-Ketakutan terbesar orang tua adalah dicap gagal mendidik anak-
[Kediaman keluarga Bapak Manurung & Ibu br. Damanik]
“Kalau sampai hal itu terjadi, generasi kita akan punah,” ucap lelaki tua yang berpakaian tidak biasa.
“Kupikirkannya semua itu Bapatua1, tapi tak mungkin kita kawin paksakan si Duma sama Sipahutar. Ta elek majo halaki piga bulan on.2”
“Kita juga harus cepat bertindak Pak Duma. Jangan kau lembek kali sama anakmu, kita lebih tahu apa yang terbaik untuk orang itu. Kalau harus sampai kawin paksa, ya kita kawin paksakan.”
“Kawin paksa!?” seru Antara yang baru muncul di pintu utama. Semua pandangan kini mengarah pada gadis pirang yang menganga.
Antara berjalan mendekati tiga orang dewasa yang sedang duduk di ruang tamu. Tidak ada yang bicara, orang luar bertindak sangat berwibawa, dengan tenang ia menyuruput kopi yang sudah disajikan. Senyum remeh muncul sambil mengelilingi mereka yang tadi sibuk membicarakan pernikahan. Lalu Antara berhenti tepat di samping lelaki asing.
“Salam dulu Opung itu Duma!” pinta ayah yang berniat mencairkan suasana.
“Opung!? Aku nggak pernah ingat punya opung kayak dia,” ucap Antara dengan sombong dan sikap merendahkan.
“DUMA! Sopan kau sikit, tak pernah kuajari kau kayak gitu!” hardik kepala keluarga karena merasa malu dan tidak enak hati pada tamu.
Sebagai istri, ibu Antara mengisyaratkan untuk tenang pada suaminya. Ia yang akan coba menjelaskan. “Duma, hubungan keluargakan bisa dari marga, itulah enaknya jadi orang Batak. Sama kayak temanmu, kan marpariban orang itu biarpun bukan sodara kandung. Nah, kebetulan Bapatua ini adalah tetua dari Samosir dan datang bertamu untuk silahturahmi. Harus hormat ya Nakku sama orang yang lebih tua,” nasihat ibu dengan lembut.
“Mamakku yang cantik jelita, aku bukan nggak mau hormat, tapi atas dasar apa dia membahas dan memaksakan pernikahan anak orang!?” Kata-kata yang awal lembut perlahan menanjak dan nyelekit.
“Duma, Opung ini cuma mau nyampaikan pesan ke sini, niatnya baik, kau jangan kayak gitu!” Ibu masih berusaha membuat pengertian pada anak semata wayang. Sementara ayah memilih diam, takut kalau-kalau emosinya meningkat tajam.
“Sebulan lalu para tetua kampung mimpi di datangi nenek moyang kita. Semua berkumpul, mulai dari Siraja Batak, Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon bahkan Tuan Sorba Dijae pun ada. Kami disuruh bertindak karena generasi Batak diambang punah dan akan tinggal sejarah.”
Antara coba mengambil posisi di sebuah kursi kosong. Sifat ingin tahu dan penuh selidik yang dimiliki muncul sudah kepermukaan. Beberapa jajaran nama nenek moyang perlu mendapat pertanyaan lanjutan.