Batu Guru

Muram Batu
Chapter #14

Sabar-sabar

Pukul dua lewat sedikit, orang-orang yang diundang ikut rapat telah duduk di kursi masing-masing. Ruang rapat ini tidak begitu besar, bukan seperti aula dengan kursi tanpa meja kecuali untuk pembicara. Ruang ini persis dengan tempat rapat kebanyakan, berbentuk empat persegi panjang dengan masing-masing sisinya -- yang terdiri dari meja dan kursi -- saling berhadapan dan membiarkan bagian tengahnya kosong. Tentunya panjang sisi tidak sama, ada dua yang lebih pendek dan hanya diberi dua meja-kursi untuk dua orang. Pada salah satu sisi yang pendek inilah sang pemimpin rapat akan duduk. Sesuai protokoler, bupati dan wakil bupati yang akan berada di sana, tapi keduanya belum masuk juga.

Pihak dinas pendidikan, pihak kecamatan, pihak sekolah, dan pihak lainnya seperti bagian kehumasan pemerintah kabupaten telah memenuhi ruangan. Semuanya diam, sesekali ada yang berbisik dengan rekan di sebelahnya. Suasana tampak tegang.

Bupati dan wakil bupati masuk ruangan sekira dua menit kemudian. Setelah berbasa-basi sedikit, meminta maaf karena terlambat lima menit, bupati pun langsung memulai rapat. Pembahasan adalah mencari solusi terbaik bagi warga Nainggolan. Dan, bupati memberi batasan waktu yakni selama dua jam. Artinya rapat hanya berlangsung hingga pukul empat sore.

Seperti pertemuan sebelumnya di SD N Nainggolan, bupati juga berusaha tidak langsung memberikan keputusan, dia menunggu. Dia hanya menekankan sudah ada gerakan mogok sekolah dan sudah ada pengancaman soal pengusiran untuk anak pengidap HIV. Artinya, harus ada keputusan yang berupa solusi terbaik untuk semua pihak.

Jika sebelumnya dia membiarkan warga dan pihak House of Love bicara, kini hal serupa dia beri kesempatan kepada wakil bupati serta undangan lainnya. Bupati pun tidak menyela. Dia hanya mengangguk-angguk saja.

Wakil bupati menyoroti keresahan masyarakat, apalagi ketiga anak dan penghuni House of Love lainnya bukan warga Nainggolan atau Samosir. Artinya, aspirasi masyarakat patut didengar, termasuk soal kabar pengusiran itu. Wakil bupati beralasan, yang harus diutamakan adalah keinginan orang banyak. Ini bukan tidak peduli atau tidak perhatian pada HIV/AIDS yang bisa disangkutpautkan dengan hak asasi manusia, tapi soal kemauan orang banyak yang tentunya terkait dengan demokrasi. Karena itu, wakil bupati lebih cenderung mengembalikan para pengidap HIV ke tempat sebelumnya yakni Balige.

Pihak kehumasan, yang berbicara soal citra kabupaten, ingin pihak pimpinan mengambil keputusan yang bijak. Pasalnya ini isu negatif, melibatkan instansi seperti sekolah, yang tentunya berhubungan dengan pemerintah kabupaten. Mengembalikan mereka ke Balige, apalagi dengan bumbu penolakan warga, akan menimbulkan preseden buruk. Secara demokratis mungkin benar, tapi soal hak asasi manusia sulit untuk dilawan.

Wakil bupati mengerti apa yang dimaksud pihak kehumasan. Dia senang dengan masukan itu. Dia pun kemudian mengeluarkan ide, jika memang pengidap HIV harus tetap di Samosir, buka sebuah tempat dan tempatkan semuanya di sana. Misalnya buka hutan, yang lokasinya bisa dikatakan jauh dari permukiman, dan pemerintah kabupaten yang memfasilitasi.

Pihak Kecamatan Nainggolan buka suara. Bagi mereka keberadaan pengidap HIV bukan masalah. Setidaknya sejak dua tahun lalu atau 2016 ketika RS HKBP Balige memindahkan bebeberapa anak pengidap HIV yang diasuhnya ke RS HKBP Nainggolan, tidak ada warga yang protes. Aman-aman saja. Sosialisasi soal HIV/AIDS juga terus berlangsung baik. Namun, ketika 2018 ini, saat beberapa anak itu disekolahkan ke sekolah umum, baru muncul gejolak. Artinya, masalahnya ada pada warga tidak mau anak mereka digabungkan sekolahnya dengan pengidap HIV. Jadi, bukan pada keberadaan anak-anak itu di House of Love.

Nyatanya rapat tidak memunculkan perdebatan yang sengit. Perbincangan cenderung mengarah ke satu hal yakni anak pengidap HIV harus dikeluarkan dari sekolah. Pihak SD N 2 Nainggolan dan PAUD Welipa menyoroti soal hak anak mendapatkan pendidikan dan HIV sudah seharusnya tidak perlu dikhawatirkan. Pasalnya ketiga anak tersebut sangat sehat dan penyebaran atau penularan HIV itu tidak gampang seperti flu atau cacar air. Bahkan pihak SD N 2 Nainggolan dan PAUD Welipa sampai menyebut, HIV pada tiga anak tersebut persis dengan diabetes, mereka mendapat penyakit itu dari orangtua dan bukan karena gaya hidup. Bukan berarti HIV tidak menular, tapi tiga anak itu mendapat penyakit turunan. Pun, seandainya kesehatan mereka payah tentu House of Love tidak akan mengirimkan tiga anak itu sekolah di tempat umum.

Namun, pihak SD N 2 Nainggolan dan PAUD Welipa tak menampik kalau kehilangan ratusan murid adalah sebuah prestasi buruk. Idealnya semua baik-baik saja. Dan, seandainya semua baik-baik saja, itu adalah prestasi bagi Nainggolan dan tentu saja Samosir di mata dunia.

Bupati menarik napas panjang, dia lirik jam dinding di ruangan itu dan baru pukul tiga. Dia pun mulai bicara, nadanya tenang. Dia mengulangi kalau Kabupaten Samosir tidak pernah melarang dan membedakan status dan kondisi anak untuk mendapatkan haknya di bidang pendidikan. Itulah dasar kenapa tiga anak penderita HIV itu diperbolehkan bersekolah umum. Namun, warga menentang keras hingga melarang anak mereka sekolah. Artinya, kebijakan pemerintah daerah yang memperbolehkan tiga anak HIV di sekolah umum membuat ratusan anak lainnya malah tidak bisa sekolah.

Bupati kemudian, dengan kenyataan yang ada, menginginkan hal yang terbaik untuk semua. Ratusan anak itu kembali sekolah dan tiga pengidap HIV juga tetap sekolah tanpa keluar dari Nainggolan maupun Samosir. Caranya, ada kelas khusus bagi tiga pengidap HIV itu dan dipisahkan dari anak-anak sekolah umum. Dengan kata lain, dibuat pendidikan nonformal atau dikejar dengan paket A atau lebih dikenal homeschooling bagi ketiga anak tersebut. Homeschooling ini merupakan bentuk jalan tengah agar tidak mengganggu hak pendidikan dari semua anak. Dan, dengan program homeschooling tiga pengidap HIV tersebut masih mendapatkan akses pendidikan. Bupati pun meminta dinas pendidikan untuk menindaklanjuti, termasuk menyiapkan guru-gurunya.

"Itu saja keputusan hari ini. Tidak ada pengusiran, semua pihak tenangkan warga. Tuntutan sudah dipenuhi, jangan tambah tuntutan lain. Mulai besok anak-anak mereka sudah bisa sekolah seperti biasa," kata bupati sembari menutup rapat yang selesai sekira satu jam dari jadwal yang telah ditentukannya.

Bupati dan wakil bupati meninggalkan ruangan diikuti pihak kehumasan. Pihak dinas pendidikan langsung berkoordinasi dengan pihak sekolah. Setidaknya, keputusan rapat cenderung menjadi opsi terbaik bagi dunia pendidikan. Setelah itu, pihak dinas pendidikan pun meninggalkan ruangan.

"Sampaikan pada House of Love, tak perlu juga menunjukkan ke warga kalau anak asuh mereka sangat sehat sampai piknik ke Pantai Pangaloan pagi-pagi. Biasa-biasa saja," tegur pihak Kecamatan Nainggolan sambil keluar ruangan.

Bapaknya Nadia, ibunya Nauli, serta guru SD N 2 Nainggolan dan PAUD Welipa yang hadir pun hanya bisa tersenyum gamang. Tak lama kemudian, semuanya pun serempak bersandar di kursi sebelum meninggalkan ruangan dengan pelan.

***

Di sebuah warung kopi dekat kantor bupati, suami ibu pemilik warung makan dan dua ibu penebar teror duduk santai. Tidak ada wajah panik pada wajah mereka. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore kurang lima menit dan kini mereka tengah menanti dua orang lain; dua orang yang sebelumnya telah mengabarkan kepastian tentang dikeluarkannya tiga anak pengidap HIV dari sekolah umum. Satu orang kepercayaan bupati dan satunya lagi orang kepercayaan wakil bupati.

Tampak rona bahagia pada wajah tiga orang di warung kopi. Mereka lega. Perjuangan mengeluarkan tiga anak pengidap HIV telah tuntas. Terbayang perjuangan awal menggalang suara yang bisa dikatakan tidak mulus. Tidak semua orangtua murid SD N 2 Nainggolan dan PAUD Welipa sepaham, banyak yang menganggap kehadiran tiga pengidap HIV di sekolah anak mereka bukan masalah besar. Orangtua murid itu yakin kalau anak mereka tidak akan gampang tertular karena penularan HIV juga tidak dengan proses sembarangan. Namun, tiga orang dalam warung kopi dan orangtua lainnya yang mendukung sekolah harus bebas dari pengidap HIV tidak patah arang. Mereka lakukan gerakan dalam diam, sabar, dan dari pintu ke pintu. Mereka kobarkan soal pendatang atau tidak, soal citra wilayah, soal mental anak-anak mereka, dan sama sekali tidak fokus pada teknis penularan HIV.

Bagi mereka, kasus ini tidak sekadar tentang bahaya penyakit HIV terhadap tubuh tapi lebih mengarah pada bahaya secara sosial dan budaya. Hal inilah yang mereka jadikan senjata dalam propaganda walau pada dasarnya juga takut anak mereka tertular. Dengan kata lain, mereka selimuti kekhawatiran itu dengan isu yang lebih besar, yang mungkin lebih realistis dimakan oleh ego orang-orang. Dan, mereka berhasil.

Mereka tidak peduli pengidap HIV itu diusir dari Samosir atau tidak, target utama mereka hanya mengeluarkan anak-anak itu dari sekolah umum. Mereka tidak benci anak-anak itu, hanya tidak mau anak mereka satu sekolah dengan ketiganya. Itu saja.

Dua orang yang ditunggu tiba di warung kopi. Keduanya tersenyum lebar sambil menyalami tiga orang yang sebelumnya sudah hadir di situ.

"Padahal, kami sudah siap jumpai bupati dan wakil bupati kalau keputusannya tak sesuai," kata suami ibu pemilik warung makan.

"Memangnya apa yang mau kalian buat?" tanya orang kepercayaan bupati.

"Ini, dua emak-emak ini, sudah siap unjuk rasa sambil buka baju!" jawabnya sambil tertawa. Empat orang lain juga tertawa. "Tapi mantaplah, sudah tenang kita. Anak-anak kita sudah bisa sekolah lagi. Tidak ada rasa khawatir," sambungnya.

"Istrimu sudah tahu? Kulihat, takut sekali dia kalau kita macam-macam," kata orang kepercayaan wakil bupati.

"Dia sudah kutelepon habis kalian kasih kabar. Dia jadi mengerti kalau kita bukan memusuhi, tapi biar tampak memusuhi supaya target utama tercapai. Istilahnya, mau ke Siantar tapi yang kita kobarkan ke Medan? Ke Medan kan lewat Siantar."

"Bukan itu istilahnya! Mau kencing tapi bilangnya mau berak, kalaupun berak pasti kencing juga kan?" sambar salah satu ibu yang hadir di sana.

Semuanya pun tertawa. Tapi, tawa itu tidak lama, rombongan pihak SD N 2 Nainggolan dan PAUD Welipa datang dan langsung bergabung dengan mereka.

"Rupanya kalian aktornya," kata bapaknya Nadia usai memesan kopi.

"Bukan aktor, Bang, kami hanya ingin bersikap," balas suami ibu pemilik warung makan.

"Apapun istilahnya terserah, yang jelas kalau kalian macam-macam lagi dengan House of Love, kalian akan hadapi aku."

"Sabar, Bang, santai. Kami sayang mereka. Abang kan tahu selama ini kami seperti apa? Kami kan aktif membantu mereka dan itu tidak akan berubah. Ini kan soal cara mereka bersekolah, itu saja. Dan, bupati sudah memutuskan, jadi kita ikuti saja," jawab suami ibu pemilik warung makan sambil menatap sosok yang masih semarga dengannya itu.

"Kalian bantulah kami, biar kampung kita tak jelek," timpal ibunya Nauli.

"Siap, Kak," jawab kelimanya serempak.

"Kita ini 'dongan tubu', jangan sampai kita sendiri yang ribut, tak baik."

"Siap, Kak," jawab kelimanya lagi, tetap serempak.

***

Inang Mery dan seniornya tiba di Pangururan sekira pukul setengah enam sore. Keduanya duduk di bagian tengah pada mobil Kijang kapsul berwarna hijau toska. Abangnya Nadia masih menjadi pengemudi, sementara di sisinya, di kursi depan, duduk Amang Valdes.

Lihat selengkapnya