Batu Guru

Muram Batu
Chapter #5

Saurma

Saurma tidak cemberut atau bersuka ketika tiba di House of Love, tepatnya sepulang dari PAUD Welipa, romannya biasa saja. Bahkan, terlihat datar. Bagi Saurma fisik sekolahnya nanti itu sama dengan sekolah-sekolahnya terdahulu; ada tempat bermain dan warna dinding serta pernak-pernik lainnya dibuat seolah ceria. Pun ketika beberapa orang pihak sekolah menyambut, dia biasa saja, tidak sesenang Inang Mery. Sekolah masih Senin depan dan hari adalah Selasa, jadi dia ke sekolah hanya untuk melihat lokasinya saja. Dia tidak melihat anak lain yang akan menjadi calon temannya. Tidak ramai dan terkesan banyak basa-basi.

Usai memarkirkan sepeda motor Inang Mery langsung masuk ke kantor, sementara Saurma memilih ke meja bundar berpayung besar warna-warni dengan enam kursi di depan House of Love. Hisar, Anggiat, Nauli, dan Nadia sudah ada di sana -- tempat yang lokasinya berada di antara House of Love dan pohon besar, taman tengah RS HKBP Nainggolan.

Saurma duduk di salah satu kursi, tak ada yang menegurnya. Hisar, Anggiat, Nauli, dan Nadia terlalu sibuk bermain monopoli. Permainan seperti itu, mulai dari ular tangga, monopoli, ludo, dan halma memang selalu tersedia di House of Love; pembunuh waktu sekaligus pengasah otak. Ada juga permainan ketangkasan lain seperti balok-balok alfabet, tapi Saurma sudah tidak suka lagi. Dia sudah bisa membaca.

Tapi, kenapa dia disekolahkan di PAUD dan bukan SD? Pun, bukankah usianya sudah layak masuk kelas I dan bisa saja kelas II SD?

Begini, saya akan ceritakan pada Anda kenapa bisa begitu. Pertama, ini terkait masalah kesehatan. Sejak lahir fisik Saurma memang sudah ringkih. Dia sering terserang demam. Meski hal itu mulai berkurang sejak berumur lima tahun, tetap saja fisiknya mengkhawatirkan. Secara mendadak dia bisa kepayahan, hanya bisa berbaring. Beruntung dia ceria hingga hari-harinya tampak biasa saja. Kondisi inilah yang membuat para pengasuh sengaja memasukannya ke PAUD lebih lama. Bahkan, harusnya dia tidak masuk sekolah umum, belajar di asrama seperti anak lain yang ringkih juga. Tapi Saurma itu pintar, percaya diri, banyak inisiatif, dan cenderung bisa berteman dengan orang lain. Faktor-faktor inilah yang membuat pengasuh lebih yakin untuk melepas Saurma ke sekolah umum. Namun itu tadi, sekolah Saurma sedikit terlambat.

Kedua, meski ceria, emosi Saurma sering berubah alias kurang stabil. Bisa saja dia mendadak tidak mau sekolah. Di lain hari, dia malah tidak mau pulang dari sekolah. Ketidakstabilan inilah yang membuatnya berulang ganti PAUD. Sementara untuk sekolah di SD hal itu tidak boleh, ada peraturan yang lebih ketat. Bukankah berganti SD lebih sulit dibanding pindah PAUD?

Jadi, pindah ke Pulau Samosir adalah tantangan yang diberikan pengawas bagi Saurma. Dan, bisa bertahan di PAUD Welipa Nainggolan adalah ujian baginya sebelum masuk SD. Sudah mengertikan?

Baiklah saya ajak kembali Anda ke kisah ini. Dan, saya ajak melompat adegan, cerita akan langsung masuk ke bagian usai makan siang. Anda bebas membayangkan fragmen di meja bundar tadi. Bisa saja Saurma tetap diam hingga Nauli dan Nadia permisi pulang untuk makan siang. Bisa juga kehadiran Saurma membuat permainan monopoli terhenti. Hisar, Anggiat, Nauli, dan Nadia sibuk bertanya soal kepergian Saurma dan Inang Mery. Lalu, Saurma bercerita soal kondisi sekolahnya hingga waktunya makan siang yang membuat Nauli dan Nadia permisi pulang. Atau bisa juga, Nadia kembali berulah dengan tingkahnya hingga permainan monopoli rusak: kertas uang bercampur, kartu kesempatan dan dana umum berserak, kartu nama negara tercerai-berai, dan plastik hijau maupun merah sebagai lambang rumah serta hotel berjatuhan. Lalu Nadia lari mengelilingi pohon besar hingga dikejar Hisar, Anggiat, dan Nauli. Saurma tertawa lepas sampai tiba waktu makan siang yang membuat Nauli dan Nadia permisi pulang. Sila bikin adegan sendiri, Anda bebas. Tapi intinya, usai makan siang, Nauli dan Nadia sudah tak ada lagi di House of Love. Ini penting karena tidak mungkin Nauli dan Nadia terus-terusan ada di sana. Mereka punya rumah dan makan siang bersama adalah kewajiban keluarga. Pun sangat tidak bijak ikut makan di House of Love; semacam asrama yang dana operasionalnya dari HKBP serta sumbangan donatur.

Jadi, saya akan mulai ceritanya.

Jam dinding di House of Love sudah menunjukkan pukul satu lewat 49 menit. Kipas angin di ruang utama berputar pelan, sekadar agar angin berganti. Jendela-jendela pun dibuka lebar. Aroma danau terasa, bercampur dengan wewangian alam pun bebauan jalanan yang berasal dari Jalan Pulau Samosir maupun Jalan Gereja.

Saurma sudah masuk kamar, bergabung dengan penghuni House of Love lainnya yang perempuan. Dia bersiap tidur siang. Tidur siang adalah keharusan, setidaknya bagi mereka berenam yang hidupnya dijaga di tempat itu. Tidur siang dianggap sebagai salah satu cara agar mereka tetap kuat selain makanan sehat, istirahat yang cukup, dan jiwa yang nyaman. Tentunya yang utama adalah obat yang terus mereka konsumsi hingga sekarang; entah sampai kapan.

Tapi, Saurma belum menutup mata. Dia berbaring sambil terus memandang langit-langit kamar. Dalam bayangannya, di sana ada gambar bergerak yang menunjukkan seorang anak kecil beserta kedua orangtuanya. Latar gambar itu menampilkan sekolah, lalu berpindah ke gunung, pindah lagi ke tempat permainan anak, dan berakhir di sebuah pantai dengan batu besar di bagian airnya. Bayangan yang sering muncul belakangan ini. Setelah itu, seperti biasa, Saurma tertidur. Tanpa mimpi.

***

"Saurma, bangun, Sayang. Sudah jam lima lewat," ucap seorang pengasuh dengan lembut.

Saurma terjaga. Matanya terbuka dan langsung memandang langit-langit kamar. Tak ada gambar bergerak di sana, hanya asbes putih. Dia bangkit, pengasuh yang membangunkannya tadi telah keluar kamar. Pun, teman-teman sekamarnya telah lenyap. "Ah, terlambat bangun lagi," bisiknya.

Segera dia ke kamar mandi yang letaknya di luar ruang tidur. Tanpa bernyanyi dia menyelesaikan mandinya dengan cepat. Pun berpakaian, Saurma tidak butuh lama.

Benar dugaanya, Nauli dan Nadia sudah bergabung dengan Hisar serta Anggiat. Kali ini mereka duduk dan berbincang di pelataran House of Love. Tidak ada permainan, mereka hanya bercakap-cakap saja.

Saurma menyimak, Nauli dan Nadia lagi asyik menceritakan sekolahnya yang berarti akan menjadi sekolah Hisar dan Anggiat juga. Sepertinya semua diceritakan, mulai fisik sekolah, teman-teman, hingga para guru. Lalu, cerita berubah ke keadaan Desa Nainggolan setelah Anggiat bertanya. Nauli dan Nadia berebut untuk menceritakan pelabuhan, pasar, tanah lapang, sopo godang, gereja, hingga segala macam tugu yang ada di desa mereka.

"Kalian harus ke Batu Guru. Memang agak jauh dari sini, tapi masih di kecamatan ini," ujar Nadia.

Lihat selengkapnya