- Ia juga tahu saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya ada apa, akan lebih baik jika hanya selalu ada di sampingnya-
[Champion Café]
Antara menikmati jus jeruk dengan sedotan sambil memandangi Maruba yang asyik di depan layar laptop. Suasana café malam itu cukup ramai karena menjelang hari weekend. Para pengisi panggung kecil di sudut ruangan mulai mengambil posisi masing-masing. Gitar akustik dipeluk dan mulai dipetik, mikrofon di stand mulai didekatkan ke bibir. Suara merdu mulai mengalun merebut ketenangan hati para pengunjung, kecuali si gadis pirang.
Bibir merengut menatap sahabat yang masih belum bisa diajak bicara. Ponsel juga belum menunjukkan tanda-tanda hadirnya pengharapan. Beberapa kali hela napas panjang dilepas, sentilan pada benda elektronik diberikan, tapi Maruba masih tidak bertanya ada apa. Cari perhatian yang dilakukan sungguh tidak efektif.
Tak berapa lama, kedatangan seorang pelayan dengan berbagai menu makanan merubah raut bete menjadi ceria di wajah Antara. Satu per satu diletakkan di atas meja, ada steak, kentang goreng, onion ring, mi goreng dan juga dua gelas air putih.
“Makasih Bang!” seru Antara dengan girang.
Pelayan hanya mengangguk atas ucapan Antara. Sejenak gadis poni tail memperhatikan pekerja yang tidak memiliki semangat. Bola mata terus mengikuti ke mana lelaki berseragam pergi. Kepala sampai ikut berputar, seolah ada hal yang sedang diteliti. Tiba-tiba aroma masakan mulai memasuki indra penciuman, Antara berubah jadi tidak ambil pusing. Gapur dan pisau sudah siap berperang untuk memenuhi kebutuhan asupan malam.
“Emmmm…, enak kali loh Kak!” seru Antara setelah menelan suapan pertama, tapi tanpa disadari sahabat sudah tidak di tempatnya lagi.
Merasa bingung, pencarian pun dimulai dengan pergerakan bola mata dan kepala yang bekerja sama. Salah satu sisi menampakkan sosok gadis berkaus putih yang sedang menempelkan telepon genggam ke telinga. Antara memastikan tas dan laptop Maruba masih bisa dijadikan jaminan. Ia pun melanjutkan makan dengan penuh ketenangan.
“Bagi ya!?”
Salah satu personil langsung duduk di kursi Maruba seraya mencomot kentang goreng yang menggiurkan lidah. Sontak yang punya makanan merasa tidak terima. Bokong sudah tidak menempel lagi pada kursi, badan dimajukan ke arah pencuri.
“Punyaku!” Menangkap tangan Batara dan menunjukkan raut mengancam. “Enak kali kau main ambil makanan orang! Kalau mau pesan sendiri!” omel Antara sambil mengembalikan makanan yang sudah hampir dimasukkan ke mulut. Lalu, ia kembali duduk dan menguyah daging yang masih belum masuk ke dalam sistem pencernaan.
“Astaga, cuma perkara kentang goreng sebiji sampai kau tarik tangganku!? Nggak ketolong lagi sih sifat pelitmu itu!” Mata melotot tajam ke depan. “Heran, bisa pulak cewek kayak kau laku!” sindir Batara.
“Katain aja sepuasnya, kubalas kau nanti!” sumpah Antara dalam hati.
“Tumben singa betina nggak ngamuk dikatain?” Batara juga ikut bertanya dalam hati. “Udah rakus, pedenya kelewatan. Cantik enggak, kaya pinahan1 iya!” uji Batara lagi karena merasa ada yang tidak beres. “Ini sih langka kali woi, bisa-bisanya dia nggak ngamuk! Ketempelan atau gimana ini? Aduh harus segera panggil dukun aku ini. Ngeri pulak kurasa kalau udah anteng gini dia,” ucapnya dalam hati.
Antara lanjut menikmati menu kedua, sedang Batara mulai memaksa retina memperhatikan sahabat secara detail. Warna mata, cara pandang, cara makan, tapi semua terlihat normal. Permasalahan belum ditemukan, tapi undangan menelan ludah malah datang karena serunya Antara makan. Secara spontan, jari melangkah seolah punya kaki untuk mencuri sedikit makanan. Namun kesadaran segera kembali, tangan ditarik kembali dengan cepat. Walaupun sangat ingin, ia memilih menyelamatkan nyawa.
“Eh Bang! Aku boleh tengok menunya?” sahut Batara pada pelayan yang kebetulan melewati meja nomor delapan. “Aku pesan steaknya satu, kentang goreng satu dan nasi satu.” Lelaki berseragam hitam putih mulai mencatat di kertas notes yang selalu dibawa. “Sama minumnya orange jus aja.”
“Baik, mohon ditunggu sebentar!” tersenyum ramah dan ceria.
“Gilak aja nih pelayanan! Tadi samaku cuek bebek, bisa-bisanya sama si Ata dia senyum-senyum.” Antara memperlambat tempo sendok memasuki mulut, tatapan melirik ke arah pelayan. “Ihhhh jangan-jangan homo pulak Abang ini!Amit-amit cabang bayi!” Pundak Antara bergetar tanda jijik kalau sampai pemikirannya benar.
Batara memberikan kertas menu, lalu pelayan berjalan menuju dapur. Selesai sibuk dengan orderan, Batara memperhatikan laptop yang masih menyala di atas meja. Sepertinya mode sleep otomatis tidak menyala.
“Si Iban ke mana?” tanya Batara pada pemilik informasi utama.
Karena masih sibuk dengan kenikmatan pada indra pengecap, Antara menunjuk dengan dagu ke arah luar. Maruba tampaknya masih larut dalam percakapan panjang dan penting. Tangan Batara mulai menyentuh benda bercahaya.
“Eh, kau ngapain pegang-pegang laptop Kak Uba!?” teriak Antara dengan makanan penuh di mulut.
“Suka-sukaku!” Benda dalam pegangan digeser ke salah satu sudut meja yang cukup aman.
Antara mengosongkan mulut dengan menelan seketika. “Nanti tercancel pemasanan tiketnya awas kau!” amuk gadis pecandu makan.
“Nggak segoblok itu loh aku! Parbada2 kali kau memang,” sahut Batara.
“Kak mau dirusakkan si Ata laptop Kakak!” adu Antara ketika melihat Maruba sudah mendekati meja.
Batara segera memutar kepala, tampaklah di sana seorang gadis dewasa. Maruba melirik miliknya yang sudah berpindah tempat. Setelah memberikan gelengan maklum, Maruba mengalah mengambil posisi di kursi lain karena miliknya sudah diambil Batara.
“Udah rittik3 kurasa kau iya!?” tegur lelaki yang baru saja difitnah.
Antara memasang ledekan dengan juluran lidah, topik baru pun dimainkan untuk ajang balas dendam.
“Tahu Kakak? Bentar lagi si Ata mau punya pacar loh!” seru Antara memanas-manasi keadaan.
“Oh ya!? Sama siapa?” Maruba tampak terkejut dengan berita langka yang hampir tidak pernah didengarnya selama menjalani persahabatan.
“Aduh Iban, kau jangan percaya sama omongan perempuan gila ini!”