Batu Guru

Muram Batu
Chapter #10

Hati-hati

Saurma lebih berhati-hati kali ini. Dia tidak mau langsung menceritakan gambar bergerak di langit-langit kamar, yang dia lihat sebelum tidur siang, kepada siapa-siapa. Saurma masih mau menyimpan dulu. Kejadian beberapa hari lalu -- ketika dia memastikan gambar batu dalam benaknya dan Batu Guru adalah sama -- telah membuat orang lain memandangnya beda. Gambar-gambar dalam benaknya kini sudah dianggap sebagai pertanda. Setidaknya gambar Batu Guru tempo hari telah dianggap sebagai penerimaan warga Nainggolan hingga terbukti hari pertama sekolah sangat menyenangkan.

Masalahnya, gambar Batu Guru terbaru tidak sama dengan yang lalu. Batu itu miring, siap tenggelam dan terbelah. Pun tidak ada orang dalam gambar itu, hanya batu. Takutnya ini memang sebuah pertanda, seperti akan ada semacam bencana, sementara mereka sedang bahagia. Saurma tidak mau menyampaikan itu. Dia tidak mau merusak kebahagiaan yang ada.

Itulah sebab Saurma lebih banyak diam saat bergabung dengan Hisar dan Anggiat saat petang di taman tengah rumah sakit. Tepatnya usai mandi setelah menyelesaikan tidur siang yang aneh. Saurma pun minim kata saat Nauli dan Nadia datang. Dia hanya tertawa kecil ketika Hisar dan Anggiat protes soal hubungan darah antara Nauli dan Nadia. Mata Saurma malah bolak-balik ke arah Inang Mery yang sejak tadi menerima panggilan telepon via gawainya.

"Kenapa kau, Dik, sakit?" tegur Anggiat.

"Masih ngantuk dia itu, lihat saja matanya, bengkak," sambar Hisar sambil mengejek.

Hubungan Hisar dan Saurma memang begitu, seperti kucing dan tikus, kejar-kejaran namun tidak menyakiti. Bukan karena kucing tidak mau makan tikus atau tikus tidak bisa melukai kucing, tapi berlarian adalah sebuah hiburan bagi mereka. Dan, Anggiat paham itu hingga tidak mau ambil pusing.

"Sakit?" ulang Anggiat.

Saurma menggeleng. "Aku belum bisa naik sepeda," katanya kemudian, sekenanya.

Hisar langsung tertawa, Nauli dan Nadia juga. Saurma malah ikut tertawa, mau tidak mau Anggiat juga. Persis dengan Saurma, Hisar dan Anggiat juga tidak bisa mengendarai sepeda. Ketiganya memang tidak dibiasakan beraktivitas yang mengandung risiko. Tubuh mereka, mau tak mau memang lebih rentan terserang berbagai penyakit karena kekebalan tubuh melemah, lebih lemah dari orang yang normal. Bersepeda bisa jatuh dan itu bisa membuat luka yang tentunya mengeluarkan darah. Dan, mengeluarkan darah adalah sesuatu yang berbahaya bagi mereka. Bukan sekadar darah bisa menularkan penyakit -- seperti tranfusi yang menjadi salah satu cara penularan -- tapi ini berkaitan dengan fisik mereka. Cairan itu sangat penting bagi tubuh. Dialah yang melindungi tubuh dari penyakit, mengatur suhu tubuh, memasok oksigen ke sel dan jaringan, menyediakan nutrisi penting untuk sel, dan sebagainya. Apalagi, sebisa mungkin mereka harus menghindari luka.

"Santai, nanti aku ajari," celetuk Nadia.

"Tidak hanya Saurma, aku dan Hisar juga tidak bisa naik sepeda. Lebih pasnya tidak boleh karena bisa jatuh. Kalau sudah jatuh, bisa luka dan berdarah, kalian tahu berikutnya kan," terang Anggiat.

"Maaf, tak terpikir ke sana," balas Nadia pelan. "Terus, kenapa kalian tertawa?" sambungnya tiba-tiba.

Anggiat tertawa, "Soal sepeda, itu memang bahasa kami kalau sedang suntuk dengan keadaan. Ya, semacam mengejek hidup yang tak adil lah," katanya.

"Nyesal aku ketawa," kata Nadia yang disambut tawa oleh lainnya.

"Terus masalahmu apa, Saurma, ada yang ganggu kau di sekolah? Ngomong saja, biar nanti kubilang sama mamaku," sambar Nauli.

Saurma hanya tertawa. "Tenang, Kak, semuanya aman. Aku malah betah."

"Terus, kenapa kau ngomong soal sepeda?"

Saurma terdiam. Terdesak. Pikirannya berkecamuk, haruskah dia menceritakan soal gambar Batu Guru itu? "Tercetus begitu saja, mungkin karena kurang tidur," katanya kemudian.

Nauli dan Nadia mengangguk-angguk. Hisar dan Anggiat tidak, keduanya memandang Saurma dengan tatapan menyelidik. Dan, Saurma pun tidak berani melihat ke arah abang-abangnya itu. Dia mengalihkan mata ke Inang Mery yang masih bertelepon.

"Inang Mery aneh, dari tadi telepon terus. Dari sebelum kita ke taman ini kan?" kata Saurma.

"Eh, iya, ya. Ada apa ya?" sambung Hisar.

"Mungkin lagi bicara dengan keluarganya," ujar Anggiat.

Dan, Saurma pun menarik napas lega.

Tebakan Anggiat tidak seutuhnya salah, Inang Mery memang sedang bertelepon dengan senior sekaligus petinggi di Komite AIDS HKBP yang telah dianggapnya sebagai keluarga. Dia melaporkan kegundahannya soal kalimat ibu pemilik warung makan yang bertemu dengannya saat di bank tadi. Perbincangan pun melebar jauh. Mulai dari saran senior agar House of Love berhati-hati, tenang, jaga diri, hingga segala kemungkinan yang buruk. Inang Mery paham dengan apa yang disampaikan sang senior. Termasuk ketika sang senior cerita soal kasus Berkat Huaturuk, bocah berusia empat tahun lebih yang diusir dari kampungnya karena mengidap HIV/AIDS.

Saat kasus itu Inang Mery belum begitu aktif mengurusi korban HIV/AIDS, sesekali saja ikut terlibat semacam pelatihan, usianya pun belum genap 18 tahun. Tapi, kasus Berkat yang muncul pada April 2009 itu begitu ramai jadi perbincangan, nyaris setiap hari ada beritanya di koran terbitan Medan. Bagaimana tidak, fisik Berkat sangat parah. Berkat sudah tidak bisa berjalan. Sehari-hari dia digendong abangnya yang berusia 10 tahun. Sementara, orangtuanya telah tiada. Sang ayah meninggal pada Desember 2008, dia mengalami infeksi parah tapi tidak berobat lagi ke rumah sakit usai menjalani operasi usus buntu di RSUD Tarutung. Ibunya menyusul sang ayah sekira empat bulan kemudian atau Februari 2009. Sang ibu menderita batuk berkepanjangan, tubuhnya semakin kurus hingga akhirnya meninggal di RSU dr Pirngadi Medan setelah sempat menjalani perawatan beberapa pekan. Dan, Berkat memiliki penyakit yang sama dengan ibunya, hingga warga takut tertular. Bahkan di dua tempat mereka tinggal, di tempat abang bapaknya dan neneknya, di Bahal Batu Kecamatan Siborong-borong dan Huta Bagasan Kecamatan Sipoholon, Berkat selalu mendapat pengusiran dari warga sekitar. Di tempat terakhir, Berkat malah sempat dikurung di kamar karena desakan warga. Hingga kemudian dia dibawa keluarga yang lain ke Medan dan dirawat di RSU dr Pirngadi.

"Iya, aku ingat Berkat. Dulu sempat melihat dia di Rumah Sakit dr Pirngadi, tubuhnya ringkih dan sepertinya tak akan selamat. Puji Tuhan ...," ucap Inang Mery.

"Semua karena Tuhan, Mer. Karena kasus Berkat, kau pun semakin yakin terjun ke pelayanan ini kan?" balas sang senior dari seberang telepon.

"Iya."

"Ayolah terus semangat, kita harus kuat melawan orang-orang yang mendiskreditkan anak-anak dengan HIV/AIDS! Beri pemahaman yang baik, anak-anak itu tidak berdosa. Katakan pada orang-orang itu, silakan benci penyakitnya tapi jangan orangnya."

"Iya," jawab Inang Mery sambil menutup telepon.

Inang Mery merasakan ada semangat baru, lega. Dia pun langsung melihat anak-anak di taman tengah rumah sakit yang ternyata juga sedang melihatnya. Segera saja dia bangkit dari duduk dan berjalan menuju Hisar, Anggiat, Saurma, Nauli, dan Nadia.

Tidak ada kata yang keluar dari mulut lima anak itu ketika Inang Mery tiba. Bagitupun ketika dia sudah duduk beralaskan tikar, bergabung dengan kelimanya.

"Baiklah, karena kalian berlima hebat-hebat dan sekolah hari pertama tidak ada masalah, Inang mau kasih hadiah."

Hisar, Anggiat, Saurma, Nauli, dan Nadia langsung tertawa senang. Tentu hadiahnya bukan barang, pikir mereka, karena Inang Mery tidak membawa apa-apa. Tapi, pasti menarik.

"Hadiahnya sebuah cerita, mau?

"Mau!" jawab Hisar, Anggiat, Saurma, Nauli, dan Nadia serempak.

"Baiklah, kalian tahu Ompu Nommensen?"

Semuanya mengangguk.

"Tahu Sikola Mardalan-dalan?"

Semuanya menggeleng.

Inang Mery tersenyum. Dia yakin di antara kelima anak itu ada yang pernah mendengar Sikola Mardalan-dalan, tapi mungkin lupa detailnya. Lalu, dengan perlahan dia pun mulai bercerita.

Sikola Mardalan-dalan ini adalah sekolah yang diciptakan oleh Ingwer Ludwing Nommensen, pendeta yang menyebarkan Kristen di Tanah Batak. Dia membangun sekolah ini pada 1873 bersama pendeta lain yakni August Mohri dan Peter Hinrich Johannsen. Maksudnya agar orang Batak bisa secepatnya menjadi guru.

Konsep Sikola Mardalan-dalan ini tidak terpusat pada satu tempat tertentu melainkan berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain -- mengingat kondisi belum memungkinkan. Istilahnya, sekolah keliling. Muridnya berjumlah 20 orang. Pendeta Nommensen, Pendeta Mohri, dan Pendeta Johannsen pun langsung menjadi pengajar.

Pada praktiknya Pendeta Nommensen, Pendeta Mohri, dan Pendeta Johannsen menunggu kehadiran 20 murid tadi di lokasi tugasnya masing-masing. Pendeta Nommensen berada di Pearaja, Pendeta Mohri di Sipoholon, dan Pendeta Johannsen di Pansurnapitu. Meski ketiga daerah itu masih di kawasan Silindung, tapi jaraknya jauh-jauh. Para murid harus berjalan berjam-jam, menyeberangi sungai, menerobos hutan, dan mendaki perbukitan. Itulah sebab dalam mencari ilmu mereka harus menginap.

Pada Senin dan Selasa, para murid akan berada di Pearaja. Mereka belajar tentang latar belakang Alkitab, kotbah, sejarah, ilmu alam, dasar pengobatan, dan bahasa Jerman dari Pendeta Nommensen. Lalu pada Rabu mereka sudah di Pansurnapitu, menyerap ilmu dari Pendeta Johannsen soal studi Alkitab, geografi, sejarah dunia, sejarah gereja, aritmatika, dan katekismus. Dan ketika Jumat para murid sudah ada di Sipoholon, meraih pengetahuan tentang sejarah Islam, dogmatika, bahasa Melayu, dan musik dari Pendeta Mohri.

Hasilnya sungguh menggembirakan karena empat tahun kemudian atau 1877, Sikola Mardalan-dalan akhirnya diputuskan untuk menjadi sebuah sekolah yang permanen di satu tempat, yaitu di Pansurnpitu. Sekolah ini menjadi Seminarium Pansurnapitu dan pengajar utamanya adalah Pendeta Johannsen. Selama dalam pendidikan, para murid tinggal di asrama yang disediakan di Seminari. Di kemudian hari, Seminarium Pansurnapitu pun semakin dikembangkan dan dipindahkan ke sebuah lokasi yang lebih luas di Sipoholon, tepatnya pada 1901. Seminarium baru inilah yang dikenal kemudian sebagai Seminarium Sipoholon atau sekarang menjadi Sekolah Tinggi Guru Huria HKBP Sipoholon, Tapanuli Utara.

"Kau tahu kan, Anggiat?" tanya Inang Mery.

Anggiat mengangguk.

"Coba lihat, perjuangan orang zaman dulu mencari ilmu. Itu contoh yang baik, patut kita tiru agar kita kuat. Jangan cepat menyerah dan menyalahkan keadaan. Bagitu kan, Saurma?" sambung Inang Mery.

"Iya, Nang, aku suka sekolah baru ini," balas Saurma malu-malu.

"Ya sudah, itu hadiahnya. Kalian bermainlah, Inang mau mandi, dari tadi teleponan terus," kata Inang Mery sembari beranjak.

Namun ketika berdiri, ekor mata Inang Mery menangkap dua sosok ibu-ibu di dekat pintu masuk RS HKBP Nainggolan. Inang Mery langsung menoleh dan memandangnya, tapi dua sosok itu langsung pergi.

"Ada apa, Nang?" kata Anggiat sambil melihat ke arah yang sama dengan Inang Mery.

"Tidak apa-apa. Ya sudah, Inang mandi dulu ...," jawabnya sambil berlalu.

***

Lihat selengkapnya