Intuisiku mengatakan bahwa seseorang yang tengah kucari mampu membuat bara semangatku menyala lebih terang. Dia mampu membuatnya menyala sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Aku merasa nyaman berada di dekatnya. Rasanya sama seperti saat aku berada dalam jangkauan dekat Nenek.
Pesan WhatsApp yang kuterima darinya kemarin, tepat saat aku sampai di rumah, membuatku bertanya-tanya. Kalimatnya mengandung teka-teki. Naluriku mengatakan ada sesuatu yang akan terjadi. Entah mengapa aku merasa dia akan menjauh. Aku berharap itu hanya perasaanku saja.
"Nada." Suara itu, aku mengenalinya dengan baik.
Aku langsung menyapanya hangat. Kami tak berjumpa selama hampir seminggu ini. Gadis cantik yang seusia denganku berdiri sambil membawa sebuah buku. Sekilas judulnya membuatku penasaran.
"Hai, Nin. Apa kabarmu?"
"Baik. Kamu yang apa kabar? Ke mana saja kamu selama seminggu ini. Padahal harusnya kemarin kamu datang di ulang tahun Runi." Tatapannya menyelidik. Aku menyukai keakraban di antara kami. Dia menjadi salah satu sahabat terbaikku. Masalahku dapat dengan mudah dideteksinya hanya dari raut wajah dan suaraku saat berbicara dengannya.
"Aku sudah menghubungi kamu, Nin. Tapi nomormu tidak dapat kuhubungi."
Sekarang dia tertawa. Sifatnya yang riang sangat mudah menular. Meskipun aku sering merenung, dia tahu cara terbaik untuk menghiburku.
"Oh iya. Di mana Dama?" lanjutku.
Dama adalah salah satu sahabatku juga. Anindya dan Dama adalah saudara kembar. Kami bertiga selalu berbagi masalah kami. Belum pernah ada yang merahasiakan kesulitannya. Kalau pun ada, dengan cepat kami akan dapat mengetahuinya. Di antara kami bertiga, Dama memiliki kesibukan yang lebih padat. Namun, sudah beberapa hari ini sikapnya begitu aneh. Entahlah. Ada banyak keanehan yang terjadi.
"Dama pergi tadi pagi. Sepertinya sedang ada sedikit masalah."
"Oh ya? Kenapa dia tidak bercerita padaku?"
Aku mencoba protes. Dama begitu peduli padaku. Sebagai seorang sahabat yang baik, aku selalu berusaha ada di setiap masalahnya. Aku memang menjaga jarak dengan teman laki-laki, tapi tidak dengan Dama. Sungguh, aku hanya menganggapnya sahabat. Aku tak memiliki perasaan lebih padanya.
"Tenang. Dia bisa menyelesaikan masalahnya."
Fokusku bercampur. Bagaimana bisa Dama merahasiakan sesuatu? Atau aku berbuat kesalahan padanya? Apakah dia mulai tidak percaya padaku? Pertanyaan-pertanyaan itu mendadak memenuhi otakku. Konsentrasiku sangat mudah terbagi oleh beberapa hal. Walaupun Anin memintaku tenang, aku tetap tak bisa mengurangi kecemasanku.