‘‘Duluan, ya!’‘ Cewek berambut sebahu itu berjalan dengan santai. Seperti biasa, ia pulang les pada pukul 7 malam. Kesibukan orangtuanya dan kakaknya memaksa ia harus pulang seorang diri. Jarak antara rumah baru dan tempat lesnya yang seakan semakin merenggang membuat penderitaannya bertambah; naik angkutan umum di malam hari. Untung saja, seorang kawan lesnya juga searah.
‘’Kapan ya, Abang beliin gue motor,’’ keluhnya tiap kali memikirkan nasibnya yang harus berjalan kaki setelah menaiki angkutan umum di malam hari.
Karena rumahnya merupakan bagian dari komplek tertutup, tak ada angkutan umum yang bisa benar-benar memasuki jalan perumahan. Derap langkah yang terdengar tinggal sepasang saja—miliknya, sebab kawannya masih perlu berhenti di satu pemberhentian lagi.
Sial, umpatnya dalam hati.
Kanaya Isabela bukanlah tipe cewek penakut. Justru nyali besarnya yang seringkali membuat banyak orang takut, walau awalnya akan tertipu dengan paras ayunya. Namun, sudah empat hari ini Kanaya dibuat takut sepanjang perjalanan di komplek menuju rumahnya.
Cowok di seberang jalan itu. Yang memakai topi hangat di malam yang tidak begitu dingin. Kanaya tidak pernah melihat cowok itu sebelumnya. Namun akhir-akhir ini, Kanaya berturut-turut melihatnya; hanya pada malam hari saja. Dan fakta itu membuatnya bergidik takut. Seperti kelelawar saja—atau hantu. Eh?!
‘’Jangan-jangan, dia hantu anak yang meninggal di taman ini,’’ batin Kanaya. Sebagai orang yang mudah panik, pikiran Kanaya sudah kemana-mana. Ia kesulitan berpikir jernih dan yang ada hanya dugaan-dugaan yang malah semakin memperparah ketakutannya.
Gue lari aja deh, daripada parno sendiri, batin Kanaya seraya memeluk tas selempangnya di dada. Sedetik kemudian, ia sudah berlari—tidak sampai rumah, sebab ia masih punya satu kewajiban untuk dilaksanakan malam itu, membeli martabak untuk Opa di rumah. Sejak pindah 2 bulan yang lalu, Opa tidak akan berselera makan kalau tidak ada martabak di hadapannya.
‘’Ya Tuhan!’’ Kanaya terperanjat ketika sebuah benda kecil meluncur begitu saja dari kantung celananya dan kini benda itu sudah tergeletak di aspal. Khawatir yang ada pada dirinya dikalahkan rasa takut begitu saja. Kanaya kembali memasukkan benda itu ke kantung celananya tanpa memeriksa keadaan ponselnya.
Rasa takut itu telah mencapai puncak begitu Si Hantu—sebutan yang dibuat Kanaya, menyapanya.
‘‘Kamu lagi beli martabak ya?’‘ tanya cowok itu setelah Kanaya terdiam karena abang penjual tengah menyiapkan pesanannya. Cowok itu bersender pada gerobak tukang martabak. Sementara penjual martabak hanya diam saja. Jika saja bapak penjual martabak itu ikut menyahut atau setidaknya menoleh karena suara Si Hantu, mungkin Kanaya akan tenang. Tapi tidak. Kini yang Kanaya takutkan adalah hanya dia yang dapat melihat dan mendengar Si Hantu.
Kanaya berpikir-pikir lagi. Apakah akhir-akhir ini ia sedang kelelahan, sehingga berhalusinasi. Sepertinya tidak, minggu itu berjalan lancar. Opa sehat, nilai kuisnya bagus, ujian di tempat les juga tidak begitu buruk. Atau mungkin ia akan ditimpa sial setelah ini?!
‘’Kok diem aja?’’ Kanaya memicingkan mata tanpa menjawab. Ia ingin memastikan sesuatu terlebih dahulu. Okay, dia napak di tanah.
‘‘Lo siapa sih? Perasaan, ganggu gue malem-malem mulu,’‘ sahut Kanaya berbisik. Sebetulnya Kanaya ragu ingin menyahut. Takut orang-orang mengiranya berbicara sendiri.
Gelagat aneh Kanaya dapat dengan mudah Si Hantu baca. ‘‘Kan Akmal makhluk lembut. Bukan Cuma kamu kok yang bisa lihat Akmal, yang lain, yang bisa gunain perasaannya juga bisa.’‘ cengiran lebar disunggingkan cowok itu dengan tujuan meredam aura ketakutan yang dipancarkan Kanaya. Cowok itu tahu Kanaya pasti mengira yang aneh-aneh tentang dirinya. Namun justru inilah yang membuatnya semakin suka menggoda cewek di depannya.
Kanaya mengeryit. Matanya turun ke sepiring siomay yang dibawa cowok itu di tangan kanannya. Ia semakin bingung. ‘‘Ini lo bisa beli siomay. Abangnya nyelayanin pake perasaan?’’