Suatu malam sebelum hari penerimaan rapor kenaikan anaknya ke kelas tiga SMP, Selo sangat gelisah. Beberapa kali dia mengambil surat undangan untuk wali murid yang dia leakkan di bawah bantal sekadar untuk meyakinkan dirinya bahwa waktunya adalah besok. Menjelang dini hari barulah matanya terlelap. Tentu saja belum hilang rasa lelahnya ketika terdengar sayup-sayup suara adzan dari dusun di bawah. Itu artinya dia harus bergegas menuju titik kumpul para petani yang handak menjual hasil buminya ke pasar, kalau tidak dia akan ketinggalan jeep cak Pedro, kalau tidak dia harus berlari sejauh lima kilo menuju kecamatan, kalau tidak dia akan ketinggalan mobil pick-up Yusup, kalau tidak dia harus menelan rasa kecewa karena kesempatan mengambil rapor galang terlewat. Maka dia segera melompat dari dipan, bersih-bersih badan secepatnya, menyambar obor, dan setengah berlari dalam gelap menuju dusun.
Selo merasa ada yang mengikuti di belakangnya.
“Tidak, Alona. Kamu tinggal di rumah,” katanya ketika sambil terus melangkah cepat-cepat. “Jaga batu kita.”
Si belang telon pun berhenti mengikuti. Kedua kaki depannya berdiri rapat, pantatnya perlahan-lahan mendarat di rumput yang basah berembun, matanya mengikuti nyonyahnya sampai hilang dari pandangan matanya.
Di lapangan dusun ada jeep tebuka dengan tumpukan keranjang berisi hasil bumi dan dua perempuan duduk tinggi di atasnya, juga ada empat orang menggelantung di sisi-sisi mobil itu.
“Ayo maju cak Petruk. Sudah siap semua ini.” Satu orang berteriak.
Sang sopir mendengar namun tidak bereaksi. Tangannya sudah siap di atas setir, mesin jeep pun sudah hidup, dan kakinya sudah menempel di pedal gas, tapi matanya memandang seberkas nyala api yang turun dari lereng landai, cahayanya timbul tenggelam di sela-sela bayang-bayang pepohonan.
“Ada apa, cak?” tanya perempuan di sebelahnya.
“Selo,” jawab sang sopir singkat tanpa menoleh pada si penanya, hanya hidungnya yang panjang menunjuk pada sosok yang dia maksud. Laki-laki itu ber-KTP Pedro namun orang-orang dusun memanggilnya Petruk, karena selain bunyinya mirip tampilan hidungnya yang tipis mancung dianggap pantas menyandang gelar punakawan itu. Tapi dia sering memperkanalkan diri sebagai Patrick, khusunya pada orang-orang kota.
Yang bertanya ikut melihat cahaya obor di luar sana lalu menyikut perempuan yang duduk di sebelahnya.
“Coba kalau aku yang telat datang, ya sudah ditinggal sama cak Petruk,” gerutu yang diikut sambil ganti menyenggol teman di sebelahnya.
“Yo kelakon keplayu mengejar,” timpalnya lagi.
Sang sopir tidak mempedulikan gunjingan dua pemempuan di sebelahnya itu. Matanya terus memandang lidah api yang seperti melayang ke arah mereka itu sampai muncul seraut wajah mengilat kemerahan di sebelah nyala itu. Makin lama makin jelaslah bahwa itu adalah wajah Silo. Rupanya perempuan itu tidak melewati jalan setapak yang melingkar tapi memotong jalan menuruni lereng.
“Hampir saja kami berangkat,” kata perempuan yang duduk di atas keranjang.
“Aku bangun kesiangan,” jawab Silo sambil mematikan apinya di lereng. Lalu dia melompat ke tepi jeep sambil berpegangan pada keranjang. “Tarik, cak!”
Jeep yang over kapasitas itu mulanya bergerak maju sangat pelan dan oleng kiri kanan karena jalan tanah yang bergelombang. Setelah sampai di jalan yang agak luas jeep pun melaju cukup lincah membelah dusun yang masih terlelap berelimut kabut dan melaju cepat saat mencapai jalan beraspalmulus. Selo mulai merasakan dinginnya pagi setelah gerah tubuh usai berlari itu hilang. Konde yang dia lingkarkan sekenaya terurai dan rambut panjangnya pun berkibar.
“Bangun, Lar. Ini hari yang sudah kamu tungu selama setahun belajar. Kamu akan naik ke kelas tiga SMP. Ibu ingin melihat deretan angka sembilan bahkan sepuluh di rapormu. Ibu juga ingin mendengar lagi guru memanggil namamu sebagai juara. Saat itulah hilang semua penat di tangan karena memecah batu setiap hari. Itu akan membuat ibu pulang dengan bahagia dan semakin bersemangat menghancurkan gumuk batu kita.” Selo tersenyum tapi ada air mata muncrat ke samping karena jeep melaju di kelokan jalan.
Selama dua tahun anaknya belajar di kota, dia maih belum mengizinkannya pulang dusun walau hatinya terasa teriris-iris setiap malam. Anak yang dilahirkan dalam keadaan menderita itu terpaksa dia asingkan dengan hati yang sangat berat.
“Mengapa aku tidak boleh pulang, bu?” tanya anaknya pada kunjungan pertama ibunya setelah seminggu dia tinggal di kota. “Aku kangen ibu.”
Selo tidak menjawab. Dipeluknya anak itu dan dibanjirinya rambutnya dengan air mata. “Ada kalanya kebahagiaan harus ditunda supaya ketika dia datang kita tahu bagaimana menghargainya karna kita telah membayarnya dengan harga yang mahal, bukan murahan.”
“Ibu juga sedih?”
Anak itu merasakan anggukan ibunya di kepalanya.
“Mengapa tidak berkumpul saja kalau kita sama-sama sedih begini? Aku bisa sekolah di kecamatan.”
Selo memegang wajah anaknya ke depan wajahnya. “Dengarkan ibu, Lar. Penderitaan sesaat ini tidak sebanding dengan kebahagiaan yang menantimu di depan. Jangan pernah merengek ingin pulang kalau gumuk batu itu masih berdiri kokoh. Dia adalah dasar dari semua yang kita harapkan bukti dari semua yang belum terlihat di depan mata kita.”
“Tapi aku boleh cerita apa-apa kepada ibu, bukan?”
“Mengapa tidak? Kita ini satu tim menuju masa sepanmu.”
Remaja lima belas tahun itu mengangguk.
Minggu berikutnya saat ibunya berkunjung lagi dia berkeluh kesah panjang:
“Semua kamar di sini memakai kasur, tapi ibu kos memberiku dipan tanpa kasur. Cuma dipasang galar. Apa karena namaku Galar ya? Aku memang sudah biasa tidur di atas galar, tapi bukan berarti di sini juga harus begitu’kan bu. Aku malu.”
Selo memperbaiki posisi duduknya. Dia merasa kasihan pada anaknya. Sebenarnya rumah kos itu dia pilih justru karena fsilitasnya yang apa adanya bahkan dialah yang memesan pada ibu kos agar anaknya diberi dipan galar, dia berharap keadaan itu akan melecut daya juang anaknya untuk hidup yang lebih baik.
“Padahal meskipun namanya Bayu, teman di kamar sebelah diberi pintu dan kelambu penahan angin,” sang anak menyambung ceritanya. “Apa aku membayar lebih murah dari penyewa lain? Itu sindir para penghuni di sini.”
Selo mendengarkan curahan hati anaknya dengan saksama. Tidak ada satu pun cerita baik yang dia sampaikan oleh anaknya. Semua berupa keluh kesah; soal uang, soal perlakuan teman-temannya, soal keinginannya memiliki sepeda, soal ayah teman-temannya yang selalu datang dengan nasihat yang gagah. Dalam hati Selo berpikir apakah keputusan mengirim dia belajar di kota tidak salah karena anaknya memang belum waktunya hidup berpisah. Tapi dia berpikir ulang bahwa anaknya harus dididik untuk menjadi penikmat masa depan yang bahagia dan itu tidak datang otomatis.
“Perjuangan baru saja dimulai, Lar. Kamu anak ibu yang kuat. Asalkan kamu kuat, ibu kuat.”
Kali ini Galar menitikkan air mata. Ini adalah air matanya yang pertama kali runtuh di depan orang, ibunya sendiri. Buru-buru Selo menghapus air mata anaknya dengan kedua jempolnya yang kasar.