Batak Pride

Senna Simbolon
Chapter #17

Flashback I

-Sebagai seorang suami, ia tahu bagaimana harus bersikap pada istri dan ibunya tanpa harus menyakiti salah satu dari mereka-


[Lumban Bulbul, Kec. Balige, Kab. Toba Sumatra Utara/ Rumah kontrakan]

Kedatangan sepasang kekasih tua yang berasal dari desa sebelah telah membuat seorang perempuan dalam ketakutan. Mereka memasang wajah datar dan mengambil alih situasi di rumah. Tangan penghuni memperlihatkan keresahan, buku-buku jari mulai basah oleh keringat dingin. Bola mata selalu memperhatikan ke mana arah langkah ibu mertua pergi.

Di awal pernikahan, ia tidak pernah mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Semua yang dilakukan selalu mendapat pujian dan elukan. Namun setelah tiga tahun berumah tangga,  semua berubah sekejap mata. Sikap dari mertua mulai menjengkelkan, semua yang dilakukan selalu serba salah. Ternyata berpisah tempat tinggal tidak lantas menjadikan suasana damai sepenuhnya.

Inang1 dan Amang2 mau dibuatkan minum apa?” tanya boru Damanik dengan gemetaran yang ditahan.

“Duduk aja dulu kau situ! Bisa nanti kami ambil minum sendiri!” ketus ibu mertua yang sudah mengambil posisi duduk seraya meletakkan tas besar berisi beberapa potong pakaian.

“A-aku ke kamar mandi dulu ya Inang,” ijin boru Damanik.

Tangan perempuan tua menginstruksikan silahkan dengan telapak tangan yang dikibas cepat. Wajah buang muka, mata sinis dan bibir yang naik sebelah dipasang serentak tanda tidak suka. Boru Damanik bangkit dan melangkah dengan posisi merunduk sebagai tanda hormat saat melewati orang tua.

Begitu berhasil sampai tujuan, pintu kamar mandi segera ditutup. Tangan yang sudah tremor mengeluarkan benda elektronik dari saku celana. Sembari mengetik pesan singkat untuk sang suami, ia bolak-balik mengintip dari celah kecil di balik pintu. Meski huruf-huruf yang tersusun tidak begitu sempurna, itu sudah cukup untuk memberikan isyarat bahwa dirinya dalam bahaya.

Mak Paima!3” Teriakan perempuan tua sudah terdengar dari ruang tamu.

Boru Damanik terkejut dan hampir menjatuhkan ponsel yang belum sempat dikantongi kembali. Tarikan napas dilakukan agar langkah selanjutnya tidak gegabah. Segayung air dipakai untuk menyiram tangan dan lantai. Waktunya keluar dari tempat persembunyian dan kembali menghadapi kenyataan.

“Leleng hian ho! Baen jo kopi i, nga ma uas hian au!”4 pinta ayah mertua yang sedari tadi diam, tapi tetap menunjukkan sikap ingin menindas.

Belum sempat bokong menyentuh tempat duduk, boru Damanik langsung bangkit kembali. Dengan ekspresi linglung ia berjalan ke arah dapur. Ia sungguh tidak mengerti atas perlakuan yang didapatkan. Tadi ia sudah menawarkan untuk membuat minuman, tapi penolakan yang didapat. Kini karena sedikit lama dari kamar mandi, ia malah mendapat teguran. Namun, ini jauh lebih baik daripada harus berada di hadapan mereka sampai pertolongan tiba di rumah.

Air, gula, dan bubuk kopi dimasukkan ke dalam panci bersamaan. Adukan kecil diberikan untuk meratakan larutan. Kompor dinyalakan dengan ukuran api paling kecil. Semakin lama waktu sendirian, semakin baik pula keadaan jiwa. Ponsel dikeluarkan lagi dari dalam saku, tapi respons dari suami tidak ada sama sekali. Boru Damanik semakin cemas akan posisinya yang tidak aman di rumah sendiri. Panggilan coba dilayangkan, tapi sosok perempuan menyeramkan tiba-tiba datang.

“Kopi susu sada5!” Ucapan perempuan itu seolah sedang memesan di kedai kopi. Melihat menantu yang sedang memegang ponsel, jiwa tidak senang muncul ke permukaan. “Marmean HP do tong ho, addingan ma i sae!?”6 komennya.

Boru Damanik tidak menduga ibu mertua akan memergokinya. Kali ini bukan hanya sekadar hampir, tetapi ponsel benar-benar jatuh dan terbentur ke lantai. Ia semakin panik dan buru-buru mengambil kembali alat komunikasi.

“Ma-maaf Inang!”

“Parsegaima sude!”7 omel ibu mertua lagi.

Dada boru Damanik semakin nyeri, tusukan yang didapat semakin dalam. Tidak peduli benda yang terjatuh rusak atau tidak, ibu mertua tetap menggerutu. Lagipula ini adalah rumahnya, tapi mengapa tamu malah diperlakukannya sesuka hati? Mata berkaca-kaca minta ditumpah, pita suara ingin berteriak sekecang tenaga. Namun itu semua hanya terpendam, tidak bisa keluar oleh keadaan. Ia takut semakin memperkeruh suasana, memperburuk hubungan antara menantu dan mertua. Bagaimanapun, ketegaran hati adalah pilihan paling tepat.

“Sini biar aku aja Inang!” tawar boru Damanik ketika melihat ibu mertua mulai mengambil alih mempersiapkan sajian.

“Udah Inang aja! Satu pun nggak ada beres kerjaan kau!” Sang menantu mundur beberapa langkah sembari menahan sakit teririsnya dada. “Kau ambilkan dulu plastik yang ada di dalam tas sana, cepat!”

Boru Damanik mengangguk dan segera berjalan ke ruang tamu. Ia tidak terlalu paham tas yang mana, benda yang bagaimana, bertanya pun sungguh menantu tak memiliki keberanian. Sekarang di hadapan sudah ada dua tas, kecil dan besar; pencarian pun dimulai. Kebingungan tersirat jelas di wajah perempuan menyedihkan.

“Cari apa kau!?” tegur ayah mertua.

“Disuruh Inang ngambil plastik Amang,” ucapnya lugu.

“Tengok di tas yang kecil itu!” Menunjuk dengan dagu.

Tangan segera berpindah ke penyimpanan yang satu dan ia menemukan sebuah keberuntungan. Senyuman kecil terbentuk di sudut bibir.

“Makasih Amang!”

Boru Damanik menunggu sejenak, tapi tidak ada jawaban yang didapat. Ternyata semua benar-benar telah berubah, sikap mereka telah menjadi dingin dan menyesakkan. Ia tidak dapat berbuat apa-apa sampai keajaiban datang memberi pertolongan. Semua terjadi begitu saja, perlakuan baik mertua telah hilang karena sampai kini ia belum berhasil melahirkan keturunan untuk keluarga Manurung. Dengan kepalan tangan dan deru napas tertahan, ia kembali ke dapur membawa pesanan.

Mertua perempuan telah menunggu dengan tatapan menyeramkan. Plastik hitam dari tangan boru Damanik dirampas begitu saja. Tidak ada ucapan terima kasih sama sekali. Kini pemilik rumah hanya bisa memperhatikan dari belakang apa yang dikerjakan tamunya.

Dedaunan kering dikeluarkan dari dalam kresek dan dimasukkan ke dalam panci yang berisi air mendidih. Kopi yang telah diseduh diantar sendiri ke ruang tamu, lalu dengan cepat kembali lagi untuk menguasai dapur tuan rumah. Senggolan kecil membuat boru Damanik terperosok ke sudut yang tertempel paku berkarat untuk menggantungkan kumpulan plastik belanjaan. Lengan bagian atas sedikit tergores, tapi bibir tidak merintih walau terasa perih.

Ibu mertua masih sibuk dengan ramuan yang memiliki bau menyengat. Sendok goreng dipakai untuk mengeluarkan daun dari wadah ke dalam piring kosong. Dua bungkus kecil bubuk yang berbeda warna dituang ke dalam panci dan diaduk kembali sampai menyisakan sedikit air.

Cairan yang kini sudah berubah warna jadi coklat pekat disaring untuk mengisi setengah wadah gelas. Air mineral yang dingin ditambahkan hingga penuh, diaduk dan langsung diberikan kepada boru Damanik. Spontan air liur ditelan paksa oleh sang menantu yang panik.

“Habiskan!”

Lihat selengkapnya