Batak Pride

Senna Simbolon
Chapter #6

Want to talk!

-Semakin seseorang menikmati pekerjaannya, semakin bahagia pula ia melaluinya-

 

[Kediaman Marsa Maruba Hutabarat]

Maruba terburu-buru dengan segala pesiapan pagi pertama di hari kerja. OOTD kali ini ialah kemeja formal berwarna peach dengan ruffel sederhana yang melingkar pada dada. Pencil skirt hitam dengan belahan kecil berbentuk huruf ‘n’ di bagian tengah depan. Perpaduan lain yang ikut menyempurnakan ialah; jam tangan rose gold, stiletto heels hitam, lipstick nude, anting mutiara, rambut panjang dicurly dan sling bag hitam telah dikaitkan ke tangan. Meski penampilannya sederhana daripada bos pada umumnya, tubuh yang indah dan wajah yang mewah tetap memancarkan sisi terbaiknya.

Setelah semua beres, ponsel dan kunci menjadi barang terakhir yang harus diperhatikan. Kaki jenjang segera melangkah keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan cepat. Ia sudah sangat paham akan setiap sudut pijakan.

“Kak Uba udah mau berangkat?” tanya Antara yang tiba-tiba keluar dari kamar dan masih berada di lantai dua dengan piyama pinjaman.

“Iya nih. Nanti jangan lupa kunci rumah kalau mau pergi! Sarapan udah aku siapin di meja.” Tanpa menunggu jawaban, ia segera keluar. Suara pagar terdengar, lalu dilanjut suara mesin mobil yang perlahan menghilang.

“Ke mana tuh orang?” Batara tiba-tiba muncul di sebelah dan membuat telinga seolah tertiup.

“Ih apaan sih kau, geli!?” Antara mengusap-usap telinga dengan cukup kasar. “Ya kerjalah!” Antara menuruni anak tangga.

“Kok pagi kali?” Retina menatap dinding yang digantungkan jam. Jarum pendek ke angka enam dan jarum panjang ke angka satu. Kaki gadis pirang berhenti sejenak.

“Kayaknya mau persiapan acara pembukaan cabang yang di Tebing. Kan kalau nggak salah bulan ini.”

“Terus kau mau ke mana?”

“Makan.” Tarikan tangan Batara dilepas tanpa berbalik badan.

Lelaki itu membiarkan singa kelaparan menuju meja makan, tapi ia juga ikut menyusul dengan gerakan lesu. Sesekali ia ingin kembali menarik lengan atau baju Antara, tapi ditahan dengan segala pertimbangan yang ada. Saat penutup makanan dibuka, air liur Antara segera memenuhi rongga mulut. Ada dua gelas infus water dan dua piring keramik kotak berisi dada ayam rebus yang sudah dipotong memanjang. Telur rebus belah, brokoli rebus, tomat cherry, selada segar, irisan kol ungu, irisan bawang bombai merah, disiram dengan racikan minyak zaitun yang dicampur cuka anggur dan oregano kering.

Tanpa menunggu aba-aba lagi, Antara segera melipat tangan untuk berdoa singkat dan segera menyantap sarapan dengan lahap. Lelaki yang di sampingnya tidak lagi diharaukan. Kepala asyik bergoyang ke kanan dan ke kiri kala makanan menyentuh indra pengecap. Batara hanya bisa memandangi bagiannya dengan tidak senang hati. Perlahan diamati apa saja yang terdapat dalam piringnya, lalu menghela napas dan meneguk minuman yang ada di gelas.

“Macam kambing kutengok udah kau!” seru Batara dengan spontan.

Perkataan ini tidak membuat gadis pirang kehilangan semangat untuk mengenyangkan perut. Rambut yang terurai mengganggu proses penyuapan makanan. Coba dikembalikan ke belakang, tapi tetap tergelincir lagi kala kepala menunduk sedikit. Sifat peka yang dimiliki membuat Batara dengan sigap mencari benda apa saja yang bisa mempermudah sahabatnya. Sebuah kain berbentuk sapu tangan yang tidak terlalu tebal dipakai untuk menyelesaikan kesulitan.

“Ih apaan sih kau!” Antara memukul lelaki itu dengan cukup keras. “Pakai ikat rambut yang betul napa? Ini pakai kain lap, bau tahu! Nambahin kerjaan aja pun pagi-pagi harus keramalah ini!” Antara menarik benda asing yang ada di rambutnya, lalu dicampakkan ke sembarang tempat. Kemudian ia melanjutkan sarapan yang masih tersisa.

“An, aku mau ngomong seriuslah,” ungkap Batara dengan mode serius tapi dibumbui keragu-raguan.

Lawan bicara hanya mengangguk saja tanda ingin mendengar, terlihat tidak terlalu fokus, tapi tetap menantikan jawaban. Lelaki dengan boxer dan kaos hitam di samping tak kunjung juga mengeluarkan suara. Padahal tadi ia begitu bersemangat. Antara menghadapkan tubuh pada Batara yang kini terlihat sedang meyakinkan diri sendiri.

“Tadi katanya mau ngomong, sekarang malah diam!” omel gadis pirang dengan mulut yang sedikit belepotan. Bukannya menggubris, Batara malah menghapus sisa makanan yang berada di ujung bibir Antara. Merasa dipermainkan dengan rasa penasaran, wajah kecut pun dipasang. “Ketempelan begu ganjang1 kurasa kau. Udahlah makan dulu itu, keburu nggak enak lagi nanti!” saran Antara.

Batara memperhatikan kembali menu sarapannya. “Kayaknya nggak kenyanglah makan ini. Perut Batak harus diisi nasi dan porsinya banyakan juga.” Wajah merenungi makanan. “An masakkan aku nasi goreng kenapa!?” Memelas bagai anak kecil yang minta dipenuhi permintaannya.

“Yang banyakanlah permintaannya ini, tinggal makan aja pun susah kali! Kalau nggak mau kau, biar aku yang makankan.” Antara menarik piring yang masih berisi makanan, tapi ditarik kembali oleh Batara karena masih menginginkannya. “Makan yang betul! Siapa tahu ada mujizat jadi kotak-kotak perut buncitmu itu.”

Batara memegangi perutnya yang sedikit buncit. “Gini pun dibilang buncit, selera perempuan memang aneh, harus kayak triplek kurasa.”

Lihat selengkapnya