Pecahan-pecahan batu yang baru dikerjakan sudah menumpuk banyak di dekatnya. Sambil memandang gundukan sebesar joglo di depan matanya, dia menggumam: “Beri aku enam tujuh tahun untuk menumbukmu, wahai gumuk. Akan kulatih otot-otot tanganku ini untuk mengubahmu menjadi wujud aslimu.”
Perempuan itu menoleh rumah yang berdiri dingin di belakangnya, rumah desa itu mulai ditelan temaram senja. Biasanya saat langit mulai gelap seperti ini berkas-berkas cahaya lampu teploknya sudah menerobos dari dinding bambu itu.
“Sudah gelap, Alona. Kita pulang,” katanya sambil melemparkan serpihan batu terakhir dari sepit karetnya dan berdiri. Maka tampaklah siluet perempuan tinggi kurus. Tanpa menoleh pada yang diajak bicara, dia melangkah menggenggam ujung kain panjang yang disarungkan selutut. Belang telon bangun mengikuti nyonyahnya tanpa bersuara – kucing betina itu memang tidak pernah mengeluarkan suara, bahkan ketika banyak kucing jantan berteriak-teriak memamerkan rayuan mereka yang seksi di musim kawin, dia tidak ambil bagian dalam keributan ritual erotik kaumnya itu.
Di bawah sebuah pohon petai di belakang rumahnya dia berhenti. Ada ruang sempit berpagar gedeg setinggi dada; di dalamnya ada jun besar berisi air dan gayung dari batok kelapa. Ada sesosok berkulit coklat tua, berwajah kusam dan berambutnya panjang sepinggang yang kering kemerahan yang di dalam bejana tembikar itu. Kamu harus tetap hidup demi kehidupan anakmu, bisik perempuan itu pada sosok yang di dalam air itu. Saat beberapa lembar daun petai mendarat di permukaan air, bayangan itu langsung bergetar dalam lingkaran-lingkaran riak yang melaju cepat, seperti lajunya garis-garis usia di wajahnya yang merambat lebih cepat dari umurnya yang masih beberapa tahun menginjak kepala tiga. Semua sudah redup seperti tidak pernah disinari cahaya kebahagiaan. Satu-satunya yang membuat dia terlihat hidup adalah sorot matanya yang tegas. Lalu perempuan itu mengonde rambutnya sekadarnya, melepas sarungnya, dan sejurus kemudian terdengar suara kecipak air berjatuhan di atas lantai tanah bertata batu-batu kali, gemercik yang justru semakin menegaskan betapa menggigitnya kesunyian senja. Setelah itu hanya dengan berkemben dia bergegas masuk rumahnya lewat pintu belakang. Tidak lama kemudian berkas-berkas cahaya sentir menrobos lubang-lubang dinding bambu rumahnya.
Setelah memberi makan kucingnya dengan singkong sisa tadi siang, dia pun makan makanan yang sma, minum seduhan jahe tawar lalu masuk ke biliknya. Hari itu dia ingin tidur lebih cepat; besok dia harus bangun sebelum subuh supaya bisa mengejar jeep cak Pedro, satu-satunya angkutan dari dusunnya terutama untuk warga yang hendak menjual hasil panennya ke pasar kecamatan. Namun matanya tidak kunjung lelap. Pikirannya menerawang lompat sana ke mari, ke masa lalu, ke masa depan ….
Seekor nyamuk mendarat dilengannya yang kurus, pada saat yang sama pikirannya mendarat ke anaknya yang sedang belajar di kota.
---------------
Dia teringat saat hendak mendaftarkan anaknya ke sekolah, semua orang dusun bertanya mengapa harus jauh-jauh sekolah ke kota karena kebanyakan warga dusun tidak menyekolahkan anak mereka sampai jenjang lanjutan. Kalau pun ada, mereka memasukkannya di SMP kecamatan yang jaraknya kira-kira lima kilo meter dari dusun itu. Saat itu dia lebih banyak diam tidak menjawab. Menurutnya tidak ada gunanya memberi alasan yang tidak mungkin bisa mereka pahami.
Di atas jeep yang ditumpanginya, sang sopir kembali merangkum semua pertanyaan masyarakat dusun: “Iya, mengapa?”
Mengapa. Adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan satu kata, satu kalimat, bahkan satu pragraf. Perlu tiga atau empat pasal untuk mendalilkan mengapa dia harus menyekolahkan anaknya ke kota, itu pun belum tentu bisa diterima dengan akal sehat versi mereka.
“Dia harus belajar di tempat yang tepat, cak,” jawabnya singkat.
“Memang yang di kecamatan tidak tepat? Tidak sedikit orang dusun kita yang menyekolahkan anak mereka di sana.”
“Bukan begitu.”
“Lantas?”
“Mereka mendidik anak persis seperti mereka dulu dididik oleh orang tua, padahal orang tua mereka mengarahkan anaknya menuju dunia yang sekarang sudah lewat. Anakku ini harus dididik oleh orang dari dunia masa depannya, karena seharusnya ke sanalah hidupnya mengarah. Aku sudah ada di sana menunggu.”
Sopir itu seperti mengunyah tembakau yang lolos tersedot dari rokoknya. Matanya mengernyit menatap aspal jalan. “Tapi itu biayanya mahal. Selain uang sekolah masih harus bayar uang pondokan, uang makan, uang ini itu, dan lain-lain. Kalau di kecamatan paling cuma bayar uang sekolah, tidak perlu uang transpor karena berjalan lima enam kilo bukan masalah bagi anak-anak dusun.”
“Sebenarnya persoalan yang utama bukan uang tapi ke mana seorang anak harus diarahkan. Kalau soal uang, ada jalan untuk mendapatkannya.”
“Apa itu?”
“Aku tidak tahu, tapi aku punya bukti.”
“Apa buktinya?”
“Percayaku ini.”
Sang sopir menoleh pada sang penumpang dengan mengernyitkan dahinya.
“Sampeyan begitu yakin.”
“Apa yang membuatku ragu?”
“Soal biaya. Maaf lo ya, setahu saya samppeyan tidak memiliki penghasilan tetap. Sesekali jualan pete hasil kebun sendiri. Lha pete itu ‘kan musiman, tidak lantur tiap saat.” Sang sopir melirik, kali ini lewat kaca spion.
Si anak yang waktu itu duduk di antara mereka pun ikut menoleh ke ibunya. Pandangannya terpaku pada orang tuanya seperti ikut menuntut jawaban. Penasaran. Karena jawaban yang ditunggu tidak kunjung terdegar maka bocah yang baru lulus SD itu mengalihkan pandangannya pada map biru berisi ijazah dengan namanya tertulis di sana: Galar Pranata.