-Sefrekuensi apapun pertemanan, secocok apapun cara bercandaan, tetap harus ada etika untuk mengerti batasan-
[Kediaman Marsa Maruba Hutabarat]
Maruba baru saja sampai di depan pagar rumah. Ia berhenti sejenak menatap rumah yang masih gelap-tanda-tanda kehidupan tidak terlihat. Asisten rumah tangga belum juga kembali dari kampung halaman. Ia harus melakukannya sendiri-turun dari mobil, membuka pagar, memasukan kendaraan dan kembali menutup pagar. Garasi di rumah ini sengaja tidak dipasangi pintu untuk mencegah kesulitan saat Maruba sedang sendirian. Mesin yang berbunyi halus sudah tak terdengar, kunci keamanan pun dipasang.
Yamaha MT-25 bermesin dua silinder 250cc dengan tampilan sporty berwarna hitam dominan dan sedikit biru menarik perhatian Maruba yang baru saja memarkirkan kendaraannya.
“Keretanya udah di sini kok, tapi orangnya ke mana ya?” Maruba menyipitkan mata dan mengerutkan dahi dengan seribu tanya di kepala. Mengamat-ngamati sekeliling dan kemudian mengangkat kedua bahu sebagai tanda tak acuh.
Badan diregangkan, pintu utama segera dibuka. Suasana sangat gelap dan tak menampakkan apa-apa. Dengan insting, Maruba berjalan menuju tombol lampu yang berada di samping jendela besar. Seketika ruang tengah menjadi sangat terang. Maruba berharap rumah akan jadi tempat terbaik untuk meredakan lelah, tapi sebuah teriakan membuat ia terkejut sampai terperosok ke sudut jendela.
“Selamat datang Nyonya!” sorak Antara dan Batara serentak. Pukulan dua panci yang diadukan juga ikut memeriahkan.
Maruba menarik napas berkali-kali sambil memegangi dadanya yang masih dalam keadaan belum stabil.
“Astaga Iban, sini-sini aku bantu!” Batara mendekati Maruba dan meraih tangan kanannya untuk memberi pertolongan. “Kau An, kan udah kubilang Iban itu udah tua! Pasti jantungnya nggak kuat kalau dikejutkan, tapi kau tetap jugul1.”
Mendengar tuduhan dilemparkan, Antara mengaga tak percaya. Padahal, ini adalah usulan Batara setelah pulang ke rumah tadi sore.
“Eh, muncungnya ini kalau ngomong nggak kira-kira, main tu-”
“UDAH!” Menghentakkan tangan yang terulur untuk menolong. “Nggak pala2 kalian bersandiwara, macam tak tahu aku kalian buat.”
Antara dan Batara senggol-senggolan seraya masih saling menyalahkan. Gelengan kepala menandakan ketidaktertarikan untuk ikut ambil bagian. Maruba yang memiliki umur dan sikap yang lebih dewasa, bagai orang tua yang menyaksikan pertengkaran anaknya.
Sling bag hitam yang tadi bergelayut manja, kini ditenteng asal dan dilempar ke sofa tanpa perasaan. Tubuh yang lelah juga segera direbahkan. Sejenak mata ditutup untuk mendapat ketenangan yang lebih maksimal. Pandangan dicuri kembali oleh koper merah muda nyentrik dan ransel hitam yang berada di sisi sofa. Badan yang sudah asyik melebur dalam kenikmatan, seketika bangkit melempar pandang pada kedua teman. Kini keduanya makin parah, sudah masuk tahap saling tarik untuk melumpuhkan lawan.
“Itu kenapa di sini!?” Pertandingan pun berakhir. Kaki melangkah mendekati pemilik rumah.
“Gini Kak Uba, jadi aku mau pulang ke rumah karena tadi Mamak nelpon.”
“Mau nikah kau!?” tanya Maruba penasaran.
“Ya enggaklah! Kembaranku sakit katanya,” keluh Antara. “Entah ecek-ecek atau betulan, aku tetap harus pulanglah.”
“Kembaran!? Kok nggak pernah cerita punya kembaran? Kau bukannya anak tunggal ya?” Maruba jadi linglung dan semakin tak mengerti apa yang telah terjadi.