Batu Nisan Untuk Paman

Topan We
Chapter #9

Bab | 09

Pagi itu, Hafiz berangkat sekolah dengan sepatu baru. Bukan sepatu mahal, tapi pas di kaki. Matanya berbinar saat melangkah, seolah tanah kampung berubah menjadi lantai aula besar. Zaenal mengantar sampai ujung perempatan, seperti biasa.

“Tidak usah lari, Fiz,” pesan Zaenal.

Hafiz mengangguk. “Mang, nanti pulang aku cerita.”

Zaenal tersenyum tipis. Ia tidak tahu cerita apa yang akan dibawa Hafiz hari ini. Ia hanya berharap cerita itu bukan tentang kesedihan lagi.

Di sekolah, suasana kelas masih sama. Bangku kayu. Dinding yang mulai pudar. Namun ada satu hal yang selalu membuat Hafiz merasa sedikit lebih kuat, Bu Laras.

Laras adalah guru muda yang baru 3 tahun mengajar. Rambutnya selalu tertutup dengan hijab rapi, pakaiannya selalu sederhana jika diluar jam sekolah. Suaranya lembut, tapi tegas. Dialah guru yang dulu berdiri paling keras menolak kecurangan saat Hafiz dirampas haknya sebagai juara.

Hari itu, Laras masuk kelas sambil membawa setumpuk buku.

“Selamat pagi, anak-anak.”

“Selamat pagi, Bu Guru!”

Laras berhenti sejenak saat pandangannya jatuh pada sepatu baru Hafiz. Senyum kecil muncul di wajahnya.

“Hafiz,” panggilnya, “kamu kelihatan semangat hari ini.”

Hafiz tersenyum malu. “Iya, Bu.”

“Bagus. Anak pintar harus semangat.”

Kalimat itu sederhana. Tapi bagi Hafiz, itu seperti suntikan keberanian.

Jam istirahat, Hafiz duduk di pojok kelas membaca buku sejarah bergambar kota-kota dunia. Buku itu sudah mulai terlipat-lipat ujungnya karena sering dibuka. Beberapa temannya bermain kejar-kejaran, namun Hafiz lebih suka membaca dan menggambar.

Laras memperhatikannya dari kejauhan. Ada sesuatu yang selalu membuatnya berhenti sejenak setiap melihat Hafiz, ketenangan anak itu tidak seperti anak seusianya.

“Kamu suka baca sejarah bergambar?” tanya Laras sambil duduk di bangku depan Hafiz.

Lihat selengkapnya