Hisar telah siap, sudah rapi memakai seragam putih merah. Bajunya pun sudah dimasuki ke celana merah dan tidak lupa dia memakai tali pinggang. Celana merah itu menyentuh lutut dan betisnya tertutup kaus kaki panjang berwarna putih.
Sebuah topi merah yang bagian tengahnya ada logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dengan tulisan Tut Wuri Handayani berwarna emas juga sudah menempel di kepala. Hingga, sepatu hitam polos tanpa tali dan tanpa merek yang menonjol melengkapi penampilannya.
Anggiat pun nyaris sama, bedanya dia tidak memakai topi. Bedanya lagi, tas ransel milik Anggiat berwarna biru dan botol minumannya yang tersangkut di laci samping tas ransel -- yang berjaring-jaring --berwarna hitam. Sementara Hisar sebaliknya, tas ranselnya berwarna hitam dan botol minumannya berwarna biru.
Keduanya duduk di kursi dengan meja berpayung warna-warni, menanti betor menjemput. Mereka bercerita ke mana suka untuk membunuh waktu, terutama soal keadaan dan suasana sekolah. Sepertinya, meski baru sekolah satu hari penuh dan hari berikutnya terpotong rapat, Hisar dan Anggiat sudah kenal betul dengan seluk-beluk sekolah barunya itu. Mereka tahu kamar mandi mana yang bersih dan kamar mandi mana yang patut dihindari. Bahkan, mereka tahu di mana letak kunci kamar mandi guru.
Soal kantin tentu mereka hapal gorengan apa saja yang dijual. Dan jangan lupa, yang paling laris adalah mie gomak. Mie kuning besar seperti spageti yang bahan dasarnya terbuat dari tepung terigu -- yang dibentuk seperti batang lidi tebal yang tegak dan lurus ketika mentah -- lalu dicampur dengan kuah kental pedas khas Batak yang disajikan dengan santan dan andaliman. Tapi soal kantin, Hisar dan Anggiat hanya bisa membayangkan tanpa pernah ke sana. Ada larangan dari Inang Mery, mereka memang tidak boleh makan sembarangan. Itulah sebab mereka selalu bawa bekal, minuman, dan tentunya obat; yang harus mereka konsumsi setiap pukul sepuluh. Pengetahuan soal kantin yang mereka miliki bersumber dari cerita Nauli dan Nadia semata.
Dan, betor yang ditunggu tidak datang-datang. Bahkan, sepuluh menit kemudian betor belum juga datang. Saurma yang sebelumnya mandi pun sudah selesai.
Inang Mery berjalan mondar-mandir, sesekali dia terlihat memegang leher -- seperti menggaruk, kebiasaannya ketika sedang berpikir. Hingga, seorang pengasuh memberi kabar soal pengemudi betor itu.
"Barusan istrinya telepon, abang betor mendadak kena diare, mungkin karena salah makan saat sarapan. Jadi tak bisa antarkan anak-anak," lapornya.
Inang Mery menarik napas panjang. Segera saja dia menugaskan dua pengasuh -- yang laki-laki -- untuk mengantarkan Hisar dan Anggiat ke sekolah. Dua sepeda motor, masing-masing membonceng satu orang.
"Pelan-pelan saja, belum terlambat," pesan Inang Mery.
Selepas Hisar dan Anggiat pergi, Inang Mery duduk sendirian di kursi dengan meja berpayung warna-warni. Dia coba memikirkan langkah yang tepat seandainya Hisar, Anggiat, dan Saurma benar-benar dikeluarkan dari sekolah. Menyerah bukanlah pilihan, melawan hingga semua orang tahu mungkin menjadi langka terbaik.
Inang Mery merogoh sakunya, mengeluarkan gawai dan menelepon senior di Komite AIDS HKBP. Dia harus melaporkan keadaan terkini. Dia menceritakan semuanya secara detail, terkhusus pertemuan dengan bupati kemarin. Sang senior tidak menyangka kalau masalah ternyata sebesar itu. Dia pun langsung meminta agar Inang Mery memberi laporan begitu ada perkembangan baru. Dan, Inang Mery dilarang mengambil keputusan emosional, semuanya harus dirembugkan terlebih dahulu, termasuk ketika harus bicara ke media atau wartawan.
"Yang paling penting buat anak-anak tetap nyaman, jangan sampai mereka sedih dan merasa tersakiti. Alihkan fokus biar mereka tidak berpikir soal ini. Mereka berhak bahagia. Masalah ini biar urusan kita saja," kata si senior dari seberang telepon.
Saurma bergabung dengan Inang Mery yang telah selesai menelepon. Dia duduk dengan hati-hati, jelas sekali dia tak mau membuat gaunnya yang berwarna merah darah kusut. Dia telah siap berangkat sekolah, terbukti kakinya sudah ditutupi sepatu. Pun tas ransel lengkap dengan botol minuman parkir indah di tas.
Namun belum sempat Inang Mery dan Saurma berbincang, Hisar dan Anggiat malah muncul. Hisar sudah dalam posisi tidak rapi, baju putih seragamnya terlepas -- tidak dimasukkan ke calana merah -- dan satu kancing bagian atas terbuka hingga melihatkan bagian atas dadanya. Pun, topi yang dipakainya terbalik, yang bagian depan -- yang bagian tengahnya ada logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dengan tulisan Tut Wuri Handayani berwarna emas -- menghadap belakang.
Anggiat tampak tidak banyak berubah seperti saat pergi, tetap rapi. Namun, sinar wajahnya lebih keruh. Dia tampak sangat suntuk, beda dengan Hisar yang terkesan lebih ceria.
Tak pelak kemunculan Hisar dan Anggiat secara otomatis membuat Inang Mery dan Saurma berdiri.
"Kami pulang, sekolah kosong, tak ada murid yang datang," lapor pengasuh yang mengantar.
Dua pengasuh yang ditugasi mengantar itu langsung masuk ke aula House of Love, sementara Hisar dan Anggiat bergabung bersama Inang Mery dan Saurma. Keduanya duduk dengan malas. Inang Mery dan Saurma pun kembali duduk.
"Cuma kami berempat yang datang, Nang, kalau guru-guru datang semua," lapor Anggiat.
"Terus, Kak Nauli dan Kak Nadia mana?" sambar Saurma.
"Pulang juga, paling sebentar lagi kemari."
Inang Mery sama sekali tidak bicara, dia mengambil gawainya. Serius dia mencari nama kontak, setelah itu langsung menelepon.
Hisar, Anggiat, dan Saurma serius memperhatikan Inang yang menelepon itu, mencari tahu siapa yang ditelepon. Lalu terdengarlah perbincangan, Inang Mery menyebut nama ibunya Nauli dengan sopan dan kemudian bertanya soal PAUD Welipa sambil menceritakan keadaan SD N 2 Nainggolan.
Hisar, Anggiat, dan Saurma mencoba menajamkan telinga, tapi suara ibunya Nauli di seberang telepon tidak terdengar. Sementara, Inang Mery lebih banyak mendengar daripada bicara. Jadi, dalam durasi nyaris tiga menit itu ketiganya hanya saling toleh.
Inang Mery menutup saluran telepon, sejurus itu dia memperhatikan jam yang terpajang di layar gawainya. Dia mendapati waktu yang menunjukkan setengah jam lagi Saurma masuk sekolah. Dia menarik napas panjang.
"Saurma, tenang-tenang saja dulu di sini ya. Tak usah berangkat dulu, kita tunggu kabar dari kepala sekolah ya," katanya kemudian.
Seorang pengasuh yang bertugas mengawal Saurma datang, wajahnya sedikit bingung. Kasus tidak ada murid di SD N 2 Nainggolan telah dia dengar dari dua pengasuh yang mengantar Hiras dan Anggiat tadi. Lalu, bagaimana dengan PAUD Welipa?
"Kita tunggu dulu kabarnya, kepala sekolah belum sampai di sana," jelas Inang Mery.
Pengasuh itu pun kembali, sementara Saurma sudah mulai tidak menjaga posisi duduk. Dia biarkan saja seandainya gaya duduknya itu membuat gaunnya kusut.
Inang Mery belum berbicara lagi, tangannya pun mulai menyentuh dan menggark-garuk leher, memikirkan apa yang bisa mengalihkan fokus Hisar, Anggiat, dan Saurma. Dongeng pasti tidak mempan, apalagi menawarkan permainan seperti ular tangga, monopoli, halma, ludo, dan lainnya.
Hisar, Anggiat, dan Saurma pun hanya diam melihat Inang Mery diam dan sedang berpikir itu. Ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sekira lima menit kemudian Nauli da Nadia muncul. Keduanya langsung bergabung. Enam kursi di meja berpayung warna-warni itu pun penuh. Namun, tidak ada yang bicara.
"Kalau libur begini enaknya ke mana ya?" kata Nadia, sekira dua menit kemudian.
"Hus!" tegur Nauli. Dia paham kalau sepupunya itu hanya sekadar memancing percakapan, tapi suasananya lagi tidak tepat.
"Kenapa? Kan enak kalau jalan-jalan, ke pantai mungkin, bisa main air danau. Kalau siang panas, kalau sore kelamaan," jawab Nadia.
Nauli mendelik dan menyuruh Nadia diam. Tapi, Nadia melawan. Semuanya mereka lakukan dengan gerakan tanpa kata, jadi seperti pantomim. Tingkah keduanya pun berhasil membuat Hisar, Anggiat, dan Saurma tertawa. Inang Mery pun tersenyum, tidak sekadar karena Nauli dan Nadia lucu, tapi juga soal ide yang mendadak muncul dalam otaknya.
Tiba-tiba gawai Inang berdering, terlihat nama ibu Nauli dilayarnya. Inang Mery langsung menjawab panggilan itu. Namun, dia berdiri dan menjauh dari Hisar, Anggiat, Saurma, Nauli, dan Nadia.
Kepala sekolah PAUD Welipa mengatakan kemungkinan besar keadaan sama dengan SD N 2 Nainggolan, tidak ada murid yang hadir. Jam sekolah memang belum dimulai, tapi sudah nyaris semua orangtua yang mempermisikan anaknya. Alasannya beragam, dari kurang enak badan hingga pergi bersama nenek ke kota. Kepala sekolah merasa hal itu tak wajar, jadi dia minta Saurma untuk tidak ke sekolah karena bisa jadi cuma dia sendiri yang hadir. Kepala sekolah pun mengatakan mau ke SD N 2 Nainggolan, mencari tahu jika ada perkembangan baru.
Inang Mery pun meminta izin agar Nauli dan Nadia bisa menemani Hisar, Anggiat, dan Saurma jalan-jalan. Inang Mery menjelaskan alasannya yakni agar anak-anak tetap nyaman, tidak sedih, dan merasa tersakiti. Tepatnya, agar fokus anak-anak teralihkan dari masalah yang ada. Kepala sekolah setuju dan akan menyampaikan hal itu pada abangnya yang juga kepala sekolah SD N 2 Nainggolan.
Inang Mery kembali ke meja berpayung warna-warni, kelima anak yang ada di sana diam menanti kata.
"Saurma tak usah ganti baju, ya, kalau jalan-jalan, kan cantik," kata Inang Mery.
"Tak ada yang datang ke sekolahku ya, Nang?" jawab Saurma.
Inang Mery tersenyum. "Anggap saja liburan, kalian mau ke mana?" katanya.
Tidak ada yang menjawab. Nadia malah bingung, kalimat dia tadi hanya pancingan dan tidak menyangka ditanggapi serius oleh Inang Mery.
"Bagaimana kalau ke Batu Guru, kalian kan suka tempat itu."
Hisar, Anggiat, Saurma, Nauli, dan Nadia tersenyum senang. Beberapa hari yang lalu, pada Sabtu petang, mereka memang sudah ke sana. Tapi, mereka kurang puas menikmati keindahan batu yang berada di Desa Pangaloan, Kecamatan Nainggolan, itu. Batu yang berdiameter lebih kurang 50 meter, memiliki tinggi sekira lima meter dari permukaan danau, dan kedalamannya sekitar tiga meter itu. Batu yang posisinya mungkin 70 meter dari tepi Danau Toba dan tidak menyentuh dasar danau langsung, seperti mengapung, hanya ditopang oleh tiga batu lain yang ukurannya kecil itu. Batu yang sering muncul dalam gambar bergerak di benak Saurma itu.