-Kebersamaan itu adalah ketajaman, satunya jalan pikiran adalah kekuatan-
[Kediaman Marsa Maruba Hutabarat]
Maruba mondar-mandir di depan meja makan sambil memandangi dua tamu yang tak tahu diri. Gadis cantik ini masih belum percaya, bahwa teman-temannya memasang wajah lugu tanpa dosa, mereka malah terus menguyah dan mengeluarkan suara rebutan.
“Ini jatahku!”
“Enak aja, orang tadi aku yang minta dibuatin sarapan. Sini!”
Batara menarik mangkuk yang menyisakan sedikit makanan, tapi lawan tak mau kalah-hingga terjadilah adegan tarik-menarik yang sangat berisik.
“Jatahku!”
“Punyaku!”
“Jatahkuuuuuuuuuu_”
“I SAID STOP FIGHTING!” Pemilik rumah berteriak cukup kencang.
Keadaan yang tadi ricuh, seketika tenang dan hening. Maruba menarik napas dalam dan biang masalah diam tertunduk patuh.
“Untukkunya tadi inikan Iban?” tanya Batara dengan nada rendah, tapi tidak ada rasa bersalah.
Tatapan Maruba menjadi sangat sinis, “Kalian berdua, pagi-pagi udah buat rusuh di rumah orang. Jatah sarapanku diembat, udah syukur enggak kuusir. Pamangus1,” omel Maruba.
“Kak Uba yang baik, yang cantik. Kami hauslah, minta buatkan jus boleh? Please,” pelas Antara sembari mengedip-ngedipkan mata.
“Ya udah, tunggu!” sahutnya dengan bibir yang masih maju, tapi nada suara sungguh sudah merdu.
Setelah berlalu tanpa kesadaran, Antara dan Batara saling tos dengan raut wajah girang. Mereka berhasil melumpuhkan gadis penurut yang cerewet. Begitulah Maruba, gadis pemarah yang suka lupa ketika diberi perintah. Sifatnya tulus, polos dan tak tega saat melihat seseorang memelas. Perasaan kesal, bisa berubah jadi perhatian seperti membalikkan telapak tangan.
“Ta, kau kok udah di sini pagi-pagi? Tumben kali, biasanya juga ngaret parah. Ketempelan begu2 mana kau!?” Antara membuka topik baru.
Batara menggerutu pelan. “Bapakku datang tiba-tiba, terus maksa buat nikah sama si Tiur.”
“Si Tiur yang pernah kau ceritakan itukan? Yang bentukannya kagak jelas itu!?” Wajahnya sedikit maju untuk meyakinkan praduga dan Batara mengangguk lesu. “Astaga, hahahahahahahaha….” Antara terbahak-bahak sembari memukuli bahu lelaki di sampingnya. “Tapi setuju sih aku sama Tulang itu, cocok kok kau sama si Tiur hahahahahaha….”
Kini khayal tentang sepasang kekasih di pelaminan semakin membuat tawa tak lepas. Kulit yang berwarna kuning langsat membuat warna merah tomat tertutupi. Hanya beberapa tetes air keluar dari salah satu ujung mata, itu tanda sebuah cerita sangat menggelitik jiwa.
“Minta dipijak cewek kayak gini. Dikatain balik salah, main tangan dibilang kasar. Sabar, sabar Batara!” batin lelaki yang diledek dengan menarik napas perlahan.
“Jusnya sudah datang,” seru Maruba yang wajahnya berseri-seri. Dua gelas berisi cairan berwarna merah ungu diletakkan di atas meja.
“Kakak kenapa?” tanya Antara.
Yang ditanya tidak menjawab dan malah berubah ekspresi jadi bingung mencari tahu sebab akibat yang terjadi pada diri sendiri.
“Bisalah pulak orang kayak Iban jadi dokter,” canda Batara. Si pirang menyikut Batara untuk merubah arah bicara. “Kayaknya enak nih.” Segelas minuman diangkat menuju organ pencernaan paling awal.