Dalam hitungan lima, empat, tiga, dua, dan satu. Waktu menunjukkan tepat pukul 00.00. Aku menghitung mundur untuk sebuah pergantian. 23 menjadi 24 sekarang. Usiaku memasuki angka baru yang seharusnya sudah dikatakan dewasa. Tak ada ucapan pertama, kue dengan lilin menyala tepat di pergantian usiaku, dan rentetan doa panjang yang tersampaikan. Sunyi.
"Alhamdulillah."
Aku mengucap syukur dalam hati atas segala karunia yang telah kudapat selama 23 tahun menjelajah bumi ini. Melewati perjalanan dengan penuh likunya, memadu kasih dengan ujung pengkhianatan, meringkuk ketakutan, melukis asa di permulaan senja, dan merindu di perbatasan malam. Angka baru, harapan baru. Setidaknya aku memulai hari baru tanpa air mata. Nenek masih tertidur. Kami baru saja menyelesaikan pesanan setengah jam yang lalu. Aku tak bisa memejamkan mataku. Tak ada rasa kantuk yang membelaiku. Sengaja kulihat ke arah jam yang terus berdetak.
Hari semakin dingin. Belum banyak yang terbangun saat ini. Aku justru tak bisa tertidur sama sekali. Dari tadi aku mengisi waktu dengan menulis banyak catatan di diary baruku. Setiap tahun, sejak enam tahun yang lalu, satu tahun kisahku akan terangkum dalam satu diary besar. Ada enam diary tertumpuk di atas meja. Bagian depan diary selalu terisi oleh lukisan tanganku. Diary ketujuhku diawali dengan sampul berbentuk cincin.
Aku sudah melukis semua sampul diaryku sejak aku memilikinya pertama kali. Total ada tujuh diary yang terlukis dengan satu simbol di setiap sampulnya. Memang sengaja demikian karena dulu, aku hanya ingin mengisi kisah hidupku sendiri dalam setiap buku sampai diary ketujuh. Pada diary kedelapan, aku ingin menulis kisah berdua bersama dengan kekasihku. Mendadak aku menjadi bimbang apakah aku akan mengisi diary pasanganku dengan seseorang.
"Nada tidak boleh cengeng."
Kutulis kalimat itu di pembukaan diary. Beberapa kalimat penyemangat lain juga kutulis dengan bentuk huruf yang kubuat berseni. Aku menyukai keindahan pada apa pun. Seni membuatku jatuh cinta karena keindahan yang dimiliki meskipun terkadang kita tak cukup hanya dengan melihatnya. Melihat, mendengar, dan merasa. Aku harus menggabungkannya sebelum menilai sesuatu. Mataku mungkin saja tak mampu melihat apa yang sebenarnya menjadi titik keutamaan. Telingaku mungkin belum mampu mendengar bisikan lirik tentang suatu kehebatan tersembunyi. Aku perlu merasakan sampai semuanya ternilai bukan karena dugaanku semata.
Kuputuskan pergi ke ruang depan yang sudah diubah menjadi toko kue milik kami. Aku yang akan membukanya lebih awal pagi ini. Salah satu harapanku adakah toko ini. Usaha yang dengan susah payah kubangun demi wujud cinta dan bukti akan janjiku. Kue-kue pesanan hari ini sudah terbungkus dengan rapi. Entah mengapa aku sangat menikmati proses pembuatannya semalam. Seseorang memesan dua puluh empat kue berbentuk hati tepat di hari ulang tahunku. Angka yang sama dengan milikku saat ini. Aku seolah membuat kue itu untuk diriku sendiri. Karena penasaran, aku ingin menemui langsung pemesan kue ini. Ada bonus yang ingin kuberikan.
Tiga jam lebih aku membereskan toko dan membuatnya lebih cantik. Beberapa sudut kuubah tata letaknya. Aku ingin ada nuansa baru yang muncul. Terbesit keinginan untuk sedikit mengubah sifat keras kepalaku. Padahal menurutku itu bukan keras kepala melainkan suatu keteguhan.
"Selamat pagi, cucu kesayangan Nenek. Selamat bertambah umur. Semoga menjadi wanita cantik hati dan budinya"
Nenek sudah berdiri di pintu, tersenyum dan menatapku lekat-lekat. Sedikit rasa haru langsung menembus batinku. Nenek tak pernah lupa akan hari ulang tahunku. Ucapan pertama pagi ini dari Nenek adalah kado terindah. Aku tak membutuhkan apa pun selain cinta dari orang tercintaku dan aku mendapatkannya dari Nenek.
"Nenek."
Aku mendekat, memeluknya. Mataku sudah berkaca-kaca. Sebentar lagi air mataku akan tumpah. Nenek memelukku yang langsung membuatku tersedu.
"Usia baru adalah harapan baru. Nadaku ternyata sudah bertambah dewasa. Bukankah artinya Nenek semakin tua?"
Suaraku tercekat. Nenek akan menasihatiku saat dalam pelukannya. Mengusap punggung dan kepalaku sambil terus menceritakan sebuah kisah. Membawaku bernostalgia lalu mengembalikanku pada kenyataan saat ini. Meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Nada janji akan buat Nenek bahagia," ucapku mempererat pelukanku.
Nenek melepaskan pelukanku. Mataku sudah sedikit sembap. Nenek Mengusap pipiku yang masih sedikit basah. Aku mencoba tersenyum.
"Nenek sudah bahagia mempunyai Nada."