Zaenal bukan tipe pemuda yang gemar bicara banyak. Namun jika sudah menyangkut urusan orang banyak, ia selalu berdiri paling depan. Bukan karena ingin dikenal, bukan pula karena ingin dipuji. Ia hanya tak pandai diam ketika melihat ketidakadilan dipelihara terlalu lama.
Pagi itu, balai warga sudah dipenuhi orang sejak matahari belum tinggi. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semua berkumpul. Beberapa sepuh duduk di kursi kayu panjang, wajah mereka serius. Di sudut ruangan, termos air panas dan pisang rebus dibiarkan dingin, tak tersentuh. Pembicaraan jauh lebih penting dari sarapan.
Seminggu yang lalu, mereka sudah berunding. Seminggu yang lalu, mereka sudah sepakat. Dan hari ini, tidak ada jalan mundur.
“Si lurah sudah keterlaluan,” ucap seorang bapak dengan suara bergetar. “Dana desa entah ke mana. Jalan rusak dibiarkan. Bantuan cuma turun ke orang-orangnya sendiri.”
“Iya!” sahut yang lain. “Kita ini dianggap apa? Dianggap tai?”
Zaenal berdiri di tengah lingkaran. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam. Ia mendengar semuanya, keluhan, amarah, juga ketakutan yang disembunyikan. Lalu ia bicara, suaranya tidak keras, namun tegas.
“Kita datang bukan buat rusuh. Kita datang buat bicara. Tapi kalau suara kita tidak didengar, maka hari ini kita minta pertanggungjawaban.”
Para sepuh mengangguk. Warga menyahut serempak. Dan sejak saat itu, Zaenal ditunjuk, bukan oleh satu orang, tapi oleh keadaan, sebagai perwakilan kampung, sebagai sang orator demo.
Menjelang siang, satu desa bergerak. Mereka berjalan berbondong-bondong menuju kantor kepala desa. Ada yang membawa poster buatan tangan. Ada yang hanya membawa suara dan keberanian. Tak sedikit yang membawa anak-anak, sebagai saksi bahwa ini bukan kepentingan pribadi. Puluhan aparat, baik dari kepolisian maupun tentara sudah menjaga kantor desa dan sang lurah.
Saat mereka tiba, halaman kantor desa penuh. Teriakan mulai menggema.
“Turun!”
“Bertanggung jawab hey, lurah!”
“Kami muak dibohongi terus!”
Zaenal maju. Ia naik ke atas sebuah meja kayu tua yang biasa dipakai rapat. Ia berdiri tegak, menatap kerumunan. Napasnya ditarik dalam-dalam.
“Saudara-saudaraku!” suaranya lantang, memecah riuh. “Kita datang ke sini bukan untuk meminta belas kasihan. Kita datang menuntut hak!”
Sorak sorai membalas.
“Desa ini milik kita semua! Bukan milik satu orang! Jika kepala desa tidak lagi berpihak pada rakyat, maka dia harus mundur secara terhormat!”
Teriakan membahana. Tangan-tangan terangkat. Keberanian menular. Di sudut-sudut halaman, di balik tiang dan jendela kantor desa, beberapa pasang mata memperhatikan Zaenal dengan saksama. Wajah-wajah asing. Tatapan dingin. Mereka mencatat, mengingat, menandai.
Provokator, begitu cap yang akan dilekatkan padanya. Namun Zaenal tidak peduli. Ia melanjutkan orasinya, menyuarakan semua yang selama ini dipendam warga. Ia tidak menghina. Tidak menghasut. Ia hanya jujur.