Kalau Bruce Wayne ditakdirkan berada dalam suatu mobil, pastilah yang satu ini: Aston Martin terbaru yang dibuat sesuai pesanan, sangar, berkilau, dan sehitam arang, dihiasi garis kilap metalik di sepanjang atap dan kapnya.
Sekarang, dia memacu mobil itu hingga ke batas kecepatannya, menikmati raungan mesinnya, caranya merespons sentuhan terhalus selagi membelah jalan-jalan yang bermandikan cahaya matahari tenggelam di luar Gotham City. Kendaraan itu hadiah dari WayneTech, dilengkapi fitur keamanan terbaru WayneTech—kolaborasi bersejarah antara produsen mobil legendaris dan kekaisaran Wayne.
Sekarang, ban berdecit protes ketika Bruce kembali menikung tajam.
“Aku dengar itu,” komentar Alfred Pennyworth dari layar sentuh video siaran langsung. Dia melontarkan tatapan galak. “Pelan-pelan sedikit di tikungan, Master Wayne.”
“Aston Martin dibuat bukan untuk menikung pelan, Alfred.”
“Juga bukan dibuat untuk diringsekkan.”
Bruce tersenyum miring ke sang wali. Matahari yang terbenam terpantul di kacamata aviatornya saat dia memutar mobil kembali ke arah barisan pencakar langit Gotham City. “Sama sekali tidak ada rasa percaya padaku, Alfred,” komentarnya santai. “Padahal, kau kan yang mengajariku menyetir.”
“Dan, apa aku mengajarimu menyetir seperti dirasuki setan?”
“Dirasuki setan yang mahir,” Bruce mengklarifikasi. Dia memutar kemudi dengan gerakan mulus. “Lagi pula, ini kan hadiah dari Aston Martin, dan dipersenjatai lengkap dengan sistem keamanan WayneTech. Satu-satunya alasan aku menyetirnya adalah untuk memamerkan kemampuan keamanannya di acara amal malam ini.”
Alfred mendesah. “Ya. Aku ingat.”
“Dan, bagaimana aku bisa melakukannya dengan baik tanpa menguji apa yang mampu dilakukan mahakarya ini?”
“Memamerkan keamanan WayneTech di acara amal tidak sama dengan menggunakannya untuk memancing kematian,” balas Alfred, suaranya lebih masam daripada yang sudahsudah. “Lucius memintamu membawa mobil itu ke pesta supaya pers bisa menulis artikel lengkap mengenainya.”
Bruce kembali menikung tajam. Mobil langsung mengalkulasi jalanan di depan, dan di kaca depan, dia melihat sederetan angka transparan muncul dan menghilang.
Merespons dengan presisi mengesankan, mobil itu sepenuhnya selaras dengan jalanan sambil memetakan medan di sekelilingnya hingga ke detail terkecil.
“Itulah persisnya yang kulakukan,” Bruce bersikeras. “Berusaha sampai di sana tepat waktu.”
Alfred menggeleng-geleng putus asa sambil membersihkan ambang jendela Wayne Manor, cahaya matahari menyaput kulit pucatnya dengan semburat emas. “Akan kubunuh Lucius karena menganggap ini ide bagus.”
Senyum sayang terus tersungging di bibir Bruce. Terkadang, dia berpikir sang wali memiliki kemiripan luar biasa dengan serigala abu-abu, dengan tatapan sebiru musim dingin, penuh perhatian, dan lelah pada dunia. Beberapa helai uban sudah mulai mencoreng rambut Alfred dalam beberapa tahun terakhir ini, dan kerut-kerut yang menggarisi sudut matanya makin dalam. Bruce bertanya-tanya apa dia penyebabnya. Memikirkan itu, dia memelankan mobil sedikit.
Saat itu sudah waktunya orang-orang bisa melihat kelebatan kelelawar beterbangan memasuki malam untuk berburu. Sewaktu Bruce mencapai bagian dalam kota, dia melihat kawanan mereka membentuk siluet di langit yang menggelap, memutar keluar dari sudut-sudut gelap kota untuk bergabung dengan koloni mereka.
Bruce merasakan sentakan nostalgia familier. Ayahnya dulu menyisihkan tanah di dekat mansion Wayne sebagai salah satu suaka kelelawar terbesar di kota. Bruce masih memiliki kenangan masa kecil berjongkok dengan takjub di pekarangan depan, mainannya terlupakan saat Dad menunjuk ribuan makhluk yang membanjir memasuki senja, menyapu melintasi langit dalam garis mengombak. Mereka makhluk individual, kata Dad waktu itu, tapi mereka tetap tahu, entah bagaimana, cara bergerak sebagai satu kesatuan.
Mengenang itu, tangan Bruce mengencang di kemudi. Ayahnya seharusnya di sini, duduk di jok penumpang dan mengamati kelelawar bersamanya. Namun, tentu saja itu mustahil.
Jalanan semakin kumuh seiring kian dekatnya Bruce ke pusat kota, sampai pencakar-pencakar langit memblokir matahari yang kian merendah dan menyelubungi gang-gang dalam bayangan. Dia meluncur melewati Wayne Tower dan Seco Financial Building, tempat beberapa tenda didirikan dalam lorong-lorongnya—kekontrasan yang bertolak belakang, kemiskinan tepat di sebelah mercusuar kekayaan finansial. Di dekatnya ada Gotham City Bridge, pengecatan ulangnya separuh selesai. Sekumpulan rumah-rumah bobrok, milik warga berpenghasilan rendah berdiri semrawut di bawahnya.
Bruce tidak ingat kota terlihat seperti ini sewaktu dia masih kecil—dia memiliki kenangan Gotham City sebagai hutan beton dan baja yang mengesankan, dipenuhi seliweran mobil mahal dan penjaga pintu berjas hitam, aroma kulit baru, kolonye pria dan parfum wanita, lobi mengilap hotel mewah, geladak kapal pesiar menghadap lampu kota yang menerangi pelabuhan.
Dengan kedua orangtua di sisinya, dia hanya melihat yang baik-baik—bukan grafiti, atau sampah di selokan, atau gerobak terbengkalai dan orang-orang berjongkok di sudut berbayang, menggemerencingkan koin dalam gelas kertas. Sebagai anak yang kehidupannya terlindungi, dia hanya menyaksikan apa yang bisa diberikan Gotham City kepadamu dengan harga yang tepat, dan bukan apa yang dilakukannya padamu dengan harga yang salah.
Hal itu harus berubah pada satu malam malapetaka.
Bruce sadar dia akan memikirkan orangtuanya hari ini, pada hari dana perwaliannya dibuka. Tetapi, sebanyak apa pun dia menyiapkan diri, kenangan itu masih mengiris hatinya.
Dia memasuki jalan yang berbelok menuju Bellingham Hall. Karpet merah digelar dari pinggir jalan depan hingga ke undakan tangga, dan segerombolan paparazi berkerumun di sisi jalan, kamera mereka sudah berkelebat ke arah mobilnya.
“Master Wayne.”
Bruce menyadari Alfred masih berbicara padanya tentang keselamatan. “Aku mendengarkan, kok,” katanya.
“Aku meragukannya. Apa kau dengar aku menyuruhmu menjadwalkan pertemuan dengan Lucius Fox besok? Kau akan bekerja dengannya selama musim panas—minimal kau sebaiknya mulai menyusun rencana detail.”
“Baik, Sir.”
Alfred diam sejenak untuk memberinya tatapan galak. “Dan jaga kelakuanmu malam ini. Paham?”
“Aku berniat berdiri diam di sudut dan tak bersuara sama sekali.”
“Lucu sekali, Master Wayne. Akan kupegang kata-katamu.”
“Tidak ada ucapan selamat ulang tahun untukku, Alfred?”
Mendengar itu, senyum akhirnya tergelincir memasuki wajah Alfred, melembutkan wajah galaknya. “Dan selamat ulang tahun kedelapan belas, Master Wayne.” Dia mengangguk sekali. “Kau memang anak Martha, mengadakan acara ini. Dia pasti bangga padamu.”
Bruce memejamkan mata sejenak mendengar ibunya disebut. Setiap tahun, bukannya merayakan hari lahirnya, sang ibu malah menyelenggarakan acara amal, dan uang yang diperoleh langsung disalurkan ke Dana Perlindungan Legal Gotham City, kelompok yang membela mereka yang tak mampu membela diri sendiri di pengadilan. Bruce akan melanjutkan tradisi tersebut malam ini, setelah tanggung jawab kekayaan keluarganya secara resmi jatuh ke tangannya.
Kau memang anak Martha. Tetapi, Bruce menepis pujian tersebut, tak yakin bagaimana menerimanya. “Terima kasih, Alfred,” balasnya. “Tidak usah menungguku.”
Keduanya mengakhiri telepon. Bruce berhenti di depan aula, dan sejenak dia mengizinkan diri duduk di sana, menenangkan emosi sementara paparazi berseru-seru padanya dari luar mobil.
Dia dibesarkan di bawah sorotan, menanggung bertahuntahun berita utama mengenai dirinya dan orangtuanya. BRUCE WAYNE, DELAPAN TAHUN, SAKSI TUNGGAL PEMBUNUHAN ORANGTUA! BRUCE WAYNE SIAP MEWARISI HARTA KEKAYAAN! BRUCE WAYNE, 18 TAHUN, KINI REMAJA TERKAYA DI DUNIA! Terus dan terus dan terus begitu.
Alfred mengajukan surat perintah pelarangan untuk mencegah fotografer mengarahkan lensa panjang mereka ke jendela-jendela Wayne Manor, dan Bruce pernah berlari pulang dari sekolah dasar sambil menangis, ketakutan akibat paparazi bersemangat yang hampir menabraknya dengan mobil mereka. Dia melewatkan beberapa tahun pertama berusaha bersembunyi dari mereka—seolah-olah mengurung diri di kamarnya di manor berarti tabloid tak akan mengarang gosip baru.