Batu Selomita

YOHS SUWONDO
Chapter #2

Balik Kanan Maju Jalan

Selo perempuan yang tinggal di dusun kecil yang damai dan bahagia. Menjalani hidup yang mengalun menikmati alur hidupnya dengan ikhlas. Tenang dan bahagia membesarkan anaknya walau dalam kesederhanaan. Kebahagiaan yang sempurna. Namun sebuah kunjungan tak terduga dari seorang pria mengubah segalanya. Orang itu datang seperti lamparan batu di atas permukaan telaga kehidupan Selo yang damai. Permukaan sehalus kaca itu pun beriak, bergelombang, bergelora, bahkan membadai sampai mengikis tepinya sehingga mendadak mengubah irama dan haluan hidupnya.

Bermula di suatu pagi yang sangat cerah dan hati yang penuh syukur karena anak semata wayangnya naik kelas enam SD – pembukaan cerita yang mestinya mengisyaratkan kebahagiaan di akhir cerita – tapi bukan begitu, ini justru sebaliknya.

Saat itu dia sedang duduk di balai-balai depan rumahnya sambil menguntingi bilah-bilah petai yang baru saja dijoloknya dari pohon. Kembennya terikat kencang dan rapih. Seperti kondenya yang kuat melingkar di atas kepalanya. Di langit biru ada awan tipis bergerak seperti selendang transparan. Dua ekor tupai meluncur sangat cepat melewati ranting-ranting tipis, seekor kupu-kupu biru hinggap di bunga kertas warn merah jingga, burung prenjak seperti menambah pitchnya semakin tinggi dan riuh. Di antara kicau burung itu terdengar perempuan itu bersenandung. Lalu lamat-lamat nada-nadanya pun mulai berbersyair:

Bayu pun semilir, puspa pun mewangi

karena dikau.

Bulan senyum ayu, surya keemasan

karena dikau.

Samudera mengelegar, gelombang berkejar

karena dikau.

Simpfoni yang terindah terciptalah sudah

karena dikau. ….

Tiba-tiba suaranya berhenti. Ada setetes air menitik di bulir petai yang dipegangnya. Dia teringat suaminya yang sudah meninggal. Laki-laki itu sudah menyulap hidupnya dari gadis kota yang sangat metropolis menjadi perempuan sederhana yang mandiri yang menikmati hidupnya dengan tenang di kesunyian. Kalau bukan karena Prana dia tidak bisa membayangkan seperti apa hidupnya kini. Mungkin sudah berakhir tragis.  

Ada satu satu episode dalam hidupnya yang ingin dia lupakan karena setiap kali dia mengingatnya dia merasa ada luka lama yang mengaga kembali. Itulah yang dia sebut dengan terang yang menusuk mata menembus tulang, atau cahaya masa silau. Sebenarnya dia adalah putri tunggal dari keluarga yang kaya raya. Namun saat dia duduk di kelas terakhir sekolah lanjutan atas, keluarga ditimpa badai yang mahadahsyat sehingga pohon raksasa itu terbantun hingga ke akar-akarnya dan mati kering. Seorang taipan yang sudah lama malang melintanng dalam lingkaran kekuasaan memanfaatkan pengaruh ayahnya demi keuntunggan pribadi. Setelah menarik ayahnya dalam lingkaran politik, sang taipan menikamnya dari belakang. Sang ayahnya yang selama itu cukup vokal mengritik pemerintah tiba-tiba lenyap tanpa secuwil pun jejak yang bisa dipijak untuk bisa dilacak. Sang ibu meninggal karena serangan jantung. Rumah mereka disita dan si gadis terusir keluar. Bukan hanya terusir tapi dia dikejar-kejar orang tak dikenal dengan motif yang tidak jelas pula. Dari seorang anak gedongan hit yang biasa hidup dipuja banyak orang, kini menjadi yang paling diburu, hidup sendirian bersembunyi di belantara kota, seperti anak kambing di sarang serigala. Bahkan sang pacar yang seharusnya menjadi pelindung malah nyaris mencelakainya. Berminggu-minggu dia bersembunyi di lubang semut sampai hampir putus asa.

Dalam keadaan yang tidak menentu datanglah pertolongan dari orang yang paling mustahil untuk menolong yaitu sopir keluarga yang merangkap sebagai perawat taman di rumahnya, pernah juga dia menjadi mantan asisten pelatih tari di sekolahnya.

“Ikut saya, non Mita,” ucapnya serius ambil menarik tangan gadis itu.

Si gadis menepis tangan sang pemuda. “Lepaskan, Pran. Ini bukan adegan tari. Enak saja kamu memegang tanganku.”

“Kita pergi ke empat yang aman.”

“Tidak. Kemana mau lagi!” Dia menolak bukan karena tidak mau tapi tidak bisa menerima kenyataan bahwa bahwa yang hendak menolong dirinya adalah pemuda yang selama ini dia jadikannya bahan olok-olokan karena miskin. Setelah sang kekasih yang dia cintai tega hendak mencelakainya, dia tidak bisa percaya pada siapa pun apa lagi pemuda yang selama itu tidak pernah dia hargai. Setelah lulus SMA pemuda itu melamar pekerjaan di kantor papanya, namun karena belum ada formasi lowong maka untuksementara dia dipekerjakan di rumah. Selama dua tahun menjadi pembantu itu, sang pemuda terus menempel di belakang Mita seperti ekor, bahkan selalu menjadi obat nyamuk bakar saat dia duduk berpacaran dengan kekasihnya di aman. Itulah sebabnya si gadis menyangsikan ketulusannya. Namun berhari-hari pemuda itu menungguinya di tempat persembunyian, berjaga, dan menyediakan semua kebutuhannya. Diam-diam si gadis mulai terusik oleh kesetiaannya yang luar biasa.

”Tidak ada lagi tempat yang aman, Pran. Di sini satu-satunya,” keluh si gadis mulai melunak.

“Justru karena itu. Kalau semua tempat telah mereka datangi, berarti tempat ini menjadi satu-satunya tempat yang paling mereka incar sekarang.”

“Kemana lagi?”

“Ke tempat di mana mata ular-ular itu tidak bisa melihat non Mita selamanya, bahkan ketika bertemu nantinya.”

Gadis itu bejuang keras untuk mengalahkan harga dirinya. Dan begitu dia menyerah, dalam sekejap dia lenyap dari kota, persis seperti ayahnya. Dia dibawa ke kampung halaman pemuda itu ke sebuah dusun yang jauh dari kota, sebuah desa kecil yang diapit deretan bukit dan laut selatan di mana tidak pernah ada orang yang asing yang menginjakkan kaki di sana karena selain terpencil akses jalannya yang dangat buruk.

Sejak itu kota kehilangan satu penghuni ceria yang selalu jadi buah bibir warganya. Tidak ada lagi gadis hits yang jadi pembicaraan remaja-remaja sekolahan, mayoret centil dan lincah, bintang cemerlang yang selalu jadi maskot di setiap keramaian, bunga terindah yang membuat kumbang-kumbang melongo ngiler memandanginya. Tidak pernah terdengar lagi nama Selomita disebut dalam pembicaraan.

Di pengasingan itu sang gadis menikah dengan orang yang paling tidak mungkin untuk dinikahinya: Prana, mantan tukang kebunnya itu. Hari itu seluruh penduduk di pedukuhan yang hanya terdiri dari belasan rumah itu datang memberi ucapan selamat kepada pengantin baru yang juga pendatang baru. Sayangnya masa pengantin baru itu mereka nikmati sangat singkat karena suatu sore seorang sahabat suaminya datang tergopoh-gopoh dengan berita bahwa sang suami meninggal diserang macan kumbang saat membuka kebun di tepi hutan.

Malam hari orang-orang menggotong jasad suaminya penuh luka cakar. Maka pengantin baru itu pun tinggal sendiri dengan janin empat bulan dalam kandungannya.

Dalam perjalanan pulang dari kuburan sahabat mendiang suaminya mendekat dan dengan muka murung berkata: “Suamimu selalu beruntung, tapi tidak hari ini.” (jebakan Pedro membunuh Prana) Laki-laki itu memberikan saputangannya pada Selo lalu bergabung dengan pelayat laki-laki yang lain. Selo memakai saputangan itu untuk menyeka air matanya.

Pulang kembali ke kota adalah pilihan yang tidak pernah dia pikirkan. Dia memutuskan untuk hidup baru, jauh dari hingar-bingar kota yang telah membesarkannya. Melihat tetangga barunya itu hidup sendiri, banyak warga yang mengajaknya tinggal bersama mereka untuk menjadi bagian keluarga mereka namun dia menolaknya. Dia memilih untuk hidup sendiri. Secepatnya dia belajar hal-hal baru sebagai warga dusun dan berjuang untuk menyesuaikan diri hidup sendiri dan mandiri. Pertolongan dari warga dusun diterima seperlunya saja. Dia hidup sederhana dari apa yang ada di sekitar rumahnya terutama dari lahan yang cukup luas dan belasan pohon petai tinggalan suaminya. Dia pun melakukan pekerjaan-pekerjaan yang belum pernah dilakukan bahkan belum pernah dibayangkan ada pekerjaan seperti itu. Gaya hidup, mode pakaian, bahasa, dan pernak-pernik kebudayaan kota dia tinggalkan sampai cahaya kecanikannya dia padamkan menjadi tanpa sinar sama sekali. Dia berjuang keras mengubur Selomita dalam-dalam dan bangkit menjadi perempuan desa bernama Selo. Awal-awalnya tidak mudah namun lambaat laun semua berjalan dengan damai dan harmonis.

Lima bulan berikutnya dia melahirkan. Seorang bayi laki-laki yang dia beri nama Galar Pranata. Dia merwat anaknya dengan baik sehingga anak itu tumbuh sehat. Bocah itu memiliki bakat menari yang luar biasa, seorang bocah ajaib yang menjadi pusat perhatian setiap ada pentas budaya baik di sekolah, desa, maupun di kecamatan, bahkan beberapa kali sampai di kota. Gerak tubuh Galar yang luar biasa itulah yang turut mengubah arah gerak hidup ibunya.

Ketika tembang Selo terhenti lantaran air matanya menitik, terdengar suara yang bersumber dari luar pagar beluntas melanjutkan lagunya:

Cinta putih murni, balas kasih suci untuk dikau

Dikau teruntuk daku, daku diciptakan untuk dikau

Tuhan bimbingalah kami hidup berdua hingga akhi nanti

Luhur ciptaaan-Mu Tuhan, kekal cinta putih murni.

Deg! dada Selo seperti ditinju. Dia kenal betul suara itu. Suara dari salah satu penghancur hidupnya. Sontak hatinya dipenuhi cairan kental pahit penuh kebencian tapi dia berusaha menguasai perasaannya.

“Lagu itu hanya bekas telapak kaki di pasir pantai, dia telah hilang disapu ombak. Lagu itu bukan tentang siapa pun lagi, Juan.” Katanya lirih dengan menahan gejolak hati. Tapi tetap saja tersirat rasa geram di timbre suaranya.

“Tidak. Tembang itu diciptakan untuk kita.” Jawaban itu keluar dari mulut laki-laki berkumis tebal dan berkulit putih yang masih berdiri di balik pagar beluntas.

Jawaban itu seperti menyedot Selo ke masa lalu di mana lagu itu menjadi theme song perjalanan cintanya dengan laki-laki yang dia panggil Juan itu. Mereka sering berduet menyanyikannya di atas pentas sekolah atau di pesta-pesta ulang tahun teman-teman mereka. Bukan hanya menyanyikannya, mereka bahkan menciptakan koreografi dalam menyanyikannya, gerak tubuh romantis yang membuat anak-anak muda histeris. Bukan hanya teman-temannya yang mendaulat mereka untuk menyanyikan lagu itu bahkan guru-guru pun sering meminta. Rasanya nama Juanda dan Selomita sudah setara dengan Romeo dan Juilet. Cinta mereka yang indah dan ceria bak di negeri dongeng itu membuat iri para remaja. 

“Selomita sudah mati,” getar suara perempuan it semakin kentara. Sadar kalau perasaannya terwakili oleh suaranya, buru-buru dia akhiri dengan batuk-batuk untuk menyembunyikannya.

“Cahaya tak bisa tidak bersinar. Dia adalah energi yang jujur, bergerak lurus, tidak akan pernah berbelok walau menabrak apa pun. Bagiku kamu akan tetap menampakkan wujudmu sebagai sinar walau kamu lapisi dirimu dengan debu tebal. Kamu bisa menyembunyikan diri dari lensa yang paling canggih sakalipun namun tidak bisa bersembunyi dariku,” katanya sambil membidikkan kamera ke arah Selo yang terus bekerja.

“Kamu masih jago merayu.”

“Kamu merasa dirayu?”

Lihat selengkapnya