Yang sering kulupa dari setangkai mawar cantik adalah duri tajam yang ada di sekeliling daun dan batangnya. Ada keindahan yang terjaga. Ada kecantikan yang terlindungi. Yang sering kulupa dari kupu-kupu cantik adalah proses tak mudah dalam tahapan hidupnya. Setelah melewati tahapan kepompong, barulah ia terbang bebas dengan warna indahnya. Ada perjuangan sebelum kebebasan. Yang sering kulupa dari hadirnya pelangi adalah warna sebelum ia muncul. Kelabu dan hujan mengawali kehadiran lengkungan cantik itu.
Yang sering kulupa dari diriku adalah kesempatan baik yang selama ini sudah kumiliki. Ada beberapa waktu yang terlewat karena aku sibuk memikirkan apa yang gagal kulakukan. Terkadang aku memilih berjalan mundur. Kembali pada titik indah lalu sampai pada titik gelapku. Tak lama aku akan kembali pada titik ini dan kembali melewatkan waktu dengan sebuah renungan.
Pijakan seperti apa yang harus kulalui agar langkahku teguh? Aku masih mencoba memahaminya bersama kumpulan bintang yang memenuhi langit. Hawa dingin sudah masuk ke dalam kamarku sejak jendela ini kubuka. Sengaja demikian setelah tiga kali Dama mengabaikan telepon dariku. Sejak sore aku mencoba menghubunginya. Namun, hasilnya nihil. Dia tak menjawab satu pun panggilanku. Pesan WhatsApp yang kukirim juga belum dibacanya. Padahal ia tak pernah seperti ini sebelumnya.
Drrrtt... Ponselku bergetar. Kupikir Dama sudah membaca pesanku, ternyata bukan. Bu Ayu menanyakan kado yang kudapat.
"Ups. Aku lupa."
Pesan dari Bu Ayu mengingatkanku pada bingkisan yang belum sempat kubuka. Tadi aku hampir saja membuka kado itu saat Nenek memanggil untuk berbincang. Sekarang aku lupa karena terlalu asyik memikirkan Dama. Kado itu masih tergeletak di atas ranjang.
"Apa ya isinya?"
Perlahan kubuka kertas pembungkusnya. Sebuah pigura terlihat lebih dulu.
"Pasti lukisan."
Aku tersenyum. Bu Ayu memang pandai melukis. Namun, aku belum bisa menebak lukisan siapa yang ada dalam pigura ini sampai aku berhasil membuka semua kertas pembungkusnya. Aku terdiam mengamati apa yang kulihat. Ini lukisan yang sangat indah.
"Waw. Bagus banget."
Aku terus berdecak kagum sambil meraba lukisan itu. Seorang gadis sedang tersenyum di tepi pantai. Senja di belakangnya juga tampak memesona. Sebuah perahu kecil ada di samping gadis itu. Perpaduan warna indahnya membiusku. Wajah yang terlukis itu adalah wajahku. Sumringah dan tanpa beban. Tak ada yang disembunyikan selain tatapan penuh semangat. Bu Ayu berhasil membuatku tertawa. Aku tak tahu kapan Bu Ayu melukis ini. Dia sibuk. Di panti juga tak pernah kujumpai peralatan melukisnya berserakan. Bu Ayu telah melukis tanpa pernah kuduga. Hasil akhirnya sangat memuaskan.
Aku terhipnotis oleh kemewahan dalam setiap campuran warna. Ini indah. Sangat indah menurutku. Pandanganku menyusuri tiap sentimeter lukisan ini. Halus dan lembut. Tanganku berhenti pada sisi kiri sebelah bawah. Ada catatan kecil di sana. Beberapa kalimat yang sengaja dibuat dengan huruf berseni. Aku memang tak mendapat kertas ucapan apa pun di dalam kado ini. Ternyata sudah tergabung menjadi satu di dalam lukisan ini.
Nada yang indah bukan hanya terdengar oleh telinga. Ia juga berbicara tentang ketenangan yang merasuk dalam jiwa.
Keteguhan bukan hanya perkara berani menghadapi tantangan yang menghadang. Ia juga berbicara tentang keberanian untuk bangkit dari keterpurukan.
Kecantikan bukan hanya perkara yang terlihat oleh mata. Ia juga berbicara tentang kebaikan budi yang dapat dirasakan oleh hati.
Kamu Nada, teguh, dan cantik.
A (jauh tetapi dekat)