Rumah tua milik Wa Sarmin, menyisakan begitu banyak kenangan, rumah yang dulunya dibangun dengan segala upaya agar anak-anaknya bisa berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya malam. Namun sekarang rumah itu hanya dihuni oleh seorang ponakan dan seorang paman. Pagi itu matahari belum tinggi, namun cahaya keemasannya telah menembus celah-celah dinding papan yang mulai kusam dimakan usia. Di luar, kabut tipis masih menggantung di atas rerumputan halaman rumah, rumah tua yang berdiri terpencil di ujung kampung, seperti seseorang yang menua perlahan, namun tetap setia menunggu siapa pun yang sudi kembali.
Di dalam rumah itu, seorang anak kecil berusia tujuh tahun terbangun dengan mata mengantuk. Namanya Hafiz. Rambutnya acak-acakan, pipinya bersemu merah karena udara pagi yang dingin. Ia masih memakai kaus tidur bergambar bintang yang warnanya sudah memudar. Hafiz mengusap matanya perlahan, mendengarkan suara ayam berkokok berturut-turut dari kejauhan.
Ia menoleh ke arah ranjang yang lebih besar di sampingnya. Kosong.
Seperti biasa.
“Mang...” suaranya kecil, setengah bergumam, antara sadar dan masih ingin memejamkan mata.
Tak ada jawaban.
Hafiz bangkit dari kasur tipisnya dan berjalan dengan langkah gontai. Lantai papan mengeluarkan bunyi berderit pelan, seolah mengeluh kedinginan. Udara pagi merambat masuk lewat lubang-lubang kecil di tembok yang sudah tidak rapat lagi. Hafiz memeluk tubuhnya sendiri, menggigil sedikit.
Di dapur, aroma teh hangat samar tercium. Hafiz menemukan Zaenal, pamannya yang berusia 28 tahun, sedang menuang teh ke dalam gelas kaca. Tubuh Zaenal kurus tapi kuat. Kulitnya sawo matang, garis rahangnya tegas, namun tatapan matanya selalu nampak letih, seperti seseorang yang menanggung beban yang tak pernah ia bagi kepada siapa pun.
Zaenal tidak tersenyum kala Hafiz muncul, tetapi matanya menoleh sekilas dengan lirih. Itu sudah cukup bagi Hafiz, ia terbiasa.
“Kirain enggak bakal bangun, kamu,” ujar Zaenal pelan. Suaranya dalam, serak sedikit.
Hafiz mengangguk. “Pagi, Amang.”
Zaenal menjawab dengan anggukan kecil. Ia bukan tipe pria dengan banyak kata. Ia menyiapkan dua piring kecil. Sarapan mereka sederhana: ubi keras yang seharusnya sudah habis dua hari lalu. Di sisi piring ada sedikit gula merah yang hampir habis.
“Maaf, hari ini amang belum sempat ke pasar,” lirih Zaenal, tanpa memandang pada Hafiz.
Baginya, meminta maaf adalah hal jarang. Namun ketidakmampuannya menyediakan sarapan layak selalu membuatnya merasa gagal.
Hafiz hanya tersenyum kecil. “Enggak apa-apa, Mang. Hafiz suka ubi.”
Mungkin ia tak benar-benar suka, tapi ia tahu bagaimana kata-kata kecil dapat membuat pamannya tidak terlalu mengernyitkan dahi.
Mereka duduk makan. Hanya suara burung yang sesekali bersahut-sahutan. Hafiz mengunyah pelan, memperhatikan wajah pamannya lama-lama. Ada lingkar hitam di bawah mata pria itu, entah kurang tidur atau terlalu banyak pikiran.
“Amang tidur jam berapa?” tanya Hafiz polos.
Zaenal terdiam, menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada ubi yang ia potong kecil-kecil. “Jam 1. Tadi malam ada kerjaan sedikit.”
Kerjaan sedikit. Kalimat itu terdengar akrab bagi Hafiz. Ia tahu Zaenal biasa mengambil pekerjaan apa pun demi menghidupi mereka.
Kuli bangunan, bersih-bersih gudang, pabrik kayu, bahkan mengojek sesekali dengan upah yang tak seberapa.
Padahal dulu Zaenal dikenal sebagai pemuda yang cerdas. Hafiz pernah mendengar cerita dari tetangga, Zaenal pernah di pesantren, lulus SMA setidaknya ia punya masa depan cerah. Tapi hidup tidak berjalan sesuai rencana.
Sejak kecelakaan yang merenggut kakak, kakak iparnya dan satu ponakannya, pamannya pulang ke rumah tua ini, membawa Hafiz kecil yang belum mengerti arti kehilangan. Dan sejak itu, Zaenal tidak pernah pergi lagi.
Hafiz menatap sekitar. Rumah itu besar sebenarnya, tapi kosong dan rapuh. Banyak sudut yang berdebu. Banyak foto keluarga tergantung miring di dinding. Ada cermin besar dekat lemari yang kacanya retak sedikit. Di pojok ruang tamu, kursi tua masih berdiri, bekas mendiang nenek Zaenal, berarti nenek buyut Hafiz.
Namun bagian yang paling ia suka adalah serambi depan. Tempat ibunya dulu sering membacakan dongeng selamat tidur. Hafiz tidak banyak ingat wajah ibunya, memori itu samar, seperti cahaya kuning di senja hari yang hampir padam. Ia hanya ingat bau rambut ibunya yang wangi bunga melati dan suara lembutnya ketika berkata “Ini rumah tempat kita pulang, Nak. Jangan pernah takut selama tempat ini masih ada.”
Hanya kata itu yang ia hafal betul dan terus bergema di kepala Hafiz seperti lagu lama yang tidak pernah usang.
Zaenal selesai makan lebih dulu. Ia berdiri, mengambil jaket yang tergantung di dinding.
“Hafiz, nanti kamu ke sekolah sendiri ya. Jangan telat,” ucapnya sambil memakai sepatunya.
Hafiz mengangguk cepat. “Amang kerja kemana hari ini?”
“Ke rumah Pak guru Iwan.”
Hafiz memandangi tangannya yang kasar, penuh bekas semen dan goresan. Anak itu diam sebentar, lalu berkata dengan suara kecil, “Jangan lupa makan siang ya, Mang!”
Zaenal menoleh lagi. Kali ini matanya sedikit melembut, meski bibirnya tetap tak banyak bergerak. “Iya.”
Sesaat, terjadi keheningan aneh. Seolah ada kata yang ingin keluar dari hati keduanya, namun selalu tertahan di tenggorokan. Cinta kadang kala seperti itu: ia berontak, tapi sulit diucapkan.
Zaenal kemudian berjalan menuju pintu. Hafiz ikut mengiringi sampai teras. Pintu kayu itu berderit ketika dibuka. Cahaya pagi lebih jelas menerangi rumah yang kusam namun tetap berdiri tegar.