Batu Loncatan

Nurmalita Rizki Anindya
Chapter #2

Bab 2

Di sekolah baruku, tentunya bukan hanya seragam yang setingkat lebih dewasa tetapi pemikiran dan tingah laku juga, aku harus menata sedemkian rupa agar nantinya aku bisa mempersiapkan segala sesuatu yang akan aku hadapi didepan, entah itu masalah keuangan, masalah pertemanan, masalah nilai, masalah prestasi dan tentunya cinta monyet. Saat aku masuk kelas tujuh SMP aku mulai menyukai cowok, saat itu aku tidak punya handphone seperti teman-temanku, sehingga aku tidak berkomunikasi dengan cowok yang ku taksir, tetapi aku punya teman-teman yang baik, ya istilahnya makcomblang hehe, karena saat itu cowok yang ku taksir beda sekolah denganku, saat kakaku sudah memiliki gaji dia membeli handphone baru lalu memberikan handphone lamanya kepadaku.

“Pakai saja handphone ini meski tidak bagus paling tidak kamu bisa berkomunikasi dengan teman-temanmu.” Kata kakakku sambil memberikan handphone lamanya.

“Terima kasih ya mba,mau ini bekas yang penting sekarang aku punya handphone.” Jawabku sambil memeluk kakak.

Saat itulah aku bisa berkomunikasi dengan teman-teman dan gebetanku, tapi itu tak berjalan dengan lama karena kebutuhan ekonomi akhrinya kakakku menjual kembali handphone barunya lalu handphone yang sudah diberikan kepadaku diminta kembali, ya sedih ya marah tapi bagaimana lagi aku tidak mungkin egois ditengah serba kekurangannya perekonomian keluargaku, tapi hal itu tidak membuatku patah semangat, aku harus giat belajar agar nilaiku bagus.

Setelah hampir satu semester aku bersekolah di bangku kelas tujuh, akhirnya berbagai perlombaan pun berdatangan, disitu banyak sekali cabang perlombaan yang akan diadakan oleh kecamatan maupun kabupaten, sekolahku mengadakan seleksi kecil-kecilan, saat itu aku mengikuti beberapa seleksi cabang lomba, ternyata guruku menilai baik beberapa seleksi cabang lombaku, tetapi aku harus memilih salah satu, akhirnya aku memilih lomba puisi, akupun maju untuk mewakili sekolahku di ajang perlombaan puisi, mamaku yang sangat mendukungku terus melatih dan memberi sedikit pengarahan agar nantinya aku tampil secara optimal dan tentunya tidak grogi, aku sangat berharap banyak dalam lomba ini, tapi kenyataannya lain aku belum berhasil meraih juara, agak kecewa si tapi tidak ada salahnya perlombaan kali ini dijadikan uji coba dan latihan agar tahun berikutnya aku bisa memperbaikinya.

Waktu terus berjalan dan tentunya banyak sekali pengalaman yang aku dapatkan entah itu dari prestasi,cinta monyet, bahkan permasalahan ekonomi yang tidak ada habisnya, saat itu aku sudah menginjak kelas delapan semester dua, pikirku aku sudah cukup siap dalam menghadapi apapun yang sedang dan akan terjadi dikehidupanku, papaku yang masih saja bekerja diluar kota membuat kami sekeluarga benar-benar menderita,disini aku sangat paham betul mengapa figur ayah sangat dibutuhkan dalam sebuah keluarga. Ya saat itu aku sangat sedih dimana sumber air dirumahku sudah susah sekali dan hal itu membuat aku dan kakakku harus mengambil air setiap harinya disumber air milik masjid terdekat,untung saja pengurus masjid ditempat tinggalku orangnya baik semua dan mereka tidak mempermasalahkan jika aku dan kakakku harus mengambil air setiap paginya, saat masih petang bahkan sebelum subuh aku dan kakakku bangun untuk bersiap mengambil air di masjid, kami memang sengaja tidak melibatkan mama dalam hal ini, mengingat betapa lelahnya mama seharian sudah mengurus kami dan mengurus rumah belum lagi harus memutar otak untuk membagi uang yang tidak seberapa untuk kebutuhan sehari-hari, rasa takut pasti ada dalam benak kami berdua, kami mengambil air sebelum subuh dan sepanjang jalan juga masih sangat sepi, apalagi kami berdua perempuan kadang merasa lelah, mengantuk, tetapi kami hanya bisa menangis untuk melampiaskan semuanya.

“Mba aku masih sangat ngantuk.” Rengekanku sambil menahan kantuknya mata

“Jangan manja, ayo bangun, ketika subuh nanti kita harus sudah selesai!.” Jawab kakakku dengan dua buah dirigen ditangannya.

Akhirnya kami bergegas ke masjid untuk mengambil air, sembari menunggu air penuh dalam dirigen biasanya kami berdua duduk santai sekedar meluruskan badan yang sudah pegal-pegal.

“Kak, apa iya selamanya kita akan seperti ini terus, aku ingin seperti yang lain yang jam segini masih tidur dengan hangatnya di kamar.” keluhku sambil memejamkan mata

“Hidup itu seperti roda, mungkin sekarang kita dibawah tapi suatu saat kita akan merasakan diatas, hidup itu tidak asik jika tidak dilalui dengan perjuangan!” jawab kakakku dengan senyum tipis

Lihat selengkapnya