lidah sendiri. Mereka memang pelayan Penguasa Kegelapan, tapi tak berarti mereka lebih mudah khianat dan berjiwa pengecut. “Torjit, eng ... boleh aku minta tolong? Nih, bawa ke ger tahanan. Jagain dia. Kalo sampe ketauan kita tangkep tawanan, orang-orang Borjig bakal goreng 'ni Abdi. Dan kumohon pelan-pelan aja! Lembutan dikit. Jangan buat dia mampus, woi!”

Sambil menyeret si Abdi di depan, mereka bergerak melewati daratan becek dan potongan-potongan daging yang berhamburan. Anak-anak Muhtaqdai hilir mudik, mengakut mayat-mayat dan menumpuknya secara terpisah: para gembala dijejerkan dengan rapi sementara para Abdi ditumpuk menggunung secara asal. Kala tubuh-tubuh yang belokot darah hitam itu dibakar, api menjilat dengan lahap dan cepat, layaknya lilin.

Api adalah putra mentari, dan mentari adalah mata Sang Pencerah. Baatar mengingat-ngingat dongeng yang sering dia dengar dari ibunya. Kala itu mereka masih tinggal di hulu Sungai Tikriq, dekat kaki Pegunungan Khangai Tengger sebelah utara, membangun rumah dan bertani. Tubuh Abdi mungkin lebih unggul dari sejumlah segi, dan mereka mampu menerima berkah dari cahaya Mata Malam. Tapi sebagai gantinya, mereka lemah terhadap api.

Seekor kuda tanpa penunggang melintas begitu saja, di tengah-tengah perkemahan, melenggang tenang dan penuh wibawa. Warnanya putih mengkilap, hampir perak, dengan mata emas dan surai mulus. Ketika meringkik, hewan itu menunjukkan giginya yang memiliki dua pasang taring, mirip gigi manusia. Ebügen-qai. Baatar mengenalinya. Salah satu legenda berjalan di Padang Sunyi. Konon al'Nukhar juga pernah jadi penunggang makhluk kuno itu. Penunggangnya yang sekarang ... si ceking Ajirai. Aku ingat sekarang. Suku ini di bawah perlindungan si Chaka.

“Situ liat Ajirai si Ringan di ger utama?” tanya Baatar pada Itelchü. Torjit menoleh tertarik.

Lihat selengkapnya