Uang itu masih tersimpan rapi di dalam amplop cokelat, diselipkan di bawah kasur kayu tempatnya tidur. Zaenal hampir setiap malam memastikan amplop itu masih di sana. Bukan karena takut hilang, tapi karena ia takut tergoda.
Baginya, uang bantuan desa itu bukan miliknya. Uang itu adalah tabungan untuk Hafiz.
Ia tidak pernah menggunakannya untuk membeli rokok mahal, baju baru, atau sekadar makan enak di luar. Setiap kali tangan Zaenal hampir meraih amplop itu, ia selalu teringat wajah Hafiz saat tidur, tenang, polos, seperti dunia ini tidak pernah menyakitinya sekali pun.
Beberapa hari lalu, Hafiz sempat sakit. Demam tinggi, menggigil sepanjang malam. Zaenal tidak berpikir panjang. Ia mengambil sebagian uang itu dan membawanya ke puskesmas.
Saat duduk di bangku tunggu, memeluk tubuh kecil Hafiz, Zaenal tidak merasa bersalah. Untuk pertama kalinya, ia merasa uang itu memang seharusnya dipakai. Bukan untuk dirinya. Untuk anak yang kini menjadi bagian dari seluruh hidupnya.
Setelah Hafiz sembuh, sisa uang itu masih ada. Tidak banyak, tapi cukup.
Dan Zaenal tahu persis untuk apa uang itu harus digunakan.
Pagi itu, Zaenal mengajak Hafiz pergi ke pasar kecil di ujung kecamatan. Mereka tidak membeli baju. Tidak juga sepatu. Mereka membeli sesuatu yang berbau kematian: batu nisan.
Hafiz berdiri di samping Zaenal, memperhatikan saat pamannya berbicara dengan tukang batu.
“Lima, Pak,” kata Zaenal pelan. “Eh 3 aja dulu, pak. Nama dan tanggalnya saya tulis di kertas ini.”
Tukang batu mengangguk.
Hafiz memegang ujung baju Zaenal. “Mang…”