Pagi itu, udara terasa lebih cerah dari biasanya. Zaenal sudah bangun sebelum adzan Subuh. Ia membangunkan Hafiz dengan lembut, seperti biasa, meski di wajahnya masih tampak kantuk karena pulang lembur tadi malam.
“Fiz… bangun, Nak. Kamu harus siap-siap. Ini hari kenaikan kelas kamu,” kata Zaenal sambil merapikan selimut keponakannya.
Hafiz mengerjap pelan, lalu duduk sambil membawa dasi lusuh yang sudah mulai kendur. Meski sederhana, Hafiz selalu menganggap apa pun yang diberikan pamannya ialah sebuah harta berharga.
“Kamu hari ini harus gembira, karena tahun depan kamu udah naik kelas,” ucap Zaenal.
“Iya, Mang. Hafiz bakal jadi orang bisa bukan pintar,” jawab Hafiz sambil tersenyum kecil.
Zaenal tersentak, dadanya hangat. “Iya. Karena Amang enggak mau kamu cuma pintar. Amang mau kamu bisa dalam apa hal apapun. Bisa bantu orang, bisa jujur, bisa segalanya.”
Hafiz mengangguk serius. Ia selalu menyimak setiap nasihat pamannya, seolah itu adalah kunci hidup yang tak boleh hilang.
Beberapa jam kemudian, Hafiz berangkat sekolah dengan semangat. Hari itu adalah hari terakhir sebelum pengumuman kenaikan kelas sekaligus penentuan juara.
Dan tanpa Zaenal tahu, hari itu juga akan menjadi hari paling pahit sekaligus paling membanggakan dalam hidup Hafiz.
***
Di sekolah, suasana sudah mulai riuh sejak pagi. Anak-anak saling bertanya, saling menebak siapa yang akan menjadi juara. Teman sekelas mereka sudah menebak, pasti Hafiz lah juaranya. Sementara Hafiz duduk dengan tenang, tangan kecilnya memegang sebuah pensil yang ia putar-putar ketika gugup.
Di sebelahnya, Fadlan, anak Pak Heru, terlihat gelisah. Ia terus memainkan kerah bajunya, memandang Hafiz dengan tatapan sulit dijelaskan. Ada iri, ada rasa takut, ada gengsi.
“Kalau aku enggak juara 1, nanti Bapak marah…” gumam Fadlan lirih.
Hafiz menoleh. “Kenapa marah? Bapak kamu enggak bakal marah.”
Fadlan mendengus. “Bapakku itu kan guru terkenal. Dia bakal marah kalau anaknya enggak juara."
Hafiz tidak mengerti apa itu harga diri keluarga, apa itu gengsi orang dewasa. Ia hanya tahu belajar itu untuk mengetahui hal baru, bukan untuk perlombaan nama.
Namun ia bisa merasakan satu hal: Fadlan tidak bahagia.
Beberapa hari lalu sebelum penentuan juara kelas, di ruang guru, terjadi perdebatan kecil yang tidak pernah didengar murid-murid.
“Mohon maaf, pak Heru, jelas sekali nilai Hafiz paling tinggi,” protes Bu Laras, guru muda yang dikenal jujur dan berani.
“Iya bu, saya tahu. Tapi saya mohon untuk ini saya meminta pertimbangannya. Toh anak saya juga tidak bodoh, hanya selisih beberapa poin dari Hafiz,” jawab Pak Heru dengan nada sedikit tertekan. “Saya guru di sekolah ini. Masa anak saya tidak juara?”
“Begitu bukan caranya!” desis Bu Laras.
Kepala sekolah, yang biasanya bijak, justru menatap mereka tanpa ekspresi. Ia sudah mendapatkan tekanan dari Pak Heru sebelumnya.
Akhirnya, keputusan sementara tetap mengarah pada:
Fadlan juara 1.
Hafiz turun ke juara 3.