‘’Dek, tolong beliin Opa martabak kayak biasa, dong.’’ Kakak laki-laki Kanaya—Randy menyembulkan kepalanya di pintu kamar Kanaya yang tidak tertutup rapat. ‘’Opa gak mau makan kalau gak ada martabak.Lo ngerti kan?’’ lanjutnya.
Kanaya menoleh mendengarkan permintaan Randy lalu kembali pada posisinya begitu kakaknya selesai bicara dan pergi. Cewek itu memejamkan matanya sejenak sambil mengambil napas. Ia membuka matanya lalu menutup buku yang ada diatas meja belajarnya tanpa takut-takut, tidak seperti sebelumnya.
Lantas Kanaya segera mengenakan jaket untuk membungkus pakaian rumahnya. Begitu sampai di balkon rumahnya, ia mensyukuri bahwa hari itu jadwal les diliburkan. Kalau tidak, pasti ia sudah pulang dengan keadaan kuyup. Hujan yang baru saja berhenti memberikan kesan sejuk dan aroma segar khas. Hal itu sedikit memperbaiki suasana hati Kanaya yang kelam.
‘’Abang, Opa, aku beli martabaknya dulu, ya!’’ pamitnya sebelum melangkah.
oOo
Cowok itu lagi.
Tengah makan siomay dengan satu kaki diangkat di atas kursi plastik khas makanan gerobakan. Kanaya mendengus, lalu sadar bahwa dirinya memperhatikan terlalu lama. Namun beruntung, cowok itu tidak menyadari kehadirannya.
‘‘Hai, ketemu lagi,’‘ sapa cowok itu saat Kanaya lewat. Mulutnya yang penuh membuat suaranya tidak jelas. Di mata Kanaya, terlihat menjijikan. Randy serta Opa selalu mengajarkannya untuk menelan makanan sebelum mengeluarkan suara.
Kanaya memutar bola matanya malas. Seharusnya ia tidak memperhatikan cowok itu. Alhasil, Si Hantu menyadari kehadirannya.
Langkah Kanaya berhenti di gerobak martabak langganannya. Setiap Rabu malam, Opa selalu minta dibelikan. Jika dulu kegiatan ini adalah hal yang ia nantikan karena bisa keluar rumah, maka mulai hari ini, semuanya berubah. Ia ingin sekali bertukar tugas dengan kakaknya yang kini tengah berada di rumah ditemani film dan camilan ringan.
‘‘Nama kamu siapa?’‘ tanyanya. Tubuhnya langsung melompat ke sisi Kanaya. Membuat cewek itu bergeser menjauh.
Setelah menghembuskan napas, Kanaya menunjuk sosok di sebelahnya—Si Hantu. ‘‘Bang, di sebelah saya ada orang gak? Malam-malam gini kadang suka ada yang muncul kali ya.’‘ tanyanya dengan napas tercekat pada penjual martabak. Meski kemarin cowok itu sudah berinteraksi dengan penjual siomay, ia masih tetap ragu. Bisa saja penjual siomay itu satu jenis dengan Si Hantu.
‘‘Itu mah Akmal, Neng. Dia mah, anak malem, bukan anak demit,’‘ sahut si abang martabak jenaka.
‘’Akmal bukan setan, ya ampun. Parno banget sih sama Akmal. Jangan ngagetin gitu, dong,’‘ omel Akmal sambil bersender di gerobak itu seakan-akan sudah akrab dengan sang pemilik. ‘‘Bikin takut aja, deh.’‘
Kanaya mendelik sinis. Mulutnya beberapa kali membuka-menutup karena emosi sampai akhirnya ia benar-benar membuka mulut, ‘‘Eh, yang ada tuh elo! Gak kenal tiba-tiba sok deket. Mana nongolnya malem mulu lagi. Gimana gue gak curiga? Kalo bukan setan, terus apa? Gue kan gak kenal sama lo, gak usah deket-deket!
‘’Nyuruh gue buat gak takut tapi tingkahnya kayak orang mau ngehipnotis. Lo siapa, sih? Kesel banget gue!’’ cerocos Kanaya gemas. Sudah dari pertemuan pertama mereka Kanaya menahan jengkel.
‘’I’ve said. Call me Akmal.’’ Lalu seulas senyum jahil di wajah itu, membuat tingkat menyebalkannya meningkat berkali-kali lipat, tak peduli bahwa raut wajah Kanaya memerah dan sudah berlipat-lipat karena kesal.