Batu Guru

Muram Batu
Chapter #11

Marah-marah

Tidak ada orang-orang di ruang guru di SD N 2 Nainggolan. Kosong. Rapat difokuskan di ruang kelas III, tentunya lebih lapang dari ruang guru. Pun, ruang kelas III lebih leluasa karena meja dan kursinya gampang dipindah-pindah. Untuk beberapa hal ruangan ini bisa menjelma seperti aula.

Rapat hari ini adalah pertemuan yang tidak biasa karena tidak dihadiri oleh guru saja. Belasan warga hadir, semuanya orangtua murid. Guru-guru dari PAUD Welipa juga datang. Bapaknya Nadia dan ibunya Nauli duduk berdampingan di depan kelas, membelakangi papan tulis, menghadap warga. Posisi mereka seperti narasumber dalam seminar-seminar; memberikan penyuluhan. Namun, kali ini tidak, mereka malah seperti terdakwa. Sementara guru-guru lain, baik yang tugas di SD N 2 Nainggolan dan PAUD Welipa, tersebar; ada yang di belakang warga pun ada yang di tepi dinding sebelah dalam dan sebelah tembok dekat pintu, beberapa dari mereka malah berada di luar ruangan.

Pertemuan berlangsung mulai pukul sepuluh lewat sedikit, artinya sudah lewat dari satu jam. Dan, sejak awal perbincangan yang muncul adalah suara saling berselisih. Rapat yang harusnya seperti musyawarah itu malah menjauh dari kata mufakat. Cenderung memanas. Suara-suara besar juga sering mengemuka.

Warga, dalam hal ini orangtua murid, mau anak pengidap HIV/AIDS dikeluarkan dari sekolah. Alasannya jelas, tidak mau anak-anak dari House of Love menularkan penyakit pada anak-anak mereka.

Kedua kepala sekolah secara bergantian menjelaskan kalau penyakit HIV itu belum tentu AIDS dan penularannya tidak sembarangan -- tidak seperti flu -- butuh tahapan dan waktu. Kedua kepala sekolah itupun sampai menjelaskan soal penyakit tersebut secara medis. Warga membalasnya secara logis, penuh dengan dalil-dalil antisipasi.

Tidak ada titik temu.

Kedua kepala sekolah bicara soal hak asasi, tentang setiap manusia harus dianggap sama, terutama untuk pendidikan anak. Warga sampaikan soal naluri, tidak ada orangtua yang mau anaknya sakit. Dan, bukankah itu juga hak asasi. Warga berdalih, anak mereka juga berhak mendapat pendidikan yang aman. Kehadiran anak pengidap HIV/AIDS di lingkungan sekolah telah melunturkan rasa itu, penuh ketakutan.

Tidak ada titik temu.

Kedua kepala sekolah kembali ke soal medis, bahwa penyakit itu tidak seharusnya ditakuti cukup dipahami agar tidak ada penularan. Dan, bagi anak-anak sangat aman karena tidak mungkin berhubungan seks atau tranfusi darah di sekolah. Warga berkeras, penyakit itu juga bisa menular melalui luka. Siapa yang bisa menjamin anak-anak pengidap HIV/AIDS tidak akan jatuh atau terbentur yang mengakibatkan luka berdarah dan darah itu mengenai luka terbuka yang ada pada anak mereka?

Tidak ada titik temu.

Lalu kedua kepala sekolah menyentuh soal adat, warga malah murka. Anak-anak House of Love itu warga pendatang, jadi adat yang mana? Sebagai orang Batak, warga sadar soal menghargai tamu, tapi bukan tamu yang bawa penyakit!

Tidak ada titik temu.

Kedua kepala sekolah kemudian beralih ke wilayah mereka, Nainggolan, yang dikenal sebagai daerah terbuka. Sejarah mencatat kawasan tempat mereka tinggal cenderung bisa menampung orang sakit, bahkan penyakit menular yang sudah akut. Keberadaan RS HKBP Nainggolan sebagai rumah sakit rujukan adalah bukti. Kenapa sekarang berubah?

Warga tidak mau kalah, mereka katakan keadaan tidak berubah. Keberadaan House of Love di RS HKBP Nainggolan adalah buktinya, tidak ada masalah, bahkan bantuan mereka mengalir ke sana. Tapi, ketika para pengidap HIV/AIDS disekolahkan di sekolah umum, tentu itu menjadi sesuatu yang berbeda. Persis, seandainya para pengidap TBC tempo dulu hidup bebas di luar RS HKBP Nainggolan seperti makan di warung makan atau minum di kedai kopi, tentu orang-orang tua di Nainggolan zaman itu juga akan protes.

Hingga, warga mau sekolah menghadirkan pihak House of Love, pihak HKBP, dan pihak pemerintah. Warga ingin penolakan ini didengar banyak pihak karena sekolah tidak juga memutuskan sikap yang jelas. Mereka mendesak. Mereka memaksa. Pihak sekolah masih berusaha menerangkan dengan bijak. Warga tidak peduli, mereka bahkan mengancam akan menarik anak-anak dari sekolahan; memindahkan anak mereka secara bersamaan ke sekolah lain yang tidak ada pengidap HIV/AIDS. Kasarnya, pihak sekolah mau mempertahankan tiga murid itu atau ratusan murid yang lain.

Bapaknya Nadia dan ibunya Nauli menarik napas panjang. Bagi mereka, itu bukan pilihan. Niat baik mereka yang juga diamini guru lain malah seperti bumerang. Tidak ada titik temu. Idealnya semua baik-baik saja, tapi sepertinya tidak mungkin. Bukan saatnya mencari siapa yang menyulut api, kini saatnya menemukan solusi. Dan, solusinya adalah mengikuti permintaan warga. Menolak permintaan warga adalah tindakan yang tidak bijak untuk suasana seperti ini. Amannya, keputusan sekolah akan lebih baik menanti hasil dari pertemuan itu nanti, bisa besok atau lusa.

Namun, warga berkeras semua pihak harus membahas masalah ini sesegera mungkin, warga siap menanti sampai malam. Warga pun mau pihak pemerintah yang hadir bukan perangkat desa atau kecamatan, tapi dari dinas pendidikan.

Lalu, ibunya Nauli keluar dari ruangan. Dia menelepon Inang Mery, menjelaskan situasinya. Inang Mery paham dan akan segera datang. Ibunya Nauli juga meminta tolong agar Inang Mery sekalian membawa perwakilan HKBP. Inang Mery menekankan kalau House of Love adalah bagian dari HKBP, tepatnya Komite AIDS HKBP, jadi cukup dia saja yang hadir. Tapi, ibunya Nauli berkeras Inang Mery jangan datang sendirian.

Bapaknya Nadia juga keluar, menelepon orang dinas pendidikan. Secara perlahan dia menjelaskan situasi sebenarnya. Orang dinas pendidikan malah tidak terkejut. Kasus murid pengidap HIV yang sekolah di sekolah umum hingga penolakan warga bahkan sudah dirapatkan pagi tadi. Ada yang melaporkan hal itu langsung ke bupati. Itulah sebab kepala dinas membuat rapat dadakan. Selepas makan siang, kepala dinas pun dijadwalkan akan mendampingi bupati ke SD N 2 Nainggolan.

"Nanti siang, bupati dan kepala dinas pendidikan akan kemari. Jadi kita bubar dulu, nanti jam dua kita kumpul lagi sini," kata bapaknya Nadia begitu duduk di depan kelas.

Warga bubar. Satu per satu meninggakan ruang. Dua orang ibu tersenyum tipis. Salah satu dari mereka malah sempat berujar ke bapaknya Nadia, "Bijaklah, pikirkan anak-anak yang lain."

Bapaknya Nadia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil memandangi perempuan yang dia kenal sebagai pemilik warung makan itu. Sosok yang ketika pertemuan tadi tidak banyak bicara.

Inang Mery dan seorang pengasuh House of Love datang sekira tujuh menit kemudian, tidak ada lagi warga. Ruang kelas III yang jadi lokasi pertemuan pun mulai sepi. Guru-guru tampak menumpuk di ruang guru, baik yang dari SD N 2 Nainggolan maupun PAUD Welipa. Segera saja keduanya ke sana.

Dua orang guru langsung memberi kursi kepada Inang Mery dan rekannya tiba. Tanpa basa-basi, kedua kepala sekolah menceritakan hasil pertemuan, termasuk soal rencana kedatangan bupati. Masalah ini sudah menjadi kasus besar, sudah menjadi perhatian setingkat kabupaten. Pihak sekolah sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Pengertian yang berusaha mereka berikan pada warga seperti ditolak. Pun sepertinya warga punya orang hingga bisa membuat bupati langsung turun tangan.

Bagi kedua kepala sekolah, seharusnya masalah ini tidak besar jika tidak dibesar-besarkan. Dan, sepengetahuan mereka, warga Nainggolan sangat menerima kehadiran House of Love. Namun, ketika anak-anak itu disekolahkan di tempat umum maka keresahan mulai berkobar. Kenyataan inilah yang membuat kedua kepala sekolah sekolah dan semua guru yang ada menjadi bingung. Padahal, seharusnya biasa saja karena ketiga anak itu sehat-sehat semua. Pun, sosialisasi soal HIV/AIDS telah ada.

Inang Mery tidak menjawab. Dia memilih mendengar penjelasan kedua kepala sekolah itu. Keduanya adalah orang baik, begitu juga dengan semua guru yang ada di situ, sudah sangat banyak membantu. Inang Mery hanya tidak menduga masalahnya jadi sedemikian pelik. Dia merasa ada kekuatan jahat bermain -- yang menggunakan kekuasaan untuk menekan -- dalam kasus ini. Padahal, ini hanya soal pemahaman dalam memandang HIV; hanya tentang anak pengidap HIV bisa hidup normal dan tidak terkucil dalam kehidupan yang wajar. Nainggolan baginya telah siap, tapi kenapa bisa berubah dalam beberapa hari?

Sebelum mencarikan Hisar, Anggiat, dan Saurma sekolah tentunya dia sudah melakukan persiapan yang matang. Jadi tidak sekadar menuruti kemauan pribadi dan hasil kajian Komite AIDS HKBP semata, ada riset yang House of Love lakukan. Mereka mendatangi pihak pemerintahan dari desa hingga kecamatan bahkan sampai ke dinas pendidikan, semuanya menyambut baik. Mereka juga berbincang dengan tokoh masyarakat, semuanya paham. Lalu, salahnya di mana? Ini terlihat seperti adu kekuatan saja.

Baiklah, pikir Inang Mery, siapa yang kuat akan terlihat. Dan, ketika pikiran tadi melintas di kepala Inang Mery, serta-merta mimiknya berubah. Kedua kepala sekolah itu pun terkejut melihatnya.

"Ada apa, Inang Mery?" kata ibunya Nauli.

Seperti tersadar Inang Mery pun langsung senyum. "Tidak ada apa-apa. Berarti pertemuannya jam dua siang ya, Bu? Ya sudah, kami permisi dulu Bapak dan Ibu, nanti kembali lagi," katanya dengan sopan.

***

Hisar, Anggiat, dan Saurma terkejut. Nauli dan Nadia datang naik sepeda, berboncengan. Padahal, sebentar lagi jam makan siang. Aneh. Selain tidak pernah bersepeda ke House of Love, biasanya jam segini Nauli dan Nadia memilih pulang dan baru kembali datang ketika petang.

"Gawat, mereka minta kalian dikeluarkan dari sekolah!" kata Nadia dengan suara pelan, seperti berbisik, begitu tiba di antara Hisar, Anggiat, dan Saurma.

Seorang pengasuh melirik. Nadia langsung menarik Hisar, Anggiat, dan Saurma menjauh dari aula. "Mereka tadi kumpul di sekolah kita. Mamanya Nauli dan guru PAUD juga di sana. Pantas saja kita pulang cepat," ungkap Nauli begitu mereka berada di tempat yang aman.

"Nanti jam dua mereka kumpul lagi, katanya ada bupati," sambung Nadia.

"Kata siapa?" balas Hisar.

"Tadi waktu mau ke rumah Nauli aku ketemu dua ibu-ibu, mereka setop sepedaku. Salah satu langsung berlagak, kayaknya dia memang sengaja bicara soal kalian mau dikeluari, biar aku takut."

"Aku belum bisa naik sepeda," catus Saurma.

Tidak ada yang tertawa, semua tahu maksud kalimat Saurma.

"Kalian kenal ibu itu?" tanya Anggiat.

Nadia menggeleng. "Tak begitu kenal, tapi pernah lihat, kalau tak salah orang desa sebelah," katanya kemudian.

Anggiat tersenyum kecil sambil menebak perawakan dua ibu itu. Dia gambarkan sosok yang kemarin berdiri di pintu masuk rumah sakit, dari bentuk rambut hingga warna kulit. Hisar dan Saurma pun menambahkan, dari tinggi badan sampai bentuk wajah.

Lihat selengkapnya