Menikah? Ah, kata itu. Aku terlalu ragu untuk menyuarakannya. Ada ketakutan yang muncul ketika kuingat keinginan itu, tepatnya beberapa tahun lalu, saat Mama masih menemaniku. Dulu aku berani menggambarkan keluarga seperti apa yang ingin kubangun karena Mama mau menemaniku merangkainya. Sampul buku Anin tadi siang membuatku kembali berpikir tentang pernikahan, di penghujung usiaku yang ke-23 tahun ini.
Berkali-kali aku sudah datang dan menyaksikan secara langsung teman-temanku memulai hidup baru bersama pasangannya. Mereka bertemu dan saling menemukan satu sama lain. Beberapa mengalami patah hati terlebih dahulu sebelum bersatu dengan sang tambatan hati. Beberapa bahkan baru memulai kisah romantika yang langsung berujung pada babak baru dalam hidup. Beberapa sudah memulai kisah asmaranya sejak masih remaja dan berlanjut sampai sekarang bahkan sampai kelak nanti menua bersama.
"Kapan aku harus menikah? Dengan siapa aku akan menikah?"
Aku bertanya pada diriku sendiri. Pada senja yang mulai menampakkan pesonanya, pada pantulan sinar cantiknya di permukaan pantai, pada debur ombak pemecah karang, dan pada angin sepoi-sepoi yang meniup wajahku. Suasana sore ini mengalirkan kedamaian bagi hati yang menikmatinya. Jujur, aku sangat menikmati pesona ini. Aku tak pernah bosan menikmati senja yang menghilang secara perlahan. Aku hanya berharap, sedikit bebanku ikut tenggelam bersamanya.
Beberapa menit lagi sinar surya akan menghilang. Namun, ia akan kembali lagi esok. Beberapa jam lagi aku juga akan memasuki usia yang baru. Namun, usiaku tak akan kembali pada masa penuh kemesraan seperti dulu. Saat itu aku dikelilingi oleh cinta. Aku tak tahu apakah di usia baruku besok akan ada cinta baru yang menemaniku.
"Aku bahkan tak mempunyai teman laki-laki."
Aku kembali berbicara sendiri. Sejak seseorang yang berjanji akan selalu ada di setiap masa sulitku mengkhianati janjinya, aku kehilangan kepercayaan pada teman laki-lakiku. Perlahan aku mulai menjauhi mereka. Ada batas yang sengaja kubuat agar tak dilewati oleh sembarang orang. Kekecewaan yang kurasakan begitu dalam.
Aku bahkan masih ingat dengan jelas saat dia mengucapkan perpisahan tepat saat senja akan menghilang dengan sempurna. Saat dia selesai mengucapkan kalimat perpisahannya, dia pergi bersama senja yang telah terlebih dahulu lenyap. Aku membisu di antara suara ombak. Saat itu, kupejamkan mataku dan mencoba melupakan apa pun. Tak bisa. Aku terlalu rapuh untuk kesekian kalinya. Dia memahat luka, menggantikan pahatan kasih yang terlanjur terukir dalam hatiku.