-Tubuh meluruh ke bawah, Batara membuka mata dan berusaha agar perempuan itu tidak sampai terduduk di tanah-
[Kediaman Marsa Maruba Hutabarat]
Sekelompok perempuan memasang kegelisahan mendalam. Antara sibuk melakukan panggilan yang tidak pernah diberi jawaban. Maruba bolak-balik memperhatikan ujung jalan sembari sesekali melihat waktu yang terus berputar di tangan. Sementara adik ipar coba memberikan kenyamanan bagi Chemie yang terlihat mulai bosan.
“AH! Kepala otaknya inilah! Nggak pernah ingat waktu kutengok!”
Antara menghempaskan tangan yang sedang menggenggam ponsel merk iPhone 11. Ia sudah kehabisan akal untuk menemukan keberadaan sahabatnya, Batara.
“Nggak diangkat juga?” Pertanyaan Maruba hanya mendapat anggukan lesu. “Kita susul aja kali ya?”
“Susul!? Kak ini udah jam tujuh loh!” Antara mengambil posisi untuk berpikir sejenak. “Gini aja deh! Kalian berangkat duluan aja, nanti aku sama dia naik motor ke sana.”
“Nggak enaklah! Kitakan udah janji bakalan berangkat naik mobil sama-sama,” bantah Maruba.
“Iya, tapi kita nggak tahu posisi si lontong1 itu di mana! Iya kalau udah di jalan, kalau masih tidur kek mana!?”
Sedari tadi semua kata-kata yang keluar dari mulut Antara menunjukkan kekesalan yang tiada habisnya. Intonasi tidak ada yang menurun, semua naik bagai mendaki gunung.
“Kau ngomongnya bisa difilter sikit nggak? Ada anak kecil di sini,” bisik Maruba untuk menyadarkan bahwa ada telinga yang harus dijaga.
Perempuan Batak yang sedang emosi akan merubahnya menjadi seekor singa siap menerkam mangsa. Kasar, tidak memperdulikan orang sekitar, kata-katanya pun tidak sempat melalui penyaringan.
“Maaf udah nggak bisa lagi Kak, udah naik sasak2ku dibuat si bangsat itu!” Terdengar suara ngos-ngosan kecil dari Antara.
Maruba yang tidak bersalah juga merasa ikut dimarahi, padahal seharusnya ia yang memaki. Maruba menciut tidak berani berkata apa-apa. Akhirnya adik ipar coba mengingatkan mereka untuk tidak lagi berdebat, tapi segera memilih untuk melakukan solusi.
“Aku setuju kita berangkat duluan. Perjalanan kita sekitar dua jam kalau nggak macet. Acara dimulai jam sembilan, nggak baik kalau tamu undangan sampai harus nunggu.”
Antara mendesah kesal melihat Maruba yang masih terdiam. Kunci di genggaman dirampas Antara tanpa aba-aba. Pintu supir dibuka, sahabat didorong masuk dan dipastikan tidak keluar lagi.
“Orang Kak Chemie masuk jugalah!” pintah Antara dengan sangat ramah.
“Kalian segera nyusul nanti ya, kalau ada apa-apa kabarin kami!” Ibu satu anak ini memang selalu memberikan kalimat terbaik untuk lawan bicaranya.
Sembari menggendong Chemie, ia memasuki mobil dengan hati-hati, memastikan agar si buah hati tidak terbentur ke bagian mobil. Mesin sudah menyala, angkutan mulai keluar dari area pagar. Suara klakson dibunyikan tanda perpisahan, lambaian tangan diberikan sambil menebar senyuman.
“Hati-hati!” Antara ikut berjalan ke luar pagar. Ketika mobil terlihat siap bertarung di jalan raya, suara teriakan dikeluarkan gadis pirang. “JANGAN LUPA LEWAT JALAN TOL!”
Kaca mobil yang masih terbuka setengah membuat Maruba masih mampu mendengar suara sahabat dengan jelas. Klakson dibunyikan lagi tanda mengerti. Suara mesin semakin menjauh, hela napas lega keluar dari mulut Antara. Ia kembali ke dalam dan mengambil posisi duduk di salah satu kursi teras yang biasa digunakan pemilik rumah untuk mengenang.
Ia kembali menatap layar ponsel, belum juga ada kabar. Sembari menunggu, Antara hanya membuka aplikasi di alat elektronik tanpa memiliki tujuan yang jelas. Menu kalkulator juga ikut-ikutan dibuka, setelah dua detik menuju menu lain yang tak kalah abstraknya. Tiba-tiba ia berhenti pada perekam suara, menekan fitur berwarna merah, lalu mulai mengungkapkan beberapa kalimat.
“Batara kau di mana? Lama kalipun! Aku capek nungguin kau. Nanti kalau make up di mukaku sampai luntur, kupijak-pijak kau!” Tatapan itu terlihat kosong dan lesu. “Bisa-bisanya kau terlambat, padahal ini momen penting daripada yang terpenting. Pantaslah kau jomlo, suka kali buat perempuan menunggu!” Ocehan gadis ini menggunakan tempo yang sangat lambat hingga ia seperti sedang belajar membaca.
Sinar matahari yang semakin terik sudah mulai memasuki daerah teras. Wajah gadis berpoles riasan blod mengeluarkan buliran keringat, terutama di bagian dahi dan hidung mancung Antara. Mulai merasa panas dan tidak nyaman, Antara menggeser kursi ke area yang belum terkena sinar. Ia bahkan harus mengangkat kedua kaki ke atas kursi agar tidak kepanasan. Jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit.
Setelah bergumul dengan segala penantian yang meresahkan, Antara mendengar kedatangan yang dinanti. Suara motor masih cukup jauh, tapi Antara sudah tahu.
“BATARA!” Ia langsung bangkit dari duduknya dan menatap ke sumber suara.