Hisar dan Anggiat telah siap, keduanya sudah rapi memakai seragam putih merah; baju dimasuki dan memakai tali pinggang. Keduanya juga memakai dasi merah -- terikat dengan tali semacam karet berwarna putih, digantungkan ke kerah baju seragam -- yang bagian tengahnya ada logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dengan tulisan Tut Wuri Handayani berwarna emas. Pun kepala keduanya tertutupi topi merah yang bagian depannya juga ada logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dengan tulisan Tut Wuri Handayani berwarna emas.
Celana merah keduanya memiliki panjang menyentuh lutut. Selepas lutut, betis mereka tertutup kaus kaki panjang berwarna putih. Bagian bawah diakhiri dengan sepatu hitam polos tanpa tali dan tanpa merek yang menonjol. Penampilan keduanya dilengkapi tas ransel, Hisar berwarna hitam dan Anggiat berwarna biru. Di laci samping tas ransel -- yang berjaring-jaring -- terletak botol minuman, milik Hisar berwarna biru dan milik Anggiat berwarna hitam. Semuanya baru. Inang Mery memang telah menyiapkan semuanya beberapa hari sebelumnya.
Sementara Saurma masih bersantai, masih berpakaian biasa walau telah mandi. Jam masuk sekolahnya memang lebih lambat sejam dari Hisar dan Anggiat. Namun, di kasurnya telah siap baju untuk dipakai; semacam gaun dengan panjang roknya melebihi lutut atau sekira empat jari di bawah lutut. Gaun itu berwarna cokelat muda dengan corak bunga yang berwarna cokelat lebih tua. Tas ransel berwarna hijau-kuning juga telah siap. Sepatu hitam tanpa tali lengkap kaus kaki putih pun sudah menunggu di luar kamar.
"Hisar, kau jangan duduk di belakang abang itu, duduk di bangku penumpang," kata Inang Mery begitu melihat Hisar menuju sisi pengemudi betor.
Hisar menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup topi. Dengan malas dia jalan memutar menuju kursi penumpang, sudah ada Anggiat di sana yang duduk di pinggir.
"Aku pinggir, kau di tengah," kata Hisar.
Anggiat mengalah, dia pun langsung bergeser, duduk di dekat pengemudi.
"Ya sudah, Inang ikuti kalian dari belakang," ucap Inang Mery sembari menuju sepeda motor yang terparkir.
Betor pun mulai melaju pelan meninggalkan House of Love ke arah kiri menuju Simpang Empat Nainggolan. Jalan Pulau Samosir menunjukkan lalu lintas yang nyata, tapi tidak begitu ramai. Beberapa kendaraan tampak hilir mudik, ada orangtua yang mengantar anak sekolah atau sekadar berkendara menuju Pasar Nainggolan. Terlihat juga kendaraan pegawai negeri, karyawan Bank Rakyat Indonesia yang kantornya dekat dengan RS HKBP Nainggolan, dan sebagainya.
Setiba di Simpang Empat Nainggolan betor mengambil jalan lurus, tidak ke kiri menuju pelabuhan atau ke kanan ke arah SD N 1 Nainggolan, letak SD N 2 Nainggolan memang di sana. Selama perjalanan terpal betor tetap tertutup hingga pandangan cenderung terarah ke depan saja. Tentu hal ini membuat Hisar lumayan suntuk, beruntung dia duduk di pinggir jadi bisa menoleh ke kiri sambil menunduk sedikit; jika tetap bersandar maka pandangan ke kiri terhalang rangka terpal sedangkan ke kanan terhalang Anggiat, rangka terpal, dan pengemudi betor.
Setiba di SD N 2 Nainggolan betor langsung masuk ke komplek sekolah yang berbentuk 'U' dan bangunan-bangunannya yang didominasi warna kuning telur dan hijau tersebut. Betor berhenti di dekat salah satu pohon yang letaknya di tengah lapangan berbalut konblok. Keadaan belum begitu ramai, masih segelintir murid yang sudah hadir. Namun, guru-guru sudah lengkap. Hisar dan Anggiat memang datang lebih awal. Inang Mery pun memarkirkan sepeda motornya di salah satu sudut sekolah. Dia bergegas mendekati betor.
"Nauli dan Nadia mana? Pasti terlambat," kata Hisar sembari turun dari betor.
"Kita yang terlalu cepat," balas Anggiat.
Betor langsung memutar dan langsung meninggalkan komplek sekolah setelah Inang Mery tiba. Hisar dan Anggiat masih sibuk memandang keadaan sekolah terutama beberapa kelas yang dinding bagian atasnya dicat warna kuning telur dan seperempat bagian bawahnya hijau. Setiap kelas ada dua sampai tiga jendela kaca hitam yang terbuka, kusennya berwarna cokelat. Pun terlihat pintu yang berwarna cokelat tua. Ada berbagai bunga dengan daun-daun hijau, baik dalam pot atau di taman kecil, di depan kelas yang letaknya terpisah oleh pelataran atau gang kelas yang berkeramik putih.
"Kita ke kantor guru dulu," kata Inang Mery sambil berjalan ke arah gedung yang berada di bagian tengah, di salah satu sisi komplek sekolah.
Hisar dan Anggiat mengekor ke gedung besar yang bagian depannya -- terpisah gang dan taman kecil -- ada semacam podium kecil itu. Segaris podium itu, berjarak beberapa meter, ada tiang bendera. Jelas, lapangan tengah berkonblok di sekolah itu digunakan untuk tempat upacara.
"Selamat pagi, ini Hisar dan Anggiat," ucap Inang Mery di dalam ruang guru.
Para guru tersenyum dan mengucapkan selamat datang. Namun, tak ada yang memulai untuk berjabat tangan. Hingga, seorang bapak masuk ke ruang guru. "Selamat datang di SD N 2 Nainggolan. Ini pasti Anggiat dan Hisar kan?" katanya sambil menjabat tangan Inang Mery serta Hisar dan Anggiat.
Setelah itu, guru lain juga melakukan hal yang sama. Inang Mery tersenyum. "Terima kasih Bapak Kepala sekolah," katanya kemudian.
Seorang guru mengambilkan kursi untuk Inang Mery, Hisar, dan Anggiat. Semuanya duduk, termasuk para guru di tempat masing-masing. Sang kepala sekolah kemudian mengenalkan para guru satu per satu, terutama yang menjadi wali kelas Anggiat di kelas VI dan wali kelas Hisar di kelas V. Tak lama kemudian beberapa guru permisi untuk menyiapkan upacara bendera.
"Tenang saja Inang Mery, semuanya aman di sini," kata kepala sekolah.
"Terima kasih, Pak. Saya mau lihat upacara, sudah lama tak lihat," balas Inang Mery.
"Silakan-silakan. Ayo anak-anak biar Bapak antar ke kelas."
Inang Mery bertahan di ruangan itu, berbincang dengan para guru. Sementara Hisar dan Anggiat mengekor di belakang kepala sekolah dengan diam. Suasana sudah berubah, para murid sudah banyak yang datang, ada yang di sekitar kelas dan ada pula yang berkejaran di lapangan. Tiba di kelas VI, kepala kelas langsung mengarahkan tempat duduk Anggiat. Setelah itu, kepala sekolah dan Hisar menuju ke bangunan di sebelah; kelas V.
"Nadia, carikan tempat duduk Hisar," kata kepala sekolah kepada Nadia yang sedang berdiri di depan pintu.
Kepala sekolah pun langsung berbalik ke ruang guru. Saat itulah Nauli tiba, dia berpapasan dengan kepala sekolah. Segera saja Nauli menyalami sambil mencium tangan kepala sekolah itu.
"Cari muka!" sambut Nadia sambil tertawa.
Nauli hanya menjulurkan lidah, mengejek Nadia.
"Tapi, bapak itu baik ya," kata Hisar.
"Siapa? 'Tulang'-nya Nauli itu."
"Oh, betul itu Nauli?" ucap Hisar antusias.
"Iya, bapaknya Nadia," balas Nauli acuh tak acuh.
Hisar memandang kedua temannya itu dengan bingung. "Yang betul, yang mana?"
Nauli dan Nadia tertawa. "Sudahlah, kita carikan tempat duduk untukmu. Mau di depan atau belakang? Mau sendirian atau berdua?" kata Nadia kemudian sambil masuk ke kelas.
Di ruang sebelah, kelas VI, Anggiat mendapat kursi dan meja di barisan tengah. Belum ada teman sebangkunya, kepala sekolah tidak mengharuskan dia duduk sendirian, beberapa murid lain memang belum tiba. Seiring itu Anggiat tampak sibuk berkenalan dengan murid lain.
"Aku Anggiat, pindahan dari Balige," katanya.
Nyatanya, hingga semua murid datang, Anggiat memang sendirian di bangku tersebut. Anggiat tidak sedih, dia malah senang mendapati kenyataan itu.
Berbeda dengan Hisar, duduk sendirian di bangku nomor dua dari depan yang menempel dinding malah membuatnya lumayan suntuk. Apalagi Nauli berada di barisan tengah dan Nadia di sisi dinding lain yang dekat pintu. Dalam benaknya, kenapa dia menyerahkan pilihan bangku itu pada Nadia. Harusnya dia memilih bangku baris tengah dan tidak terlalu ke depan. Pun, lebih enak jika bisa sebangku dengan orang lain, ada teman berbincang. Kini, mengubah posisi sudah tidak mungkin, seluruh murid kelas V sudah hadir dan sudah punya tempat masing-masing.
Dan, upacara pun dimulai. Inang Mery berdiri di salah satu sudut sekolah, terpisah dari guru dan barisan peserta upacara. Hisar dan Anggiat berdiri di barisan kelasnya masing-masing, keduanya tampak gagah. Inang Mery tersenyum bangga melihat kedua anak asuhnya, seragam mereka tampak mencolok dan lebih bersinar dibanding dengan murid lain. Terbayang dalam otaknya ketika bersusah payah membeli seragam baru bagi Hisar dan Anggiat.
Dalam amanatnya, kepala sekolah yang menjadi pembina upacara menekankan soal keadilan sosial seperti sesuai dengan sila kelima Pancasila. Artinya, semua warga Indonesia berhak mendapat penghidupan yang layak, terutama di bidang pendidikan. Jangan ada perbedaan, apapun latar belakangnya. Inang Mery tersenyum mendengarnya. Pun menangis ketika di bagian mengheningkan cipta, terkhusus saat mendengar lagu "Mengheningkan Cipta" karya Truno Prawit yang dinyanyikan paduan suara SD N 2 Nainggolan.
Namun, Inang Mery tidak mau terlalu lama terlarut, usai upacara dia langsung melajukan sepeda motornya ke PAUD Welipa. Ada Saurma di sana. Si kecil Saurma diantar seorang pengasuh ke sekolah itu. Sesuai perjanjian, Inang Mery memang akan menyusul. Kehadiran Inang Mery sangat penting karena hari itu adalah hari pertama sekolah.
Setiba di PAUD Welipa bagian perkenalan sudah selesai. Pengasuh yang bertugas mengawal Saurma tampak berbaur dengan para orangtua murid lainnya. Saurma tampak antusias, dia sibuk mewarnai gambar di kertas. Sesekali dia pun bercanda dengan teman-temannya. Dan, begitu menyadari Inang Mery datang, Saurma langsung berlari kecil menghampiri.
"Di sini enak, Nang," katanya.
Inang Mery tersenyum. Mencarikan sekolah yang cocok bagi Saurma memang ujian tersendiri.
"Tahu, Nang, kepala sekolahnya itu ibunya Kak Nauli," kata Saurma lagi.
"Tahu. Ibu itu adiknya kepala sekolah Hisar dan Anggiat, bapaknya Nadia," balas Inang Mery sambil tersenyum.
"Oh ...," balas Saurma, lalu secara acuh tak acuh dia kembali ke teman-temannya dan kemudian mewarnai gambarnya lagi.
Inang Mery pun mendatangi ibunya Nauli yang merupakan kepala sekolah PAUD Welipa. Keduanya berbincang akrab, sesekali pun terlihat tertawa. Tak lama kemudian Inang Mery permisi pulang, tentunya setelah berbasa-basi dengan orangtua murid lain. Pengasuh yang mengawal Saurma tetap tinggal, jam sekolah PAUD memang tidak selama SD, tak sampai satu setengah jam lagi Saurma pun sudah pulang.
Dalam perjalan pulang, Inang Mery senyum-senyum sendiri. "Hari ini semuanya baik-baik saja, semoga tetap seperti ini, Tuhan," bisiknya.