Batu Guru

Muram Batu
Chapter #12

Diam-diam

Sudah petang, Inang Mery belum pulang pulang. Hisar, Anggiat, dan Saurma duduk beralas tikar di bawah pohon besar di taman tengah rumah sakit. Ketiganya sudah tenang, sudah mandi, meski masih kecewa begitu mendengar kabar akan dikeluarkan dari sekolah. Mereka kecewa karena dilahirkan dalam keadaan beda. Mereka kecewa karena tidak dianggap normal. Salah mereka apa?

"Aku sempat berpikir, kenapa aku tak lari saja. Ke Medan, misalnya. Terus di sana aku diam-diam soal penyakitku, pasti aku diterima. Kan tak ada yang tahu siapa aku," kata Hisar.

"Jangan bodoh kau, Bang. Kau hidup bagaimana? Obatmu bagaimana?"

"Tak usah ngomong obat atau hidup, kan tak ada yang tahu kita sakit. Kita ditolak kan karena orang-orang tahu kita sakit, kalau kita diam-diam pasti aman."

"Aku ikut, Bang."

"Nggak ah, aku sendirian saja."

Anggiat tersenyum tipis mendengar perbincangan tidak jelas itu. Otaknya masih memikirkan kemungkinan demi kemungkinan. "Kau tadi kenapa teriak tak jelas begitu?" katanya kemudian. "Kalau Saurma nangis sudah biasa, tapi tadi kau aneh, kayak kesurupan," sambungnya.

"Entah, tiba-tiba aku merasa ada yang tidak adil. Dikasih hidup, tapi kenapa dipersulit."

"Makanya, beribadah yang serius kau, Bang. Berdoa yang banyak, jangan sebelum makan saja, biar tenang."

"Alah! Kau saja nangis ...."

"Aku kan lihat kau teriak-teriak."

"Sudah, sudah. Kenapa Inang Mery belum pulang ya, sudah jam lima," sambar Anggiat.

Anggiat hanya mendapat jawaban berupa gelengan dari Hisar dan Saurma. Setelah itu diam. Tiba-tiba, ketiganya mendengar sesuatu, serentak kepala mereka mendongak ke atas.

Seekor burung kecil membuat sarang, tepat di atas mereka, membawa ilalang kering dan menyusunnya di ranting pohon yang rapat. Posisi sarang itu tidak terlalu tinggi, namun tertutup dedaunan. Burung kecil lainnya datang membawa semacam ranting kering. Kedua burung kecil itu seperti bercakap hingga burung yang sebelumnya membawa ilalang terbang entah ke mana. Tak lama berselang burung tadi kembali sambil membawa ranting kering. Lalu, kedua burung itu seperti bercakap lagi. Dan, burung yang membawa ranting pertama terbang entah ke mana. Tak lama berselang burung itu kembali lagi sambil membawa ilalang kering. Begitu terus, berulang-ulang.

"Lihat apa kalian," tegur Nadia tiba-tiba sambil berusaha melihat yang dilihat Hisar, Anggiat, dan Saurma.

"Aku mau jadi burung," balas Saurma.

"Kode apa itu? Kemarin sepeda, sekarang burung."

"Kan enak jadi burung, Kak, bebas terbang dan bebas buat sarang. Jadi manusia payah, orang sakit pun dimusuhi!"

"Oh, kirai kode ...," balas Nadia pelan.

"Nauli mana?" cetus Anggiat.

Nadia hanya menjawab dengan bahasa isyarat, menunjuk seorang perempuan kecil yang berjalan menuju mereka.

"Oh, kirai tak datang," balas Anggiat.

Tak pelak Hisar tertawa keras, gaya Anggiat meniru Nadia benar-benar mirip.

"Kau tak apa-apa?" tanya Nauli begitu sampai. "Tadi teriak-teriak, sekarang tertawa keras."

Hiras langsung diam. Tapi, Anggiat dan Saurma yang tertawa. Nauli dan Nadia pun jadi ikut tertawa.

***

Di SD N 2 Nainggolan pertemuan masih berjalan alot, bahkan menjurus panas. Kalimat suami ibu pemilik warung makan telah banyak memengaruhi orang. Bahkan, bupati cenderung berpihak pada warga.

Inang Mery ngotot, meskipun kalimat suami ibu pemilik warung masuk akal, tapi hal itu di luar konteks. Poinnya terletak pada masih ada stigma negatif soal pengidap HIV hingga warga meminta Hisar, Anggiat, dan Saurma dikeluarkan dari sekolah. Seandainya tidak ada stigma itu, tentunya tidak ada masalah. Terbukti pihak sekolah, dinas pendidikan, dan tokoh masyarakat memberikan izin. Ini semua karena pihak-pihak itu paham dan tidak hidup dalam ketidakpahaman terus.

Warga menolak pikiran Inang Mery itu dengan segala dalil yang ada. Mereka ngotot agar pengidap HIV tetap dikeluarkan dari sekolah agar ada ketenangan. Warga garis keras, contohnya dua ibu yang sampai berdiri di atas kursi, mengatakan tidak ada tawar-menawar: pengidap HIV harus dikeluarkan dari sekolah! Jika tidak, semua murid akan pindah dan bupati atau dinas pendidikan harus menyediakan sekolah yang tidak ada pengidap HIV.

Bupati menarik napas panjang. Pertemuan sudah berlangsung tiga jam dan belum menunjukkan arah mufakat. Dia pun mengalami dilema, membiarkan tiga anak itu sekolah atau membebaskan warga dari rasa khawatir.

"Saya mau tanya pada pihak HKBP, dari tadi tak bicara, kenapa anak itu dipindahkan ke Nainggolan?" tanya bupati, mengarah ke sosok yang duduk di samping Inang Mery.

Inang Mery tersenyum. Dia pun menjelaskan kalau ketiga anak itu dipilih karena sangat sehat, melebihi pengidap HIV lainnya di Nainggolan maupun Balige. Ketiganya pintar, cepat beradaptasi. Mental mereka juga bagus, tidak manja apalagi cengeng.

Dan, Nainggolan adalah daerah yang terbuka, masyarakatnya bisa menerima House of Love dengan baik. Sejarah mencatat, warga juga tidak keberatan ketika RS HKBP Nainggolan jadi rujukan untuk pasien TBC; penyakit menular yang sangat berbahaya kala itu. Begitu juga dengan HIV, masyarakat Nainggolan juga menerima dan terbukti dengan berdirinya House of Love di RS HKBP Nainggolan. Atas dasar itulah muncul kesadaran pengidap HIV juga bisa diterima sekaligus sekolah di tempat umum di Nainggolan.

Dan, dipilihlah tiga orang terbaik di Balige untuk dipindahkan ke Nainggolan. Bukan sembarang pilih, dicari yang terbaik karena ini untuk pertama kalinya di Nainggolan. Seiring waktu Nainggolan akan menjadi fokus dunia soal HIV/AIDS karena masyarakatnya sangat terbuka, peduli, dan melek terhadap penyakit itu.

"Kenapa Anda juga yang menjawab?"

"Saya juga di HKBP, Pak, tepatnya di Komite AIDS HKBP," jawab Inang Mery yang membuat warga bersorak.

"Teman Anda itu?"

"Sama Pak, kami di House of Love juga dari Komite AIDS HKBP."

Warga bersorak lebih kencang. Bupati menarik napas lebih panjang. Dia lirik kepala dinas pendidikan. Dia harus segera pulang. Dan, sang kepala dinas pendidikan mengangguk.

***

Sudah tidak ada lagi tawa, kelima anak yang duduk seperti melingkar di atas tikar dan di bawah pohon besar tempat burung kecil membuat sarang kini sudah berada di mode serius. Kening mereka berkerut. Petang sedikit mendung, suasana perbincangan mereka juga muram.

"Aku pertama kali lihat Saurma pas umur dua tahun, sebelumnya dia lebih banyak di rumah sakit. Kondisinya memang parah, ke mana-mana harus digendong. Saurma ini baru bisa jalan umur tiga tahun. Dulu aku malah berpikir dia tak akan selamat," ungkap Anggiat.

Saurma tersenyum malas, sementara Nauli dan Nadia tampak antusias. Hisar memeluk lututnya sendiri. Matanya memandang jauh, tatapannya kosong, tapi berkaca-kaca.

Suasana itu bermula ketika Nadia melontarkan tanya soal latar belakang Hisar, Anggiat, dan Saurma hingga bisa positif HIV. Candaan mereka sebelumnya pun langsung melayang ketika Hisar langsung buka cerita. Apalagi Hisar memulainya dengan kalimat, "Berbahagialah kalian yang punya orangtua."

Hisar memang tidak pernah mendapat belaian oranguanya. Bahkan, sama sekali tidak tahu seperti apa wujud sosok yang harusnya dia panggil bapak dan ibu itu. Dia hanya tahu para pengasuh dan pihak gereja saja. Jika ada yang mengatakan dia yatim piatu, tentu bisa diterima. Tapi yang jelas, Hisar tidak tahu orangtuanya sudah mati atau belum. Dia yakin Batak, tapi tidak ada marga yang bisa disandangnya. Statusnya tidak jelas. Dia hanya Hisar. Itu saja. Dan, dia masih hidup hingga sekarang.

Anggiat menimpali kalau dia juga tidak punya marga. Bapaknya bukan Batak. Tidak mungkin turun dari ibu, jadi meski dia tahu ibunya bermarga apa, dia hanyalah Anggiat. Apalagi, tidak ada keluarga dari pihak bapak atau ibu yang mengakuinya ada. Anggiat paham, dia benar-benar yatim piatu. Dan, berkat penyakit yang diidapnya sejak lahir, dia adalah aib.

Namun, Saurma tidak cerita. Itulah sebab Anggiat mengambil alih. "Kalau Hisar kecil, aku tidak begitu ingat karena umur kami kan hampir sama, hanya selisih setahun. Yang jelas, sejak dulu kami memang selalu sekamar," terang Anggiat.

Nauli dan Nadia mengangguk-angguk.

"Kalian tahu, sejak sadar punya penyakit ini, kami berusaha untuk tetap hidup. Kami minum obat setiap hari, dua kali sehari. Kami jaga badan, terus sehat dan tak boleh sakit, pilek saja sudah sangat berbahaya. Kami tangguh, tapi kenapa kami malah diusir-usir," kata Hisar dengan nada yang mulai meninggi.

Lihat selengkapnya