Batu Guru

Muram Batu
Chapter #17

Mereka yang Meraga

Amang Valdes hanya bisa tersenyum ketika mendengar laporan mantan anggotanya, usai makan siang, sesaat sebelum kembali ke Nainggolan. Bekas wartawannya itu baru saja selesai konfirmasi pada bupati terkait berita penolakan warga tersebut. Inang Mery dan seniornya serta abangnya Nadia pun hanya menyimak.

Kata si wartawan, bupati cenderung datar saat dikonfirmasi. Bupati hanya mengatakan dapat laporan tentang penolakan warga. Soal seperti apa penolakan atau sikap warga terhadap pengidap HIV, bupati tidak banyak bicara. Dia mempersilakan para wartawan untuk bertanya langsung pada warga. Masalahnya, sang wartawan mendapat laporan dari kawan-kawan di Nainggolan, tidak ada warga yang mau bicara. Semua warga di Desa Nainggolan meminta wartawan untuk mewancarai bupati saja.

Pun, bupati tidak mempermasalahkan soal Samosir yang mendadak heboh hingga menjadi santapan media nasional. "Memang begitu adanya, kenapa harus ditutupi," kata wartawan itu sambil meraga gaya dan meniru kalimat bupati, tentu geraknya itu untuk melucu.

Lagi-lagi Amang Valdes tersenyum. "Soal keputusan yang kalian tulis sebagai penawaran itu?"

Sang wartawan kembali ke mode serius dan mengatakan bupati tidak menunjukkan rasa terganggu. Bupati malah melihat kata penawaran mungkin lebih tepat, lebih mengarah ke solusi; sebagai pemerintah idealnya memang memberikan jalan terbaik untuk semuanya. Sama sekali tidak ada perlawanan, termasuk soal homeschooling yang dianggap bisa membuat anak-anak pengidap HIV terisolasi, bupati hanya mengatakan itu adalah penawaran untuk solusi terbaik.

"Pintar dia gunakan kata penawaran itu, ya, bukan keputusan," cetus Amang Valdes sambil mengusap kepala. "Jadi besok beritanya seperti apa?" sambungnya.

"Paling mengulang berita kita hari ini, tambahi dengan kalimat bupati tadi, terus perbanyak tanggapan tokoh biar jadi tambah seksi. Reportase ke Desa Nainggolan sepertinya tidak, selain jauh dari sini, warga di sana juga pasif, jadi kawan-kawan cenderung malas. Fokusnya lebih ke tanggapan dari Pangururan, Medan, dan Jakarta."

"Baiklah, mau bagaimana lagi. Soal sikap Komite AIDS HKBP tidak berubah, jawabannya tetap sama, meski anak-anak tetap belajar, walau homeschooling. Gunakan saja. Yang penting jangan sentuh House of Love secara langsung, biarkan anak-anak itu tenang," balas Amang Valdes.

Tak lama setelah wartawan itu pergi, mobil Kijang kapsul berwarna hijau toska pun mulai meninggalkan penginapan. Mobil melaju pelan, membelah Pangururan, menuju Nainggolan.

"Sepertinya sulit mengubah keputusan bupati itu," ucap senior Inang Mery.

"Ya, mau tak mau kita juga menyebutnya sebagai penawaran dan bukan keputusan. Namanya penawaran kalau sudah dijalankan berarti sudah diterima semua pihak. Terbukti, hari ini anak-anak sudah tidak berangkat ke sekolah," sambut Inang Mery.

"Ya, sisi lainnya, kita terlihat kooperatif. Korban tapi malah besar hati. Penawaran itu sifatnya lebih lentur, jadi gampang berubah. Artinya, ketika khalayak lebih peduli, mereka akan mendukung kita dan membuat bupati berpikir lain," jelas Amang Valdes.

Lihat selengkapnya