Batu Nisan Untuk Paman

Topan We
Chapter #4

Bab | 04

Pagi datang dengan embun yang masih setia menempel di daun kelapa di belakang rumah. Udara dingin menusuk kulit, namun dapur kecil itu hangat oleh uap kukusan singkong yang baru saja matang. Wangi khas singkong rebus bercampur dengan aroma kayu bakar yang mulai memudar.

Hafiz duduk di kursi pendek dekat tungku, kedua kakinya menggantung, tidak mencapai tanah. Matanya berbinar mengikuti gerakan Zaenal yang sibuk memeriksa singkong di kukusan panci. Paman tampak serius, seolah singkong itu adalah proyek besar yang tak boleh gagal.

“Amang, kenapa sarapannya singkong lagi?” tanya Hafiz sambil menyodorkan pipi, mengerjap lucu.

Zaenal menoleh setengah. “Kenapa? Kamu enggak suka?”

“Suka!” Hafiz mengangkat tangan kecilnya tinggi-tinggi. “Tapi kalau tiap hari, nanti aku berubah jadi si anak singkong.”

Zaenal terdiam sebentar, lalu mengangkat alis. “Kalau berubah jadi si anak singkong, amang bakal rebus kamu.”

Hafiz memukul meja kecil pelan sambil tertawa cekikikan. “Jangan dong! Nanti aku dimakan si Bukhori!” Bukhori adalah sahabat Hafiz. Rumah mereka bersebelahan.

Tawa anak itu memenuhi dapur kecil, ringan, jujur, dan untuk beberapa detik, dunia seolah melupakan soal uang, beban hidup, dan masa lalu yang masih mengintai. Zaenal diam-diam tersenyum kecil, meski cepat disembunyikan seolah takut ketahuan.

Ia menyodorkan piring berisi potongan singkong rebus yang masih mengepul. Hafiz meniup-niupnya, lalu menggigit perlahan. Mata kecil itu terpejam, merasakan manis alami singkong berpadu dengan garam yang ditabur tipis.

“Enak?” tanya Zaenal.

Hafiz mengangguk cepat. “Enak banget! Tapi kalau ada gula merah lebih enak lagi ya, Mang…”

Zaenal berhenti mengunyah. Pandangannya kosong sejenak. Di panggung pikirannya, ia melihat catatan belanja yang ia tahan-tahan beli: minyak goreng habis, beras tinggal seperempat, gula merah, telor dan mie instan? Sudah hampir satu minggu tak terbeli.

Ia menarik napas, menepuk kepala Hafiz pelan.

“Nanti kalau Amang dapat lemburan lagi, kita beli gula merah yang banyak.”

Hafiz tersenyum percaya, senyum yang membuat hati Zaenal hangat sekaligus mencubit.

Maaf, Nak. Hidup kita memang sesederhana ini.

Setelah sarapan, Hafiz bersiap sekolah. Ia memakai seragam yang sudah mulai memudar warnanya. Kerahnya sedikit melar, tapi ia merapikan dengan bangga. Bola matanya berbinar menatap sepatu biru barunya.

Lihat selengkapnya