Blurb
Pada 2018 mengemuka kabar tiga anak di Nainggolan, Samosir, diminta berhenti belajar di sekolah umum. Berita marak, muncul di berbagai media massa, warga menolak kehadiran tiga anak itu. Ketiganya menderita HIV.
Tidak sekadar permintaan keluar dari sekolah, warga juga mengancam pengusiran. Ketiga anak tersebut harus keluar dari Pulau Samosir.
Dan, novel ini berangkat dari kasus nyata itu. Catat, hanya berangkat, bukan menulis ulang peristiwanya. Tentu, alur dan tokohnya murni rekaan.
Ini tentang tiga anak bernama Hisar, Anggiat, dan Saurma. Mereka bukan asli warga Samosir, melainkan pindahan dari Balige. Ketiganya dan pengidap HIV lain tinggal di House of Love di komplek RS HKBP Nainggolan.
House of Love adalah layanan yang diberikan kepada anak-anak penderita HIV. Pelayanan ini mencakup seluruh aspek kehidupan proses tumbuh kembang anak, membekali, dan mempersiapkan diri menghadapi kehidupan di masa mendatang.
Di House of Love ketiganya bertemu lagi dengan Inang Mery yang merupakan pengasuh mereka saat tinggal di Balige. Mereka juga berteman dengan dua warga lokal, yang tidak mengidap HIV, Nauli dan Nadia. Hingga kemudian mereka disekolahkan di sekolah umum.
Namun, kehadiran mereka menimbulkan penolakan dari warga. Para orangtua takut anaknya tertular. Suara-suara miring dan kabar liar terus mengemuka.
Pihak House of Love di bawah kepemimpinan Inang Mery terus berjuang. Pemerintah Kabupaten Samosir pun turun tangan mencari solusi terbaik. Tapi, HIV memang masih dianggap mengerikan.
Mampukah House of Love mempertahankan agar ketiga anak itu belajar di sekolah umum? Haruskah penderita HIV tersebut meninggalkan Pulau Samosir? Lalu, seperti apa perkembangan mental mereka?