Batak Pride

Senna Simbolon
Chapter #4

Evacuate

-Dulu sekali, sewaktu semua masih baik-baik saja, keluarga ini selalu bercengkrama di teras rumah-

 

[Kediaman Marsa Maruba Hutabarat]

Maruba menyeruput teh yang berada di cup berwarna putih cantik, berbahan keramik-posisi kaki saat duduk bersilang. Di sana ada sebuah meja kecil dilengkapi empat buah kursi kuno. Pikiran hanyut pada masa lalu, membayangkan ibu dan ayah masih ada-bersama menikmati sejuknya malam hari. Sosok adik sewaktu masih kecil juga ikut mampir dan menambah kesan ceria di pandangan. Dulu sekali, sewaktu semua masih baik-baik saja, keluarga ini selalu bercengkrama di teras rumah.

Tidak ada kursi mewah manapun yang bisa mengantikan kenangan di dalamnya. Itulah mengapa perabotan masih utuh, meski sudah puluhan tahun berlalu, bahkan rumah telah berubah menjadi lebih layak. Ponsel berdering, sebuah pesan masuk dari seseorang membuyarkan lamunan.

“Ito, Cemie katanya rindu, ditanyain kapan bisa ketemu?”

“Weekend ya,” balas Maruba singkat.

Kuku berkuteks biru pastel diarahkan ke profil kontak WhatshApp, foto keluarga kecil memenuhi layar ponsel. Ada seorang laki-laki dewasa bersama istri dan anaknya yang berumur sekitar lima tahun. Lelaki itu adalah adik satu-satunya Maruba-mereka masih berhubungan, tapi rasa sepi masih sering muncul kepermukaan. Masih tinggal di kota yang sama, tapi Maruba sudah jarang berkunjung, seolah sedang tidak menerima nyata. Bahkan Cemie, selaku keponakan ikut merasakan imbasnya.

Kini ia selalu sendirian, hanya tersisa dua sahabat yang selalu ada. Namun, jika mereka segera menikah, semua akan benar-benar kosong. Maruba menghela napas Panjang.

“Maruba baik-baik aja kok Among,” ucap gadis cantik pada angin, ia tersenyum seolah menyembunyikan kesedihan.

“Pura-pura baik!” Batara yang bersandar di sisi pintu berseru dengan gaya tangan melipat.

“Apa sih kau!? Suka kali nganggu ketenangan orang.” Maruba menggerutu, meraih kembali wadah minuman hangat dan menyeruput perlahan. Tindakan ini sebuah pengalihan agar ia tidak terlihat merasa bersalah.

Batara berjalan perlahan, menduduki salah satu kursi dan mulai tersenyum kasihan. Mendekati indra pendengaran Maruba dan mulai berbisik.

“Cantik sih, tapi pargabus1.” Lelaki itu terpingkal-pingkal, kedua tangan sibuk memegangi perut yang terasa sangat geli. Lalu ia mendadak diam, melihat raut wajah tuan rumah yang datar dan seketika merasa canggung. Bagaimanapun juga, ia takut kalau harus terusir paksa. Benda yang masih di tangan Maruba diambil tanpa ijin dan dinikmati sesuka hati. “Emmm, enak juga ternyata.” Lawan bicara masih mematung. “Kayaknya aku harus bikin punyaku sendiri.” Apa yang bukan hak dikembalikan kepada pemilik, lalu kaki melangkah pelan ke dalam.

HUHFT….” Akhirnya sebuah kehidupan terlihat di wajah yang cantik, meski terasa kering dan sayu, setidaknya ia masih bernapas.

“Tapi aku serius Iban, nggak baik membohongi diri sendiri.” Sebuah kepala nongol dari balik pintu. Maruba kembali diam dan Batara memilih kabur ke belakang.

Sementara Maruba tinggal di teras, Batara menjelajah di dapur. Di sana ada balok-balok kecil yang berjajar-warnanya putih elegan. Pengungsi membuka satu per satu pintu lemari untuk menemukan benda yang dicari. Pertama, terlihat kumpulan bumbu dapur bubuk dalam wadah kecil, lalu cup cantik seperti yang tadi dipakai pemilik. Batara mengambil satu, lalu terus mencari bahan lain yang dibutuhkan. Di lemari berikutnya, ia menarik sebuah tempat yang bertulis ‘My Tea, My Happy’. Batara melihat banyak sekali jenis teh di sana dan semua dilabeli penanda, mulai dari; Peach blossom, Chamomile, Lavender, Jasmine, Rosemary, Rosella, Lemongrass, Butterly Pea, Black Wolfberry, French Rose, Pink Rose, Peony….

Forget Me Not!? Teh apa pulak ini!?” Kerutan terlihat jelas di kening dan alis. “Lagian bisa kali koleksi jenis teh sebanyak ini, mau buka olshop atau café nya si kawan ini. Kalau kayak ginikan kasihan di akunya, bingung pilih ya mana, hadeuh!” Dengan geleng-geleng kepala ia mengambil salah satu setelah melakukan cap ci cup.

Batara melihat sekeliling, menemukan ketel elektrik berwana hitam. Menuang 200 ml air dan menekan tombol pada alat pematang air. Tidak menunggu waktu lama terdengar suara cairan yang mendidih, tombol masak mati secara otomatis-teh pun diseduh dengan cara sederhana. Dengan tapak keramik, minuman dibawa menuju lantai dua. Sambil melawati anak tangga dengan hati-hati, Batara tersenyum riang dan menikmati waktu menginapnya. Semua dilakukan tanpa rasa segan, seolah sedang di rumah sendiri.

Lihat selengkapnya