Batu Nisan Untuk Paman

Topan We
Chapter #3

Bab | 03

Sejak pagi buta, rumah kayu peninggalan orang tua Zaenal kembali dipenuhi kesunyian yang khas. Suara ayam berkokok di kejauhan, disusul suara sapu lidi yang diseret pelan di halaman kecil. Hafiz, dengan langkah kecil dan rambut masih acak-acakan, mendorong pintu kamar yang tak rapat. Ia mencondongkan tubuh, melihat paman yang sedang duduk di teras, menyalakan rokok tapi tak benar-benar menghisapnya.

Zaenal hanya menatap lurus ke depan, pada pekarangan dengan rumput yang mulai panjang. Matanya kosong, pikirannya entah berkelana ke mana. Hafiz berdiri memandang sosok itu dari balik pintu. Ada rasa ingin mendekat, tetapi ia ragu. Paman Zaenal memang baik, tapi tak banyak bicara. Wajahnya jarang tersenyum. Sekalipun tersenyum, itu hanya sekelebat, seperti kilat di balik awan malam, cepat menghilang.

Hafiz kecil hanya bisa menebak, mungkin pamannya lupa bagaimana caranya tersenyum.

“Amang…” panggil Hafiz pelan.

Zaenal tersentak halus, seperti baru kembali dari perjalanan jauh dalam pikirannya. Ia mematikan rokok di asbak tempurung kelapa.

“Kenapa belum mandi? Sudah jam berapa ini?” tegurnya dengan nada datar tapi hangat.

Hafiz mengangkat bahu, menunduk. “Air sumur masih dingin, Mang” katanya merajuk.

Zaenal bangkit, merenggangkan badan. “Mau Amang ambilin air panas sedikit?”

Anak itu mengangguk. Senyum kecil muncul di wajahnya. Namun di wajah Zaenal, hanya ada garis lurus yang tak berubah.

Dapur rumah itu sederhana. Kompor gas dan tungku kayu berdiri di sudut, banyak bekas gosong di sisinya. Kebetulan hari ini mereka menggunakan tungku, karena kompor gas tidak bisa dipakai, habis. Zaenal merebus air sambil sesekali melirik Hafiz yang duduk di kursi kayu pendek, menggoyang-goyangkan kakinya sambil memainkan mobil-mobilan kayu yang sudah patah rodanya.

Suara air mendidih memecah hening. Seperti biasa, pagi mereka berjalan nyaris tanpa percakapan panjang. Hafiz sesekali bercerita soal tiga ekor ayam tetangga yang kemarin kabur ke kebun belakang, tetapi Zaenal hanya merespon dengan anggukan tipis.

Dalam hati Hafiz muncul pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah ia berani lontarkan.

Kenapa Paman jarang tertawa? Kenapa Paman selalu terlihat capek? Apakah aku merepotkan paman?

Kadang Hafiz ingin memeluk pamannya, ingin berkata “Aku sayang Paman”. Tapi setiap kali mendekat, ia selalu merasa Paman bagai tembok tinggi, kokoh, tapi sulit disinggahi. Ia takut Paman merasa aneh atau tidak nyaman.

Setelah mandi dan bersiap, Hafiz duduk di meja makan sederhana. Sepiring nasi, ikan asin, telur dadar yang dipotong tipis, dan sambal. Menu yang hampir sama setiap hari.

Zaenal duduk berhadapan dengannya. Makan dengan cepat, seperti orang yang kejar waktu.

“Amanh kerja sampai sore lagi, ya?” tanya Hafiz di sela kunyahan.

Zaenal mengangguk. “Kamu pulang sekolah langsung ke rumah si Bukhori dulu. Jangan main jauh-jauh.”

Lihat selengkapnya