Sepekan di House of Love bagi Hisar, Anggiat, dan Saurma adalah sesuatu yang biasa. Mereka biasa bermain di sekeliling RS HKBP Nainggolan, bahkan sudah merambah ke ruang periksa dan menggoda perawat di sana. Mereka juga sudah biasa ke warung di luar pagar rumah sakit menemani pengasuh, tapi tidak boleh jajan karena memang ada larangan makan sembarangan. Mereka pun biasa bercakap dan berinteraksi dengan tiga penghuni lainnya yang fisiknya lebih lemah. Semua sangat biasa, sebiasa mereka bertanya pada Inang Mery: mereka sekolah di mana?
Dan, jawaban atas pertanyaan itu baru terjawab setelah mereka selesai ibadah Minggu. Inang Mery mengajak mereka berbincang. Wajah Inang Mery bersinar, terlihat sangat bahagia, seperti baru saja menyelesaikan misi.
"Anggiat dan Hisar kalian sekolah di SD N 2 Nainggolan. Saurma, kau sekolah di PAUD Welipa," kata Inang Mery.
Hisar, Anggiat, dan Saurma ingin bersorak. Sesuatu yang mereka dambakan jadi kenyataan. Tapi, Inang Mery masih saja bicara. "Saurma nanti diantar-jemput dan ditemani pengasuh, sedangkan kalian berdua naik betor langganan," katanya.
Setelah itu, Inang Mery yang malah bersorak. Bagaimana tidak, mencarikan sekolah bagi ketiga anak asuhnya itu adalah perjuangan. Bukan perkara gampang, sekolah mana yang mau menerima penderita HIV? Setidaknya hal itu menghantui pikiran Inang Mery sebelum mendatangi pihak SD N 2 Nainggolan dan PAUD Welipa. Bukan tidak yakin, tapi pengetahuan soal HIV/AIDS pada masyarakat belum merata. Dan, dia sudah sekian kali mendapat penolakan saat menjalankan tugas yang sama di tempat lain. Beruntung, pihak SD N 2 dan PAUD Welipa sangat terbuka, tiga anak asuhnya sudah bisa langsung sekolah pada tahun ajaran baru.
"Pekan depan, hari Senin, kalian sudah sekolah!" ucap Inang Mery.
Hisar, Anggiat, dan Saurma langsung bersorak. Tapi, mendadak Anggiat diam dari sorak. "Nang, mereka tahu keadaan kami?" katanya kemudian.
Inang Mery langsung memeluk pundak Anggiat. "Tak ada masalah, mereka mau terima. Yang penting kalian jaga diri dan rajin belajar. Khusus kau Anggiat, sudah kelas VI, gedung SMP di sini sudah kau lihat kan? Kau harus lulus ya, Nak!"
"Aku juga lihat, gedung SMK juga," sambar Hisar.
"Iya, Inang juga percaya kau bisa naik kelas VI, terus masuk SMP dan SMK," balas Inang Mery.
"Aku belum lihat, sekolah tempat aku belajar saja belum lihat," cetus Saurma.
Kali ini Inang Mery tidak menjawab, dia hanya tersenyum pada perempuan kecil yang secara usia seharusnya duduk di kelas satu SD itu. Keadaan telah membuat Saurma terlambat dan penolakanlah yang menyebabkannya. Saurma memang bolak-balik ganti PAUD karena emosi dipandang beda. Saurma lebih memilih pulang daripada tetap sekolah tapi tidak ada yang mau duduk berdekatan dengannya. Padahal, dia pintar.
"Nanti kau akan tahu," kata Inang Mery sambil tersenyum.
Seiring itu, seperti tak mau mendapatkan pertanyaan lain, Inang Mery langsung bergegas. Dia menuju sisi ruang ibadah yang juga aula, berbincang dengan para sukarelawan -- dua perempuan dan satu lelaki -- sambil sesekali melirik ke Hisar, Anggiat, dan Saurma. Mimik mereka serius, terkhusus Inang Mery, beberapa kali memegang lehernya sendiri -- seperti menggaruk, kebiasaan kalau sedang berpikir keras. Hisar, Anggiat, dan Saurma melihat itu semua. Namun mereka tidak mendengar suara Inang Mery, hingga perempuan yang sudah mereka anggap sebagai orangtua sendiri itu tertawa. Yang berada di sekitar Inang Mery juga tertawa. Mau tak mau Hisar, Anggiat, dan Saurma juga tertawa meski tidak tahu sebabnya.
***
Arti tawa Inang Mery baru ketahuan esok hari, tepatnya ketika seorang anak seumuran Hisar bernama Nauli hadir di House of Love. Seperti namanya, perempuan ini cantik. Dia membawa tas ransel kecil berwarna hijau dan kuning, begitu mencolok. Rambutnya sebahu dan selalu terikat, tapi dia memakai poni; persis rimbunan mangrove yang membatasi garis pantai di tepi laut. Nauli datang sembari mengatakan kalau dia adalah adik seorang sukarelawan. Dia asli anak Desa Nainggolan, rumahnya berada di belakang kantor pos. Artinya, di seberang RS HKBP Nainggolan, sangat dekat dengan House of Love.
Hisar, Anggiat, dan Saurma sempat bingung dengan kehadiran Nauli. Sangat tiba-tiba dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Apalagi, saat itu mereka sedang santai duduk di bawah pohon besar di tengah rumah sakit. Pun, saat harus berjabat tangan Nauli sebagai tanda perkenalan, mereka ragu.
"Namaku Nauli. Kalian Anggiat, Hisar, dan Saurma kan? Jangan takut, aku sehat."
Saurma langsung menyambut uluran tangan, tak lama kemudian Anggiat, dan terakhir Hisar.
"Kata Kakakku, kalian mau sekolah di sini, jadi kita bisa berkawan."
Hisar, Anggiat, dan Saurma tersenyum ragu.
"Tapi awalnya Inang Mery takut, kata Kakak, dia khawatir aku tertular. Harusnya, kakakku yang takut kan? Inang Mery kadang-kadang lucu ya," kata Nauli sambil tertawa.
"Oh ...," ungkap Hisar, Anggiat, dan Saurma serempak. Tak lama kemudian mereka pun tertawa sembari membayangkan ekspresi Inang Mery kemarin.