-Setiap orang punya alasan kuat atas segala pilihan yang mereka buat-
[Kediaman keluarga bapak Manurung & ibu br. Damanik]
“Pak, kami akan nikah kalau udah punya rumah. Lagiankan udah kubilang, Bang Agam masih ngumpulin sinamot1!” celoteh gadis berambut pirang yang baru gabung di meja makan.
“Eh Duma_”
“Antara Pak, An-ta-ra!” Ejaannya begitu tegas. “Lalap2 Duma, Batak kali!”
“Bah mana bisa kayak gitu, harus banggalah jadi orang Batak!” Anak semata wayang tidak menyahut, ia malah sibuk dengan menu sarapan. “Duma, kalau Sipahutar belum punya uang biar Bapak yang membiayai pestanya. Semua bisa diatur, asal kalian mau.”
“Bang Agam itu punya harga diri. Dia akan nikahi aku dengan hasil kerja kerasnya!” Semenjak selalu disinggung masalah pernikahan, Antara tidak bisa berbicara dengan nada rendah.
“Sampai kapan!? Gaji pacarmu aja cuma UMR, belum lagi dia harus biayai sekolah Adeknya. Kurasa umur lima puluh pun belum terkumpul uangnya, yang ada jadi perawan tua kau nanti. Lagian apa susahnya terima tawaran Bapakmu!? Bukan disuruh kau nikah sama orang lain,” sambut ibu yang sedari tadi hanya diam.
“Sepele kali kutengok Mamak sama Bang Agam, macam udah hebat kali Bapak dulu. Opung3 aja sampai jual ladang biar ada sinamot Mamak.”
“Itukan dulu, kau tengok sekarang siapa Bapakmu! Salah satu orang terkaya di kota Medan,” sombong si istri pada anak.
“Nanti Bang Agam bisa lebih hebat dari suami Mamak ini!” telunjuk Antara mengarah pada ayahnya. Hal itu membuat kedua orang tua tercengang, sementara ia berlalu begitu saja dengan sebuah apel di tangan.
“Kau tengok dulu anakmu itu Mak Duma! Tak ada lagi sopannya sama orang tua.” Lelaki paruh baya itu masih syok dan tak percaya, si istri memilih diam sambil memberi elusan di pundak. “A..go amang!4”
Karena sadar telah membuat kesalahan, Antara diam-diam menyusup kembali untuk mengambil tas sandang yang tertinggal di meja makan. Ibunya menatap dengan helaan napas, ternyata aksi kali ini tidak berjalan mulus. Antara tidak bersuara, tapi gigi yang sedang berbaris rapi menandakan sebuah cengiran. Tidak ada teguran, hanya sikap membiarkan. Mungkin waktunya untuk saling menenangkan perasaan.
*
[Rumah cicilan Batara Hasian Simbolon]
Suara ketukan keras pada gerbang, mengusik ketenangan Batara yang sedang menikmati kehangatan selimut di pagi hari. Akhir pekan tidak mengharuskan bangun tepat waktu. Bukankah kasur terasa sangat nyaman setelah beberapa hari sibuk dengan pekerjaan?
Batara yang tadi masih bersembunyi di balik penghangat berwarna abu-abu, segera bangkit dan duduk di atas kasur. Kini beberapa postur tubuh sudah bisa dilihat jelas; ia tegap, kulit sawo matang, berkumis tipis, rambut sedikit bergelombang dan panjang-aura lelaki tampan memang sangat menggoda. Beberapa terkaan mulai muncul di dalam kepala. Penagih cicilan? Tidak, Batara sudah membayarnya seminggu lalu. Apakah pengantar laundry? Tidak mungkin, Batara melirik kain kotor yang berserakan di lantai.
Rasa penasaran memaksa ia keluar dari tempat peristirahatan untuk menemukan jawaban. Ketukan kasar belum juga berhenti, kekesalan semakin bersarang di dalam hati.
“SABAR WOI! RUSAK NANTI PAGAR YANG MASIH NYICIL ITU!” teriak Batara sambil berjalan. Saat pintu sudah dibuka, terlihatlah sosok yang paling tidak diinginkan.