-Patah hati selalu menunjukkan keberhasilannya melukai perasaan perempuan-
[Kediaman keluarga bapak Manurung & ibu br. Damanik]
“Dang olo au ro tu pesta na i!”1
Mak Duma membolak-balikkan undangan super mewah bertema Batak Toba. Wajah bahagia calon pengantin terpampang begitu jelas di cover depan. Gelar master dan sarjana menjadi milik pasangan yang akan mengadakan pemberkatan. Mak Duma memusatkan pandang pada marga yang dimiliki pengantin laki-laki; Manurung, hatinya bergetar.
“Kita akan jadi omongan orang-orang dan keluarga besar kalau nggak datang,” sahut Pak Duma.
“Datang nggak datang, kita akan tetap jadi bahan kombur2 orang itu!” Mengambil posisi duduk di hadapan suami. “Lagian lucu kali memang Adek kau itu! Sampai sekarang aku nggak tahu salah kita di mana, padahal dulu dia kerja di perusahaan kita. Juma dohot jabu na di huta pe tuhalaki do sude!3 Ikhlasnya aku perbagian kita diambil, tapi tetap aja masih cari gara-gara!”
Undangan dilempar asal ke atas meja. Pak Duma tidak lagi memberikan respons apa-apa. Semua hal yang dikatakan istri benar adanya. Hembusan napas panjang menunjukkan adanya tekanan yang sedang meradang. Suasana hening memenuhi ruangan yang tergolong luas. Jiwa yang asyik dengan pemikiran sendiri akan menimbulkan peperangan dan sikap menyalahkan diri.
“Salahkunya ini semua,” ungkapan sang istri membuat kepala keluarga menatap penuh penasaran. “kalau aja aku bisa ngasih kau anak_” Air mata yang tak pernah jatuh, kini telah menguasai area pipi.
“Kita udah pernah bicarakan soal ini Mak Duma, aku nggak pernah menyalahkan siapapun. Aku nikah sama kau bukan untuk kujadikan pabrik anak, kau teman hidupku!” potong suami yang kini bebannya malah bertambah oleh rasa bersalah kekasih hati.
“Tapi kalau kita punya anak laki-laki nggak akan dia sepele dan menghina kau kayak gini!” Pak Duma terdiam saat mulut sudah terbuka ingin bicara. “Iyakan Pak Duma!?” Suami yang ditatap malah menundukkan kepala. “Aku istri yang nggak berguna, aku nggak bisa ngasih penerus marga Manurung untukmu,” makinya pada diri sendiri.
Pak Duma mulai mengambil tindakan agar hal ini tidak berkepanjangan menjadi tekanan batin untuk istri tercinta. Kaki melangkah mendapatkan perempuan di hadapannya, memberi pelukan yang tak lagi hangat karena luka berat. Tangis semakin pecah, entah sudah berapa lama ia menahan untuk rasa bersalah yang dipendam.
“Kau tahu aku yang memilihmu, aku yang ingin hidup bersamamu Mak Duma! Kehadiranmu dan si Duma udah lebih dari cukup untukku,” jelas suami dengan belaian lembut pada rambut pendek yang sedang terurai.
“Aku tahu kau malungun4 Pak Duma, aku tahu kau juga pengen kali punya anak laki-laki.”
“Setelah si Duma nanti nikah, semua akan baik-baik aja! Nggak akan lagi Adekku ngomong soal penerus marga atau anak perempuanku yang belum nikah-nikah!” yakinkan lelaki itu.
“Jadi aku dipaksa cepat nikah hanya perkara ejekan dari Uda5?”
Kehadiran Antara yang tidak disadari membuat keduanya melepas pelukan dan kembali dari mode isak tangis ke raut gelagapan. Mereka melihat putrinya yang basah karena diguyur hujan. Ternyata jas hujan tidak cukup melindungi gadis malang. Mata sembab, rambut pirang berantakan seperti kucing yang baru diangkut dari selokan. Miris dan menyedihkan, patah hati selalu menunjukkan keberhasilannya melukai perasaan perempuan.
“Kenapa basah-basahan kau Nang?”
Mak Duma panik dan mendatangi Antara yang masih diam di tempat. Ia tidak lagi memikirkan perasaan bersalah yang sedari tadi dibawa ke permukaan.
“Orang kemarin suruhan Bapakkan!?” Melihat sang ayah dengan tatapan kejijikan. “Sumpah nggak lucu kali, ini bukan dunia film loh Pak!”
Mak Duma menatap suaminya yang hanya diam seolah mengiyakan tuduhan Antara. Dia tidak pernah menyangka dalang dibalik drama ini ternyata orang terdekat. Semua hal yang terjadi saat ini mulai menguatkan dan menguak kebenaran.
“Betul itu Pak Duma!?” Boru Damanik sangat berharap suaminya mengeluarkan sepatah kata, tapi tidak ada pembelaan yang keluar.
“Seharusnya dari awal aku udah bisa tebak kalau ini ulah Bapak. Sekarang terserah kalian ajalah! Sampai kapan pun, aku ENGGAK akan nikah!” Orang tua Antara menyoroti anak gadisnya. Pernyataan ini adalah sebuah penegasan, yang artinya berbeda dari tidak ingin menikah sekarang. “AKU PUTUS!”
Ungkapan terakhir menjadi pilihan awal yang menuntun langkah Antara menaiki tangga menuju lantai dua. Mak Duma yang merasa perlu ada di samping Antara segera menjadi ekor yang mengikuti ke mana tubuh pergi. Langkah gadis pirang begitu lincah oleh marah, langkah ibu tergopoh-gopoh karena rasa khawatir akan putrinya.
Pintu dibuka dan ditutup oleh bantingan keras, bahkan ayah Antara bisa mendengar suara hantaman dari lantai bawah. Ia sedang tidak bisa menegur ataupun berkata apa-apa. Kedua mata tertutup mendengar semua kejadian yang berada di luar dugaan. Mak Duma juga terkejut dan diam sejenak memandangi kamar putrinya. Namun sang ibu coba menggenggam gagang pintu dan benar saja tidak dikunci sama sekali.