Semalam, Kanaya langsung berjalan cepat ke rumah. Walau sebenarnya masih penasaran dengan sosok cowok itu dan alasan atas kehadirannya. Kenapa ia hanya muncul di malam hari? Sesibuk apa sih pagi, siang dan sorenya Akmal? Ah, dia kan sekolah, seperti Kanaya. Sekalipun Akmal berlalu-lalang di bawah matahari terbit, Kanaya pasti tengah sibuk sekolah.
‘‘Bengong gak akan nambah rezeki, kali, Nay,’‘ tegur seseorang dari balik punggung Kanaya.
Cewek itu menolehkan kepalanya malas. Posisinya tidak berubah, masih memandang keluar jendela kamar. Dari kamarnya yang ada di lantai atas, Kanaya bisa melihat kebun bunga anggrek milik tetangganya yang nampak seperti berkilauan bunganya saat malam tiba. ‘‘Gak bengong, Bang. Lagi liatin bunga.’‘
‘’Lain kali bohongnya lebih pintar, ya. Masa pulang dari beli martabak tiba-tiba pengin lihat bunga? Biasanya langsung meringkuk di depan TV,’’ kata Randy—kakak sulung Kanaya tersenyum. ‘‘Cerita dong sama gue. Kalau gak, gue bawa lo ke Mimi Dana.’‘
Hanya mendengar nama itu, Kanaya langsung berjengit. Sejak kecil, ia selalu takut akan wanita yang selalu berpenampilan gelap itu. Tidak hanya penampilannya, rumor-rumor bilang, kalau dia itu paranormal dan bisa membaca pikiran orang serta melihat masa depan. Yah, tapi sekarang kan mereka sudah pindah. Jadi sangat sulit untuk Mimi Dana menjangkaunya dan mencengkram pundaknya tiba-tiba seperti biasa. ‘’Apa, sih, Bang? Aku bukan anak kecil lagi.’’
‘’Kalau udah dewasa, berarti masalah gak seharusnya dipendem, Kanaya.’’
‘’Ini bukan masalah semacem itu, Bang. Cuma rasa pengin tahu aja.’’
Randy menahan senyum yang menggelitik pipinya. ‘’Yaudah apa? Kali aja gue tahu.’’
Dalam diamnya, Kanaya berpikir bahwa tidak ada salahnya memberi tahu apa yang ia resahkan sedari tadi. ‘’Ini kayaknya aku kena virus Abang yang sering nonton Once Upon A Time, deh.’’
‘’Kok jadi habit gue dibawa-bawa?’’
‘’Yah ... aku jadinya ngehayal.’’
‘’Jangan mencong kemana-mana ya, omongannya.’’
‘‘Aneh gak sih, Bang, kalo ada manusia yang keluarnya malem doang?’‘ tanya Kanaya sambil menerawang ke sudut kamarnya. Ia perlahan duduk di bibir kasur, menunggu jawaban kakaknya.
Randy tertawa sambil menggeleng-geleng. ‘‘Kelelawar kali ah. Aneh banget, sih. Dia sibuk kali. Temen lo?’‘
‘‘Stranger.’‘
‘‘Siapa sih?’‘
‘‘I said, stranger. Emm ... gak stranger banget, sih. Soalnya dia udah kenalin namanya dan ... ya, that’s it.’’
‘‘The story wont ends there.’’
Perkataan Randy yang satu itu membuatnya diusir dari kamar Kanaya.
oOo
Suasana malam sehabis hujan mempunyai pesona sendiri. Dengan rasa sejuk namun tetap bersahabat membuat ingin memeluk guling beserta selimut.
Namun manusia satu itu—Randy, sepertinya tengah ngidam. Di tengah waktu sakral itu meminta Kanaya menemaninya makan nasi goreng. Untung saja komplek baru mereka, sudah bagaikan pusat street food yang mayoritas buka selepas senja dan tutup menjelang fajar. Deretan gerobak itu sungguh menggoda apalagi setelah hujan seperti sekarang.
‘’Aku gak ikut deh, Bang. Ngantuk banget,’’ kata Kanaya seraya menutup pintu kamarnya, menghampiri Randy yang sudah menunggu dengan menyender pada pegangan tangga.