Inang Mery memandang tiga anak yang baru dikirim kepadanya. Dia perhatikan satu-satu. Dia merasa pekerjaannya akan lebih berat, melayani tiga anak sebelumnya saja dia sudah susah payah, kini ditambah tiga anak lagi. Tapi, itulah tantangannya. Apalagi, ketiganya bukanlah orang baru baginya.
Anak pertama Hisar, dia kenal anak itu sebagai sosok yang bersemangat tapi suka jalan pintas. Kekurangan Hisar terletak pada ketidakseriusannya di bidang ibadah. Anak kedua Anggiat, dia kenal anak itu sebagai sosok yang tenang dan jarang menunjukkan emosi secara berlebihan. Kekurangan Anggiat terletak pada sikapnya yang terlalu dewasa, melewati usianya, dan kurang anak-anak. Sementara anak ketiga bernama Saurma, dia kenal anak itu sebagai sosok yang ceria dan punya inisiatif. Kekurangan Saurma terletak pada sikapnya yang kadang meledak-ledak, sulit tertebak.
Inang Mery sangat mengenal ketiganya, tepatnya saat dia tugas di Balige tempo hari. Bahkan, Inang Mery bisa dikatakan sebagai pengasuh paling dekat bagi Hisar, Anggiat, dan Saurma. Itulah sebab, pindah ke Nainggolan adalah kebahagiaan bagi mereka.
"Kumpul lagi kita dan, lihatlah, kalian sudah besar-besar," sambut Inang Mery sambil memeluk satu per satu anaknya itu.
"Semakin cantik kau, Saurma," tambahnya.
Saurma tidak menjawab, dia malah semakin memeluk Inang Mery. Seiring dengan itu, tiga anak penghuni sebelumnya pun merapat ke Hisar, Anggiat, dan Saurma. Bukan orang baru, mereka semua memang pernah sama-sama di Balige. Dengan kata lain, tidak ada satu pun dari mereka yang asli anak Desa Nainggolan atau Kecamatan Nainggolan, maupun Kabupaten Samosir. Dari penghuni yang lama itu, yang paling tua berusia anak kelas tiga SD dan yang paling muda duduk di kelas satu. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah umum.
Inang Mery kemudian mengenalkan beberapa orang yang membantunya di House of Love, ada tujuh orang dan sebagian besar adalah relawan. Ada yang mengurusi kesehatan, konsumsi, administrasi, dan pendidikan anak-anak. Selain itu ada juga tiga orang lokal, warga Desa Nainggolan, yang membantu. Tugasnya serabutan; bisa mencuci baju, ke pasar, atau sekadar membersihkan halaman. Ketiga warga lokal ini statusnya sukarela, mereka hadir di sana karena memang aktif di Gereja HKBP Resort Nainggolan yang letaknya tak begitu jauh dari RS HKBP Nainggolan.
Baiklah, supaya lebih gampang, saya gambarkan lebih dulu posisi RS HKBP Nainggolan. Rumah sakit ini berada di sisi jalan lingkar atau Jalan Pulau Samosir, berada di sebelah kiri kalau berjalan dari arah Kecamatan Onan Runggu. Tepatnya, di seberang rumah sakit ini ada kantor pos. Setelah rumah sakit -- hanya beberapa meter saja jika dari arah Kecamatan Onan Runggu -- ada Simpang Tiga Nainggolan atau persimpangan Jalan Gereja. Setelah lurus lagi, tak berapa jauh juga, akan bertemu Simpang Empat Nainggolan. Di sisi kanan persimpangan itu ada bangunan menjulang yang bernama Tugu Lumbantungkup.
Belok kanan di simpang empat itu akan menuju SDN 1 Nainggolan, sementara ke kiri menemui Jalan Pelabuhan; jalan ini menuju ke Pelabuhan Nainggolan dan melewati Pasar Nainggolan yang terkenal. Di pangkal Jalan Pelabuhan ini -- semacam di seberang Tugu Lumbantungkup -- berdiri dengan megah Gereja HKBP Resort Nainggolan, bersebelahan dengan Sopo Godang Nainggolan. Artinya, House of Love di komplek RS HKBP Nainggolan tidak jauh dari HKBP Resort Nainggolan.
Tunggu dulu, sepertinya saya harus menerangkan nama Nainggolan dulu. Begini, Nainggolan sejatinya adalah nama marga, keturunan keempat setelah Raja Batak dan anak keempat dari Raja Lontung. Jika dirunut ke atas maka akan didapati Raja Lontung, Tuan Saribu Raja, Guru Tatea Bulan, dan Raja Batak. Dari Toga Nainggolan inilah lahir marga sepertu Batuara, Parhusip, Siahaan (Nainggolan), Lumbannahor, Lumbantungkup, Pusuk, Buaton, Mahulae, Lumbanraja, Lumbansiantar, dan Hutabalian.
Artinya, wilayah tersebut memang kampung Toga Nainggolan. Itulah sebab anak keturunannya tersebar di kawasan yang secara administrasi disebut Kecamatan Nainggolan ini. Pun sangat tidak aneh melihat tugu atau makam leluhur mereka seperti Tugu Lumbantungkup yang megah di perempatan dekat HKBP Resort Nainggolan dan tak jauh dari RS HKBP Nainggolan tersebut.
Tiga warga lokal tadi tidak menginap di House of Love, mereka tentunya punya rumah di Desa Nainggolan dan sekitarnya. Dan, dua dari tiga sukarelawan itu punya adik yang bernama Nauli dan Nadia. Tapi, belum saatnya saya cerita soal Nauli dan Nadia. Pertemuan keduanya dengan Hisar, Anggiat, dan Saurma masih lama, belum saatnya saya ceritakan. Saat ini saya masih fokus pada Inang Mery.
"Nang, kami boleh main keluar kan?" tanya Hisar.
"Siapa yang bilang tidak boleh?"
Hisar tidak menjawab pertanyaannya yang dijawab dengan pertanyaan oleh Inang Mery itu. Dia hanya melirik Anggiat yang sedang menatapnya.
"Kalian bebas bermain, rumah sakit ini luas. Halamannya penuh rumput yang terawat, kalian bebas berlari di sana. Tapi, kalau mau keluar pagar rumah sakit, harus permisi dulu. Kalian kan baru di sini, jadi masih harus ditemani," jelas Inang Mery.
"Kami sekolah kan, Inang?" sambar Anggiat.
Inang Mery tidak menjawab. Dia memang ditugaskan untuk mencari sekolah bagi Hisar, Anggiat, dan Saurma. Ketiganya cukup sehat dan stabil pun pintar serta cakap dalam bersosialisasi. Karena itulah mereka dipindahkan ke Nainggolan, mencari suasana baru dan bersekolah di sekolah umum seperti anak kebanyakan. Masalahnya, Inang Mery belum menemukan sekolah yang tepat.
"Tentu, dua pekan lagi kalian sudah sekolah," kata Inang Mery kemudian.