Batas-Batas

Siska Ambar
Chapter #8

Hadir

Sudah dua minggu aku enggan berkunjung ke panti. Meskipun aku sangat merindukan anak-anak, aku masih mencoba untuk menghilangkan ingatan Kak Aksa tentang mata sembapku. Lagian tak banyak yang bisa kulakukan selama Bu Ayu belum kembali. Aku biasanya membahas kegiatan yang akan diadakan setiap akhir bulan. Ide-ide brilian sering muncul begitu saja dalam otakku. Jika tak ada Bu Ayu lalu harus dengan siapa aku membahasnya? Masa dengan Kak Aksa? Ah, aku menggelengkan kepalaku beberapa kali. 

Sudah dua minggu juga Dama masih menghilang dari kontakku. Dia semakin aneh. Tak ada satu pun pesanku yang dibalasnya. Anin sudah memastikan bahwa Dama baik-baik saja. Rasa penasaranku membuatku memilih untuk melakukan pengintaian secara diam-diam. Sayang, hasilnya tetap nihil. Tiga hari aku menunggu Dama di depan jalan rumahnya, ia bahkan tak keluar rumah. Hari ini aku masih memikirkannya. 

Pengunjung datang silih berganti. Toko lumayan ramai pagi ini. Dela membantu banyak untukku. Terlebih saat pikiranku sedang kacau. 

"Nad," ucap sebuah suara membubarkan lamunanku. Dia sudah duduk di sofa dekat meja kerjaku. Aku melonjak mendapati dirinya ada di sini. 

"Dama!" Aku langsung berteriak. Wajahnya terlihat lesu. Dia bukan Dama yang aku kenal. Kubiarkan dia terdiam sejenak. Aku tahu ada banyak kebingungan yang masih bergelayut di otaknya. 

"Nada."

Dia tertunduk lemah. Suaranya juga begitu lirih. 

"Iya. Dama, kamu bisa cerita apa pun sekarang."

Aku mencoba membuatnya nyaman. Ini adalah kesempatan untuk mengobati semua rasa penasaranku. Namun, aku tak mau memaksa. Dama memiliki hak penuh atas ceritanya. 

"Aku mencintainya."

Kalimat pembuka yang langsung memancing rasa ingin tahuku. 

"Siapa dia, Dam? Apa aku mengenalnya?"

Dama masih tak mau menatapku. Napasnya berubah menjadi berat. 

"Dia berhasil membuat hidupku lebih berarti. Kau tahu kan, Nad, kalau aku banyak berubah akhir-akhir ini? Dia mampu membuatku berubah."

Kata-kata Dama semakin menggantung. Jika tidak dalam keadaan seperti ini, aku sudah mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. 

"Ceritakan masalahmu, Dam."

"Nada, apakah kamu pernah merasa takut kehilangan?"

Aku tercekat. Namun, aku harus berusaha tenang mendengar pertanyaan Dama tadi. 

"Iya. Aku bahkan sudah banyak kehilangan, Dam."

"Lalu apakah kamu pernah berada di pilihan yang sangat sulit, Nad?"

"Pernah."

Aku masih belum mengerti arah pembicaraan Dama. 

"Mengapa perkara hati terkadang begitu rumit, Nad?"

"Dama, aku sungguh tidak mengerti apa yang ingin kamu bicarakan. Bisakah kamu mengatakannya dengan lebih jelas? Aku siap mendengar semua ceritamu. Ayolah. Ini bukan Dama yang aku kenal. Kamu belum pernah seperti ini sebelumnya, Dam."

"Maukah kamu berjanji terlebih dulu padaku? Katakan padaku bahwa kamu tidak akan membenci siapa pun setelah mendengar ceritaku."

Dama benar-benar membuatku bingung. 

"Aku selalu mencoba untuk tak pernah membenci siapa pun, Dam. Sekarang kamu bisa mulai bercerita. Aku menunggu ceritamu."

Lihat selengkapnya