Batu Guru

Muram Batu
Chapter #18

Mereka yang Merasa

Amang Valdes dan seniornya Inang Mery telah kembali ke Balige. Keduanya menyeberang dari Pelabuhan Nainggolan pada pukul delapan pagi. Tidak ada perpisahan seperti film-film, penuh tangisan atau dengan tarian pelepasan. Tidak ada lambaian tangan yang berlebihan. Semuanya biasa saja.

Amang Valdes dan seniornya Inang Mery memang tidak mau berlama di Nainggolan, munculnya berita soal penolakan warga pada pengidap HIV itulah penyebabnya. Jika keduanya tetap di Nainggolan, House of love dan penghuninya akan lebih gampang tersorot media. Dengan kata lain, mereka seperti mengundang wartawan untuk ramai-ramai datang ke Nainggolan, mewawancarai karena keduanya adalah sumber berita. Dan, mereka merasa itu sangat tidak bijak.

House of Love secara fisik tidak boleh sampai tersentuh, setidaknya ini demi ketenangan penghuninya. Itulah sebab, sebagai petinggi Komite AIDS HKBP, keduanya memilih untuk mengeluarkan pernyataan dari Balige. Mereka harus mengarahkan kamera ke Balige, tapi tetap memperjuangkan para pengidap HIV yang diasuh di House of Love Nainggolan.

Inang Mery paham dan berterima kasih soal itu. Pasalnya, hidup harus terus berjalan dan tidak mungkin House of Love terlarut dalam masalah yang berkepanjangan seperti itu. Apalagi, warga Nainggolan juga biasa saja. Tidak ada permusuhan. Tadi usai mengantar seniornya dan Amang Valdes ke pelabuhan, Inang Mery malah ketemu dengan dua ibu -- yang sempat mengintip dari pintu masuk rumah sakit -- di Pasar Nainggolan. Ketiganya berbincang akrab, bahkan dua ibu itu menawarkan bantuan agar program homeschooling bisa sukses, misalnya mereka siap mengantar-jemput materi pelajaran dari SD N 2 Nainggolan. Pun, pada pagi yang tidak gerimis itu, ibu pemilik warung makan yang mengaku terlambat belanja juga sempat bergabung. Dengan ceria dia mengatakan akan segera mengirim bahan baku untuk makanan penghuni House of Love; hal biasa yang dia dan suami lakukan sebelumnya.

Kini, Inang Mery hanya ingin menjalani hidup. Menguatkan semangat anak asuhnya, berinteraksi secara baik dengan warga Nainggolan, dan berharap perjuangan Komite AIDS HKBP membuahkan hasil. Kekuatan jahat yang membuat Hisar, Anggiat, dan Saurma dikeluarkan dari sekolah pun didoakannya agar segera hilang. Itu saja.

Masalahnya usai semua anak asuhnya minum obat, Inang Mery merasa kurang tenang. Dia melihat Saurma cenderung lebih diam. Jika kemarin, ketika petang di taman tengah, Inang Mery maklum Saurma minus kata karena terlambat bangun. Tapi, kini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sekian menit dan di meja yang berpayung besar dan berwarna-warni, Saurma juga banyak diam. Wajah cerianya entah ke mana.

"Kenapa, Saurma? Jangan sedih, sabar. Ketika kau SD nanti sudah bisa sekolah di tempat umum," tegur Inang Mery.

Saurma hanya tersenyum kecil, sama sekali tidak menjawab. Hisar dan Anggiat secara otomatis memperhatikan Saurma. Keduanya pun sadar, pasti ada yang tidak beres dengan si kecil Saurma. Keduanya paham, Saurma pasti menyimpan sesuatu.

"Cerita sama Inang. Cerita saja, apa yang kau rasakan? Kalau sakit kan tidak mungkin, Saurma si anak paling sehat," tambah Inang Mery.

"Aku tak bisa naik sepeda ...."

Inang Mery tertawa. "Kan memang Inang larang. Bersepeda itu rawan luka, sementara kita kan menjauhi luka."

"Bukan itu, Nang. Pasti dia lihat sesuatu. Ya, sudah ceritakan saja, Dik, biar sekalian Inang Mery tahu," sambar Anggiat.

Inang Mery menunjukkan ekspresi bingung.

"Muncul lagi gambar itu?" tebak Hisar.

Saurma mengangguk. Inang Mery bertambah bingung.

Anggiat kemudian menceritakan soal Saurma yang sering mendapati gambar bergerak di langit-langit kamarnya sebelum tidur siang pada Inang Mery. Selama ini mereka belum punya kesempatan untuk menceritakannya. Bahkan sempat tidak berani cerita, takut dianggap mengada-ada, contohnya ketika minta izin mau ke Batu Guru tempo hari. Tanpa menunda waktu, Anggiat cerita dengan detail, dari topi Hisar hingga keberadaan Batu Guru. Inang Mery memang harus tahu.

"Beberapa ada benarnya, Nang, makanya sering kami anggap kayak pertanda," terang Anggiat.

Inang Mery menarik napas panjang. Kenapa anak-anak jadi aneh, pikirnya, apakah karena efek dari masalah akhir-akhir ini?

"Kami tahu, Nang, tidak boleh percaya pada yang seperti itu. Tapi, gambar itu sering benar dan buat Saurma seperti ini."

"Ya sudah, ceritakan seperti apa gambarnya?" balas Inang Mery sambil tersenyum.

Lihat selengkapnya