Sabtu petang, setelah sekian waktu menunggu, bagian depan RS HKBP Nainggolan terbilang ramai. Inang Mery bersama beberapa pengasuh tampak seperti berbaris. Mereka memandang lima anak kecil dan tiga orang besar, dengan satu betor dan dua sepeda motor, yang siap bergerak. Dan, setelah melambaikan tangan, mereka berbalik sambil menuju ke sisi kanan rumah sakit: House of Love.
Saurma, Nauli, dan Nadia duduk di bangku penumpang betor. Kursi yang seharusnya untuk dua penumpang itu mereka duduki bertiga. Saurma di bagian tengah, diapit Nauli dan Nadia. Tidak ada yang duduk di pagar besi yang merupakan pembatas bagian depan betor. Pun tidak ada yang duduk di samping, tepatnya di belakang pengemudi becak bermotor itu. Sementara terpal penutup kepala penumpang terbiarkan, tidak dilipat ke belakang hingga Saurma, Nauli, dan Nadia terlihat sedikit tertutup.
Anggiat dibonceng pengasuh, sedangkan Hisar duduk manis di belakang abangnya Nadia. Pandangan mereka luas karena bisa melihat ke depan, menoleh ke samping, berpaling ke belakang, maupun mendongak ke atas. Tidak seperti yang duduk di betor, pandangan hanya luas ke depan tapi lumayan terhalang pengemudi dan besi-besi atau pilar kayu rangka penopang terpal saat menoleh ke samping. Pun tak bebas mendongak ke atas atau berpaling ke belakang karena ada terpal -- beda kasusnya jika terpal dilipat, maka penumpang pun serasa naik mobil dengan atap terbuka.
Maka ketika Inang Mery membagi posisi -- siapa yang di betor atau sepeda motor -- Hisar dan Anggiat langsung bersorak. Terutama Hisar, dia memang kurang begitu suka naik betor karena merasa seperti terkotak. Itulah sebab, jika memang harus naik betor, dia memilih duduk di belakang pengemudi hingga serasa dibonceng dengan sepeda motor. Satu lagi, Hisar merasa betor kurang lincah dibanding sepeda motor. Selain karena bentuknya besar -- seperti mobil kecil -- rodanya pun tiga: dua di sepeda motor sebagai penggerak dan satu lagi di sisi lain gerobak tempat duduk penumpang.
Baiklah, saya ajak Anda langsung ke pantai yang berada di Desa Pangaloan. Tapi, saya tekankan, ini bukan pantai pinggir laut melainkan tepi danau; berair tawar dan bukan asin. Daratan ini tepat di tepi Danau Toba, jadi relatif dingin dan tidak seperti pantai laut yang cenderung berhawa panas. Seperti yang Anda tahu, Danau Toba itu adalah kawah dari Gunung Toba Purba. Jadi, sudah terbayangkan suasananya?
Saya sengaja melompat ke cerita di Batu Guru karena kelima tokoh ini seperti berebut ingin dikisahkan tentang harapan maupun kepenasaran mereka masing-masing pada batu itu. Belum lagi catatan perjalanan dari RS HKBP Nainggolan ke Desa Pangaloan -- mengingat jaraknya dua kilometer lebih -- tentunya banyak lokasi atau kejadian yang berebut untuk diceritakan. Sudahlah, saya potong saja. Saya pengarangnya, maka saya yang berkuasa. Anda tidak suka? Tidak apa-apa, silakan baca kisah pengarang lain. Tapi, jika Anda suka, mari saya ajak Anda ke Batu Guru.
Mereka tiba di Pantai Desa Pangaloan pukul lima petang atau sekira satu setengah jam lagi sebelum matahari terbenam. Tentu pemandangan matahari terbenam di Danau Toba akan sangat indah, tapi mereka tidak akan menunggu itu. Sesuai perjanjian dengan Inang Mery, mereka harus sudah berada di House of Love sebelum magrib. Pun pantai itu landai, terbilang puluhan meter ke arah tengah danau, kedalamannya masih dalam keadaan wajar. Itulah sebab pantai ini kerap jadi arena renang bagi yang datang. Namun, mereka tidak melakukan itu. Sesuai perjanjian dengan Inang Mery, mereka memang tidak boleh menceburkan diri. Perjanjiannya, mereka hanya melihat Batu Guru saja.
Hisar sudah berada di tepi air, celana panjangnya ia gulung sedikit, membiarkan kaki dan sendalnya basah. Matanya memandang batu besar yang serasa mengapung di air danau. Dia pandangi Batu Guru dengan dalam. Diam. Dia tidak peduli ketika ada teriakan Saurma soal kemiripan bayangannya dengan bentuk batu itu. Pun dia tidak menanggapi kalimat Anggiat soal pertanda, tentang Batu Guru yang seperti menerima kehadiran mereka di Kecamatan Nainggolan melalui gambar bergerak yang dilihat Saurma di langit-langit kamar. Hisar benar-benar terpukau. Dia sama sekali tidak menyangka ukuran batu yang terlihat mengapung itu sangat besar. Ukuran batu yang selama ini dia dengar -- yang tidak ia percayai -- ternyata nyata. Sementara ketika matanya menjelajahi perairan, tidak ada batu lain di sana.
"Kenapa tidak terlihat saat nyebrang ...," katanya pelan, entah untuk siapa.
"Bagaimana batu itu bisa ada di sana ...," katanya lagi, tetap pelan dan entah untuk siapa.
Hisar tahu soal kesaktian Datu Parulas, setidaknya Inang Mery telah bercerita soal leluhur marga Lumbanraja itu, tapi baginya hanya seperti dongeng saja. Begitu juga cerita-cerita tentang orang suci dalam agamanya, ia tidak begitu percaya. Dia butuh bukti nyata. Itulah sebab dia jarang berdoa. Kalaupun dia melakukan itu lebih pada agar gerejanya, HKBP, terus berlangsung dan jaya. Bagi Hisar gereja adalah sesuatu yang nyata, setidaknya dia selamat dan dipelihara di sana ketika yang lain tidak mau menerimanya.
Dan kini, di depannya sekira lima puluh meter ada Batu Guru seperti dalam cerita-cerita. Hisar takjub hingga hilang kata. Benarkah kesaktian Datu Parulas itu nyata?
"Semuanya nyata, kita bisa hidup normal di sini. Pertanda dari Saurma itu benar," kata Anggiat yang sudah berdiri di sisi Hisar.