Hisar, Anggiat, dan Saurma lebih memilih duduk di dalam aula House of Love terlebih dahulu usai minum obat, tidak seperti tiga penghuni lainnya yang langsung masuk kamar. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam lewat lima menit. Suasana sepi, tenang, dan tentunya dingin. Malam yang ideal untuk segera menarik selimut.
Beberapa pengasuh berada di dalam aula juga, tapi berada agak jauh jauh. Sementara, pengasuh lainnya berada di dapur, membereskan apa yang bisa dibereskan atau sekadar menyiapkan bahan untuk sarapan. Sudah kebiasaan para pengasuh masuk ke kamar mereka masing-masing paling cepat pukul setengah sebelas malam.
"Berarti besok kita tak sekolah," buka Hisar.
Anggiat mengangguk.
"Sampai kapan, Bang?" tanya Saurma.
Anggiat menggeleng.
Sejatinya Anggiat adalah sosok yang paling tahu soal itu, bukan karena paling tua, tapi karena dia sempat bicara langsung dengan seorang pengasuh. Berbekal kabar yang dia dengar sepintas dari perbincangan Inang Mery sebelum berangkat ke Pangururan -- yang juga didengar Hisar dan Saurma -- Anggiat berhasil membuat sang pengasuh buka mulut. Intinya mereka memang dikeluarkan dari sekolah dan rombongan yang berangkat ke ibu kota Kabupaten Samosir itu ingin membicarakannya pada bupati.
Sang pengasuh pun meminta Anggiat tetap semangat dan menenangkan Hisar dan Saurma. Jangan sampai Hisar teriak-teriak atau Saurma menangis lagi. Pengasuh itu menekankan, Inang Mery dan petinggi Komite AIDS HKBP lainnya pasti mencarikan jalan terbaik.
"Kalaupun dikeluarkan dari sekolah juga tak apa-apa, malas belajar," kata Hisar sambil senyum tipis.
Anggiat malah tersenyum lebar, gerak yang terlihat seperti mengejek. Saurma malah tidak menanggapi.
"Yang paling kusuka itu jam istirahatnya, bisa main-main. Kalau belajar di kelas bikin malas," tambah Hisar.
"Kasihan Inang Mery, dia sudah belikan kita baju baru," kata Saurma.