Batak Pride

Senna Simbolon
Chapter #10

Still Angry

-Bagi Antara, belum ada yang namanya baikan selama masih ada pemaksaan pernikahan-

 

[Kediaman keluarga Bapak Manurung & Ibu br. Damanik]

Antara menguap panjang seraya mengusap-usap helaian pirang yang mengembang dan berantakan. Sekarang ia persis seperti singa betina yang baru bangun dari tidurnya. Sepasang mata belum terbuka dengan sempurna, pijakan kaki pada setiap anak tangga hanyalah insting belaka. Sebuah suara yang tidak terlalu asing menggetarkan gendang telinga. Otak segera membuat perintah dengan cepat. Retina akhirnya membelalak dan memfokuskan pandangan. Tubuh yang tidak mungil menyembunyikan diri ke sisi tembok. Samar-samar, suara percakapan coba ditangkap walau tidak maksimal.

“Kopi buatan Mak Duma memang yang paling enak ha…ha…ha…!” Tawa begitu pecah, sesapan kopi masih berlanjut untuk dinikmati.

“Ngapain laginya si baluhap1 itu datang!?” Tangan kanan mengepal, bibir pink alami sibuk mengerut. Dengan mencuri-curi pandang, Antara memperhatikan tersangka dengan begitu melekat. “Awas aja kau!” Antara membalikkan tubuhnya dan kembali menuju kamar.

Langkah kaki sudah lebih tegas, kesadaran juga sudah benar-benar normal. Setelah berhasil duduk di atas kasur yang masih berantakan, sebuah panggilan WhatsApp ditujukan pada kontak yang bertuliskan ‘BABU’. Percobaan pertama, panggilan tidak ada yang menerima. Namun, gadis ini sungguh tidak ingin menyerah. Setelah semua kegigihan ditumpahkan, akhirnya ada suara lemah yang terdengar.

“Iya halo,” sahutnya dengan suara tak semangat. “Kau bisa nggak nelponnya tahun depan aja? Aku masih mau tidur.” Yang terdengar hanya rasa tidak niat mendalam.

“Kau dengar dulu aku bentar!” Tidak ada lagi jawaban dari seberang. “Woi Ata! Ata!” Rupanya jiwa kembali lagi ke alam bawah sadar. “Ah bangsat ni orang!” Panggilan diakhiri, lalu kembali disambungkan lagi.

Kali ini tidak butuh usahan berulangkali, rupanya orang di seberang sudah lebih mudah untuk diganggu dengan nada panggilan.

Please, lima menit lagi ya An!” bujuknya masih dengan tutup mata.

“Bangun sekarang, atau kubongkar rahasiamu!?” Perintah tidak diikuti amarah atau nada yang tinggi, tapi sungguh mampu membuat pihak yang terancam bergegas bangun dari tempat tidur yang nyaman.

“Iya-iya ada apa!?” Kepala yang tak gatal digaruk sebagai bukti kekesalan. Walau suara lantang langsung keluar, tetap saja ada nada malas yang terdengar.

“Penipu itu datang lagi ke rumah. Tapi tahu kau-”

“Nggak tahu! Kau belum ngasih tahu,” potong Batara.

“Sekarang pakaiannya udah normal dan nggak salah kostum lagi.” Dalam ketenangan pengucapan maupun candaan teman yang dihiraukan, ada rasa penasaran dan ketidaktenangan.

“O….” Ternyata lelaki itu masih ingin mempermainkan percakapan. “EH APA TADI KAU BILANG!? Nggak salah kostum!? Yakin kau!?” Rupanya sedari tadi ia belum mencerna dengan baik informasi yang disampaikan lawan bicara. Batara tak kalah penasaran dengan fenomena yang Antara lihat pagi ini.

Antara hanya mengangguk dalam mode panggilan yang tidak menggunakan video. Meski begitu, seorang sahabat mengerti pertanyaannya sudah dijawab melalui sanubari. Gadis cantik yang belum mandi juga tidak mempermasalahkan ketidakseriusan sahabatnya. Saat ini yang terpenting ialah menemukan jawaban, siapa dan ingin apa ia dari pernikahan mereka.

Sejenak keduanya terdiam, Batara yang di seberang terdengar sedang mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas permukaan benda keras.

“Kita harus ketemu!” ungkap Batara dengan penuh keseriusan. “Nanti kuantar aja kau ke kampus.”

Antara hanya mengangguk dan mematikan panggilan. Kini tugasnya bersiap-siap untuk menantikan jemputan dari Batara. Mereka butuh usaha lebih untuk memecahkan masalah ini. Semua tidak akan baik-baik saja bila hanya diam dalam tanda tanya.

*

Pak Duma hanya memasang wajah datar, tapi keseraman begitu tampak jelas. Wajah kotak yang menjadi ciri khas perawakan orang Batak akan sangat menakutkan bila tidak dihiasi senyuman. Pergelangan kaki kanan ditopang ujung paha. Kedua tangan diletakkan pada sandaran sofa berwarna biru tua.

Dilihat dari pakaian yang sudah sangat rapi, ia pasti sedang bersiap untuk berangkat kerja. Jas abu-abu berpasangan dengan celana bahan senada. Lalu tidak lupa dipadukan pula kemeja putih dan dasi berwarna merah tua. Perut buncit terlihat jelas karena baju sudah mulai kekecilan. Kancing jas juga tidak dikaitkan ke lubangnya. Dengan tenang ia melirik jam tangan yang terus berputar. Itu adalah jam tangan Tudor Black Bay 58 berwarna navy blue.

“Kopi buatan Mak Duma memang yang paling enak ha…ha…ha…!” Tawa begitu pecah, sesapan kopi masih berlanjut untuk dinikmati.

“Kau jangan yang aneh-aneh lagi Pak Duma! Nanti makin marah lagi boru kita itu,” bisik Mak Duma.

Lihat selengkapnya