Malam di House of Love adalah sepi aktivitas. Dengkuran dan suara binatang kecil semacam serangga bertemu bunyi detak detik jam dinding dan tetesan air dari bak kamar mandi menjadi musik yang melenakan. Setiap yang terjaga akan langsung menutup mata lagi. Seperti Hisar, dia kembali terlelap setelah terbangun sesaat. Dia tidak melihat kasur kosong di sebelah tempat tidurnya -- sekira satu meter dari posisinya. Tidak ada Anggiat. Sosok yang dimaksud sedang ke dapur untuk minum; mendadak dia haus setelah tiba-tiba terjaga.
Para pengasuh dan penghuni lainnya telah tertidur di kamar masing-masing. Saat itu pukul satu dini hari. Anggiat berjalan tanpa suara dalam keremangan -- hanya ada satu-dua lampu yang menyala. Setelah menyelesaikan niatnya di dapur, Anggiat kembali menuju kamar yang letaknya tidak begitu jauh. Ruang berukuran tidak begitu besar tempat dia dan Hisar tidur. Kamar yang dijejali empat kasur; tempat tidur ala rumah sakit dengan selimut putih bercorak garis-garis biru. Ranjang Anggiat dan Hisar berada di bagian tengah, sementara dua dipan lainnya yang masing-masing merapat ke dinding terbiarkan kosong tanpa penghuni.
Ukuran kamar ini sama dengan ruang tidur Saurma, sama-sama berisi empat dipan. Namun, di tempat Saurma, kamar itu penuh. Semuanya terisi. Saurma berada di tempat tidur paling pinggir dan rapat ke dinding.
Anak-anak penderita HIV yang berada di House of Love berjumlah enam orang, empat perempuan dan dua laki-laki. Tersedia dua kamar untuk mereka. Dua kamar lagi diperuntukkan bagi pengasuh alias pengawas yang berjumlah delapan, empat perempuan dan empat laki-laki. Pun, ada satu kamar untuk tamu. Persis Saurma, Inang Mery juga berada di tempat tidur dekat dinding di kamar khusus perempuan. Ada dua ruang lagi yakni ruang ibadah sekaligus aula juga tempat makan pun semacam kantor -- tentunya paling besar -- dan dapur sekaligus tempat penyimpan bahan makanan. Dan, ada empat kamar mandi di sana.
Anggiat mendengar suara dengkuran halus dari Hisar. Dia tersenyum. Anggiat memang sering menggoda Hisar soal itu. Jika sudah begitu, Hisar membalas dengan mengatakan suara tidur Anggiat lebih menyeramkan. Katanya, gigi Anggiat selalu berbunyi keretek-keretek saat tidur, seperti gigi atas yang beradu dengan gigi bawah. Dan, Anggiat hanya tertawa mendengar balasan Hisar itu, setidaknya dia tidak mendengkur alias mengorok.
Namun di balik itu, Anggiat sejatinya sering berpikir keras soal gigi berbunyi saat tidur itu. Pasalnya ada kepercayaan, yakni orang yang giginya berbunyi saat tidur adalah orang yang membuat ibunya meninggal atau minimal membuat sang ibu susah. Seperti itukah dia, pikir Anggiat, bukankah ibunya meninggal saat melahirkannya?
Anggiat berusaha menutup mata saat suara dengkuran Hisar semakin besar. Dia tidak bisa tidur lagi, bukan karena suara dengkuran, tapi lebih pada ingatan soal cerita Saurma tentang gambar yang bergerak itu. Batu besar terapung di air milik Saurma sangat mirip dengan Batu Guru yang diceritakan Nauli dan Nadia. Apakah suatu kebetulan, pikir Anggiat, atau memang pertanda?
Jelang subuh, sebelum akhirnya tertidur, Anggiat memutuskan harus melihat Batu Guru secara langsung sekaligus untuk membuktikan cerita Saurma itu sama atau tidak dengan apa yang dibilang Nauli dan Nadia. Itu adalah langkah yang tepat untuk menuntaskan kepenasarannya.
***
Pagi usai sarapan House of Love sudah terbilang ramai. Nadia dan Nauli sudah datang. Keduanya berbincang-bincang dengan Hisar, Anggiat, dan Saurma di taman tengah RS HKBP Nainggolan, di tikar, di bawah pohon besar.
Awalnya Nauli dan Nadia ingin bercerita tentang Tugu Lumbantungkup pun Sopo Godang Nainggolan, tapi Anggiat terlalu sibuk bertanya soal Batu Guru. Nauli dan Nadia menjawab seserius mungkin, bahkan mereka menambahi soal sosok Datu Parulas; tokoh yang berhasil menjinakkan batu besar yang liar itu. Namun, Anggiat seperti tidak peduli dan tampak sangat fokus dengan fisik Batu Guru itu. Termasuk ketika Nauli dan Nadia bercerita tentang Rumah Parsaktian Datu Parulas Parultop yang berada di Desa Harian Kecamatan Onan Runggu, desa yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Nainggolan.
"Batunya di kecamatan sini, rumahnya malah kecamatan lain?" sambar Saurma.
"Dulu Nainggolan dan Onan Runggu satu kecamatan," balas Nadia.
"Terus, nama lengkapnya ada Parultop?"