Batu Nisan Untuk Paman

Topan We
Chapter #8

Bab | 08

Lima hari setelah aksi demo itu, suasana desa perlahan kembali tenang. Tidak ada lagi teriakan. Tidak ada lagi poster. Hanya bisik-bisik yang menyelinap dari mulut ke mulut, seperti angin yang tak terlihat tapi terasa.

Pagi itu, pengumuman ditempel di papan informasi depan balai desa:

Dana bantuan sosial tahap pertama telah turun.

Nama-nama penerima tercantum rapi. Beberapa warga berkerumun, menunjuk-nunjuk, ada yang tersenyum lega, ada pula yang menghela napas panjang.

Zaenal tidak ikut mendekat. Ia sedang memanggul kayu di halaman rumah Pak Wawan, membantu memperbaiki kandang kambing. Keringat mengalir di pelipisnya, tangannya penuh serbuk kayu. Ia bekerja seperti biasa, seolah pengumuman itu tidak ada hubungannya dengan hidupnya.

“Nal,” panggil Pak Wawan dari kejauhan. “Nama kamu ada di daftar.”

Zaenal berhenti. “Ada di mana?”

“Di daftar bantuan.”

Zaenal menggeleng pelan. “Pasti salah.”

Pak Wawan mendekat. “Apanya yang salah? Kamu terdaftar. Ada Hafiz juga, sebagai anak yatim piatu.”

Zaenal terdiam. Dadanya mengeras. Ada perasaan aneh yang naik perlahan, bukan senang, bukan bangga. Lebih mirip tidak enak.

Siang itu, beberapa orang datang ke rumahnya. Membawa formulir. Membawa map cokelat. Membawa senyum yang dibuat-buat.

“Ini hak kamu, Nal,” kata salah satu petugas desa. “Tinggal tanda tangan.”

Zaenal berdiri di ambang pintu. “Saya enggak mau.”

Orang-orang itu saling pandang.

“Kenapa?” tanya yang lain, heran.

“Masih banyak yang lebih butuh,” jawab Zaenal datar. “Saya masih kerja. Masih sehat.”

“Ini bukan soal sehat atau tidak, Nal.”

Lihat selengkapnya