Aku terjebak di bawah rinai hujan. Bajuku mulai basah. Ini memang kecerobohanku sendiri. Nenek sudah memperingatkan agar aku membawa payung. Namun, aku mengatakan dengan yakin bahwa hujan akan turun saat aku sampai di tujuanku. Ternyata aku keliru. Rintik-rintik hujan mulai menetes di wajahku saat langkahku baru sampai di tengah perjalanan. Sejak pagi mendung kelabu memang memayungi hampir seluruh langit yang kupandang.
Drrtt... Drrtt... Ponselku bergetar pertanda ada pesan masuk. Aku masih celingukan mencari tempat berteduh. Langkah pendekku berubah menjadi lebih panjang. Aku ingat, di pertigaan depan ada halte bus. Aku harus bergegas sebelum bingkisan yang kubawa basah dan rusak.
Benar saja, bangku yang biasanya ramai oleh orang-orang terlihat kosong. Ini memang masih jam kerja. Jalanan yang biasanya ramai juga masih lengang. Beberapa jam lagi macet parah akan membuat laju kendaraan merayap begitu pelan. Sebenarnya aku bisa saja naik mobil atau naik angkutan umum. Namun, aku ingin sedikit mengulur waktu dengan menikmati perubahan yang terjadi setiap hari tanpa kusadari.
"Alhamdulillah. Untung tidak rusak," ucapku sembari meletakkan bingkisan besar yang memang menjadi alasan kepergianku kali ini. Isinya adalah benda berharga bagi seseorang yang memiliki arti khusus dalam hidupku. Satu dari banyak hati yang menempati tempat istimewa dalam hatiku.
Kerudungku sedikit basah. Ada perbedaan warna mencolok antara bekas tetesan gerimis tadi. Diam-diam aku mulai merasa cemas ketika jauh di ufuk timur terlihat kilat. Aku sibuk mencari ponsel di dalam tas. Benar saja, Nenek menelepon dan mengirimiku pesan. Nenek pasti sangat cemas memikirkanku.
Kuputuskan untuk menelepon Nenek. Berdering.
"Halo, Nek. Nada belum sampai. Ini masih berteduh dulu. Sebentar lagi kalau hujan sudah reda, Nada langsung jalan lagi, Nek."
Nenek terdengar menghela napas lebih panjang mengetahui akibat dari sifat keras kepalaku. Nenek meminta agar aku segera memesan angkutan online. Karena tak ingin membuat Nenek lebih khawatir, aku putuskan mengiyakan. Setelah itu, Nenek menutup telepon dengan nada bicara lebih tenang.
Kubuka aplikasi di ponsel berusaha memesan ojek ketika seseorang ikut meneduh di sampingku. Aku menoleh sejenak lalu kembali fokus pada layar ponsel. Laki-laki dengan tinggi kurang lebih sepuluh sentimeter lebih tinggi dariku. Perkiraan dari sekilas pandang tadi.
Saat siap mencari lokasi tujuan, tiba-tiba kilat terlihat menyambar sangat terang.
"Subhanallah," teriakku refleks membuang ponsel dari tangan dan memeluk bingkisan yang ada di sampingku. Aku kaget karena kilat yang disusul bunyi petir begitu keras. Seseorang yang ikut meneduh juga kaget. Pertama ia kaget karena aku berteriak dan kedua karena bunyi petirnya