Cermin di hadapanku memantulkan bayangan diriku yang terbalut baju dan rok merah. Kerudung hitam dengan motif bunga berwarna merah menutupi kepalaku. Sesekali aku berputar. Memastikan bahwa diriku sudah rapi. Tinggiku sepertinya tak bertambah banyak. Terakhir aku mengukur tinggi badanku, ternyata berhenti di angka 150 cm. Kulitku juga tak terlalu putih, cenderung sawo matang. Lesung pipit di pipiku akan tercipta saat aku tersenyum. Postur tubuhku yang kecil membuatku terlihat lebih muda dari usiaku, kata beberapa orang yang mengenalku tanpa mengetahui usiaku. Tak apalah. Aku menikmati dan mensyukuri apa yang ada pada diriku. Aku tak pernah ingin menjadi orang lain. Aku pun tak pernah mencoba mengubah diriku hanya untuk mencari perhatian orang. Untuk apa harus berlelah-lelah menjadi seperti apa yang orang lain mau jika dengan menjadi diri sendiri aku bisa menjalani hidup dengan damai.
Kupandang cermin lekat-lekat. Perlahan tercipta dinding tipis yang mengelilingku. Bening dan aku bisa menyaksikan dengan jelas pergerakan dari wajahku. Dinding ini, aku yang menciptakan. Aku yang membuatnya dengan sengaja. Tak terlihat memang, tetapi beberapa yang hadir hanya mampu mendekatiku sampai batas itu saja. Selebihnya tak akan bisa karena aku tak mengizinkannya. Batas ini masih ada. Sebelum diary ketujuhku habis, aku berharap batas ini telah musnah. Setahun. Jika tidak, aku belum tahu akan menjadi apa batas yang sudah kubuat ini.
Kupastikan mataku tak lagi sembap. Tadi aku memolesnya dengan sedikit bedak tipis. Selain karena mata sembap yang tak kunjung sembuh, aku juga tak suka menangis karena sangat sulit untuk membuat wajahku terlihat baik-baik saja. Perkataan Kak Aksa tadi membuatku sedikit malu. Jika suatu saat aku bertemu dengannya lagi, aku berharap ia sudah lupa akan mata sembapku. Mendadak aku menjadi berpikir banyak. Jika dia memesan kue di tokoku, dari mana dia tahu tempat ini? Oh, mungkin saja tak sengaja lewat.
"Tapi kok bisa kebetulan begitu ya?" aku bergumam sambil membereskan isi tas kecilku yang memiliki warna senada dengan pakaianku.
Hari ini aku akan kembali ke panti. Sebenarnya ini bukan jadwalku untuk berkunjung ke sana. Namun, karena ini adalah hari ulang tahunku, aku ingin memberikan hadiah untuk teman-teman kecilku. Sejak setahun lebih ikut bergabung di sana, aku menemukan keluarga baru. Kehilangan yang saling menyatukan kami. Ternyata bergaul dengan anak kecil sangatlah menyenangkan. Aku suka mengajak mereka menggambar bersama, menceritakan dongeng, atau memotret kegiatan mereka. Wajah-wajah polos mereka membuatku belajar memaknai setiap hal.
Setelah memasukkan semua hadiah ke dalam mobil, aku segera berangkat. Jam dua siang aku harus sudah berada di toko karena ini memang jadwalku bekerja. Aku hanya ingin mengantar hadiah dan kue. Bu Ayu sudah meneleponku tadi. Dia mengatakan memiliki hadiah untukku. Aku diminta mengambil di ruangannya. Entah apa yang akan aku terima, aku begitu senang karena Bu Ayu mengingat hari ulang tahunku.
Sepanjang perjalanan aku memikirkan banyak hal. Sekarang pikiranku kembali pada Dama. Dia bahkan belum memberiku ucapan selamat. Hanya Anin yang sudah menelepon dan menceramahiku panjang lebar. Biasanya Dama akan melakukan hal yang sama. Aku belum mengetahui alasan di balik perubahan sikapnya. Semoga dia baik-baik saja dan segera menghubungiku. Di antara kami bertiga, akulah yang terakhir berulang tahun. Biasanya kami akan berkumpul dan membuat banyak harapan baru.
Suasana panti terlihat sepi dari luar. Panti Asuhan Cahaya adalah rumahku juga. Saat aku bisa menjadi diriku sendiri, tak perlu mencemaskan dunia luar, dan bisa tertawa lepas, saat itulah kutemukan alur maju hidupku. Beberapa menit lagi jam istirahat akan tiba. Kak Nala pasti sedang mengajak anak-anak belajar. Karena tak ingin mengganggu, nanti aku akan menunggu sejenak di ruang pertemuan. Bisa kubayangkan wajah ceria teman-temanku saat menerima hadiah dan kue spesial dariku.
Sembari menunggu, aku menyempatkan diri untuk mengambil gambar dengan ponselku. Nanti akan kucetak dan kujadikan pelengkap album fotoku. Ruang pertemuan ini tak terlalu luas. Meja dan kursi tertata rapi. Sebuah bunga diletakkan di pojok ruangan untuk menambah kesegaran dalam ruangan ini. Jam dinding berbentuk lingkaran juga masih terus berdetak. Belum banyak yang berubah dari tempat ini. Perubahan yang banyak justru terjadi di taman depan dan belakang panti. Bunga-bunga sudah berulang kali mekar dan berganti warna. Aku selalu menyempatkan diri menengok bunga itu saat ke sini.
Tak berapa lama, Kak Nala masuk dan langsung memberiku ucapan selamat. Doanya terucapkan untukku. Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku. Dia dan suaminya mengurus panti ini juga. Mereka adalah keponakan Bu Ayu. Aku sudah mengenal mereka dengan baik. Kak Nala membantuku membawa kue dan hadiah ke ruangan belajar.
"Anak-anak sudah menunggu," katanya.
Teman-teman kecilku langsung menyambutku. Mereka semua tampak riang. Kak Nala memimpin membacakan doa untukku. Dengan tulus, kuaminkan doa bersama teman-teman kecil ini. Aku yakin mereka mendoakanku dengan penuh ketulusan. Aku tak berharap kado apa pun dari mereka. Apa yang mereka doakan untukku sudah lebih dari cukup.
"Kak Nada, kuenya sangat enak."
"Iya. Aku suka cokelatnya..
"Aku suka stroberinya."
Mereka menikmati kue buatanku. Dua belas anak dengan usia antara enam sampai sepuluh tahun yang kini menjadi keluarga besarku. Mereka menjadi teman, adik, sekaligus guruku. Banyak sekali hal baru kupelajari dari mereka. Aku tak pernah menyangka akan tumbuh bersama mereka.
"Apa Kak Nada akan segera punya teman baru?" tanya seorang anak berusia enam tahun. Muli namanya.